Cerita Ketua KPU di Balik Lamanya Pembentukan Aturan Pilkada Saat Corona
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merampungkan beleid pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dalam kondisi pandemi virus Corona (Covid-19). Namun, dalam tahapan verifikasi dukungan untuk calon perseorangan ditemukan petugas yang positif Covid-19.
(Baca juga: Pilkada Serentak 2020, Mendagri Larang Gelar Kampanye Akbar)
Ketua KPU Arief Budiman menceritakan proses panjang lahirnya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19.
Arief mengatakan prosesnya sedikit agak lama karena harus ada rapat pleno, uji publik, dan harmonisasi sejumlah aturan terlebih dahulu. Dia menyebut beberapa perdebatan yang muncul dalam penyusunan, antara lain, perlu atau tidaknya rapid tes dan besaran suhu tubuh bagi penyelenggara, peserta, dan masyarakat di lokasi kampanye dan tempat pemungutan suara (TPS).
“KPU menulis didraf itu 38 derajat celcius akan dikategorikan khusus. Akhirnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan (aturan) suhunya 37,3 derajat celcius. Memang dalam situasi tertentu pengukurannya berbeda. Di kerumunan banyak orang itu 38 derajat, tapi di kantor dan industri 37,3 derajat,” terangnya dalam diskusi daring dengan tema “Bagaimana Kesiapan Pilkada 2020?”, Jumat (10/7/2020).
(Baca juga: Pilkada di Tengah Pandemi, KPU Batasi Usia Petugas Pemungutan Suara)
Pria asal Surabaya itu menerangkan PKPU itu juga mencantumkan pengertian mengenai orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan positif Covid-19. Hal itu untuk pedoman bagi para petugas di lapangan sehingga perlakuannya tepat.
Arief mengatakan perdebatan-perdebatan, harmonisasi, dan perubahan-perubahan aturan yang memakan waktu itu membawa berkah. Jika KPU terburu-buru mengesahkan, untuk melakukan perbaikan dan penyesuaian aturan baru, seperti dari Kemenkes, itu proses panjang lagi.
"PKPU tahapannya harus melalui rapat konsultasi dengan pemerintah dan DPR. Karena prinsip kehati-hatian dan agak lama, ada perubahan mengenai rapid tes, alat pelindung diri, dan terakhir, suhu tubuh. Beberapa situasi di lapangan, KPU terpaksa merumuskan ulang dan selesai," tuturnya.
Dalam proses pilkada di tengah pandemi Covid-19 ini, KPU melakukan rapid tes kepada petugas di lapangan. Hasilnya, sebagian besar negatif dan yang reaktif langsung dilakukan tes polymerase chain reaction (PCR).
"Mungkin ada satu atau dua orang positif. Saya minta dicek yang positif dan reaktif apakah satu desa atau beda. Panitia Pemungutan Suara (PPS) misal 3, kalau kena semua, tidak bisa melakukan verifikasi. Kalau kena satu tugas bisa diambil oleh dua orang lainnya," ucapnya.
KPU telah mengatur secara rigid dan mengantisipasi situasi seperti ini. Dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2020, disebutkan jika PPS di satu kelurahan positif semua, tugas mereka diambil alih oleh penyelenggara satu tingkat di atasnya.
(Baca juga: Pilkada Serentak 2020, Mendagri Larang Gelar Kampanye Akbar)
Ketua KPU Arief Budiman menceritakan proses panjang lahirnya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19.
Arief mengatakan prosesnya sedikit agak lama karena harus ada rapat pleno, uji publik, dan harmonisasi sejumlah aturan terlebih dahulu. Dia menyebut beberapa perdebatan yang muncul dalam penyusunan, antara lain, perlu atau tidaknya rapid tes dan besaran suhu tubuh bagi penyelenggara, peserta, dan masyarakat di lokasi kampanye dan tempat pemungutan suara (TPS).
“KPU menulis didraf itu 38 derajat celcius akan dikategorikan khusus. Akhirnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan (aturan) suhunya 37,3 derajat celcius. Memang dalam situasi tertentu pengukurannya berbeda. Di kerumunan banyak orang itu 38 derajat, tapi di kantor dan industri 37,3 derajat,” terangnya dalam diskusi daring dengan tema “Bagaimana Kesiapan Pilkada 2020?”, Jumat (10/7/2020).
(Baca juga: Pilkada di Tengah Pandemi, KPU Batasi Usia Petugas Pemungutan Suara)
Pria asal Surabaya itu menerangkan PKPU itu juga mencantumkan pengertian mengenai orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan positif Covid-19. Hal itu untuk pedoman bagi para petugas di lapangan sehingga perlakuannya tepat.
Arief mengatakan perdebatan-perdebatan, harmonisasi, dan perubahan-perubahan aturan yang memakan waktu itu membawa berkah. Jika KPU terburu-buru mengesahkan, untuk melakukan perbaikan dan penyesuaian aturan baru, seperti dari Kemenkes, itu proses panjang lagi.
"PKPU tahapannya harus melalui rapat konsultasi dengan pemerintah dan DPR. Karena prinsip kehati-hatian dan agak lama, ada perubahan mengenai rapid tes, alat pelindung diri, dan terakhir, suhu tubuh. Beberapa situasi di lapangan, KPU terpaksa merumuskan ulang dan selesai," tuturnya.
Dalam proses pilkada di tengah pandemi Covid-19 ini, KPU melakukan rapid tes kepada petugas di lapangan. Hasilnya, sebagian besar negatif dan yang reaktif langsung dilakukan tes polymerase chain reaction (PCR).
"Mungkin ada satu atau dua orang positif. Saya minta dicek yang positif dan reaktif apakah satu desa atau beda. Panitia Pemungutan Suara (PPS) misal 3, kalau kena semua, tidak bisa melakukan verifikasi. Kalau kena satu tugas bisa diambil oleh dua orang lainnya," ucapnya.
KPU telah mengatur secara rigid dan mengantisipasi situasi seperti ini. Dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2020, disebutkan jika PPS di satu kelurahan positif semua, tugas mereka diambil alih oleh penyelenggara satu tingkat di atasnya.
(maf)