Penanganan Terorisme di KUHP Baru Lebih Mengutamakan Tindakan Preventif
loading...
A
A
A
Ketua Satuan Tugas Wilayah Bengkulu Datasemen Khusus 88 Anti Teror Imam Subandi, mengatakan yang perlu dicermati setelah tiga tahun efektif KUHP baru berlaku salah satunya ada penggantian tuduhan atau sanggahan pasal.
Imam mencontohkan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 yang memberikan keleluasaan bagi polisi untuk fokus pada scientific investigation model, agar prosesnya tidak menzalimi tetapi mendudukkan pada perkara yang semestinya. Karena menurutnya, yang dikriminalisasi bukan pangkat, jabatan, atau yang nampak dari luar, tetapi dari unsur perbuatannya.
“Intinya UU Nomor 5 Tahun 2018 menjadi lebih efektif bagi penegakan hukum karena polisi khususnya Densus 88 tidak harus menunggu sampai perbuatan teror terjadi. Terkesan menurut para pejuang HAM tidak adil karena belum berbuat sudah dikriminalisasi, padahal dampak sebenarnya without waiting until the casualty, jangan menunggu sampai terjadinya korban berdarah-darah, bom meledak, dan mati. Masyarakat yang mati, pelakunya bahkan yang mati, atau mungkin polisinya yang mati baru hukum bisa ditegakkan,” tegasnya.
Koordinator Tim Analisis dan Evaluasi Penegakan Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rahmat Sori Simbolon, mengungkapkan di 2010 hingga 2015 terdapat sebanyak 24 pelaku dan narapidana terorisme yang merupakan anak-anak, 15 di antaranya sudah di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dengan salah satunya yang melakukan residivisme; pengulangan tindak pidana terorisme.
“Mereka para pelaku menganggap pemerintah adalah kafir atau thogut, dan pada saat pemerintah, petugas lapas atau petugas rutan memperlakukan mereka dengan sama ataupun sesuai dengan standar, bermartabat, dan lainnya, itu diyakini akan memberikan dampak disonansi kognitif kepada mereka, karena menurut mereka thogut itu tidak akan berbuat baik,” ujarnya.
Imam mencontohkan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 yang memberikan keleluasaan bagi polisi untuk fokus pada scientific investigation model, agar prosesnya tidak menzalimi tetapi mendudukkan pada perkara yang semestinya. Karena menurutnya, yang dikriminalisasi bukan pangkat, jabatan, atau yang nampak dari luar, tetapi dari unsur perbuatannya.
“Intinya UU Nomor 5 Tahun 2018 menjadi lebih efektif bagi penegakan hukum karena polisi khususnya Densus 88 tidak harus menunggu sampai perbuatan teror terjadi. Terkesan menurut para pejuang HAM tidak adil karena belum berbuat sudah dikriminalisasi, padahal dampak sebenarnya without waiting until the casualty, jangan menunggu sampai terjadinya korban berdarah-darah, bom meledak, dan mati. Masyarakat yang mati, pelakunya bahkan yang mati, atau mungkin polisinya yang mati baru hukum bisa ditegakkan,” tegasnya.
Koordinator Tim Analisis dan Evaluasi Penegakan Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rahmat Sori Simbolon, mengungkapkan di 2010 hingga 2015 terdapat sebanyak 24 pelaku dan narapidana terorisme yang merupakan anak-anak, 15 di antaranya sudah di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dengan salah satunya yang melakukan residivisme; pengulangan tindak pidana terorisme.
“Mereka para pelaku menganggap pemerintah adalah kafir atau thogut, dan pada saat pemerintah, petugas lapas atau petugas rutan memperlakukan mereka dengan sama ataupun sesuai dengan standar, bermartabat, dan lainnya, itu diyakini akan memberikan dampak disonansi kognitif kepada mereka, karena menurut mereka thogut itu tidak akan berbuat baik,” ujarnya.
(cip)