Uji Materi PT 4%, Perludem Tekankan Proporsionalitas Hasil Pemilu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi telah menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan atas Perkara PUU No 48/PUU-XVIII/2020 mengenai permohonan uji materi yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengenai ketentuan ambang batas parlemen yang diatur dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada Rabu 7 Juli 2020.
Adapun pasal yang diuji materi adalah Pasal 414 ayat (1) UU No 7 Tahun 2017 yang berbunyi, "Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR". (Baca juga: Target Partisipasi Pilkada Tinggi, Waspadai Politik Uang di Tengah Pandemi)
Dalam sidang pendahuluan, Perludem sebagai pemohon menyampaikan argumen hukum perihal ambang batas tersebut. Manajer Program Perludem Fadli Ramadhanil menyatakan, ambang batas parlemen atau sering dikenal dengan istilah parliamentary threshold (PT) memang bukanlah barang baru dalam sistem pemilu di Indonesia.
Menurut dia, Pemilu 2009 menjadi pemilu pertama diberlakukannya ambang batas parlemen yang menjadi syarat utama bagi partai politik untuk diikutsertakan dalam konversi suara ke kursi di Pemilu DPR. Besaran ambang batas parlemen dari tiga pemilu terakhir berbeda-beda mulai dari 2,5% di Pemilu 2009, kemudian 3,5% di Pemilu 2014, dan 4% di Pemilu 2019.
"Ketentuan ini sejauh ini hanya berlaku untuk Pemilu DPR dan tidak diberlakukan untuk Pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota," kata Fadli kepada SINDOnews, Kamis (9/7/2020).
Menurut dia, salah satu motif dari penerapan ambang batas parlemen di DPR ini adalah untuk menyederhanakan partai politik atau menghambat partai baru/kecil masuk DPR. Motif ini sangat nampak sekali dari penentuan besaran ambang batas parlemen yang lekat dengan unsur politis dan kepentingan partai politik.
Persoalannya, cara bekerja ketentuan ambang batas parlemen tidak hanya terkait partai-partai mana saja yang berhak memperoleh kursi dan melampaui persentase ambang batas.
"Namun lebih jauh, ambang batas parlemen berdampak pada terbuangnya suara yang diberikan pemilih kepada partai politik yang tidak mampu melampaui besaran persentase minimal perolehan suara ambang batas parlemen tersebut," paparnya.
Pada sisi lain, kata Fadli, ketentuan ini berpengaruh juga terhadap proporsionalitas hasil pemilu di tengah sistem pemilu proporsional yang diterapkan di Indonesia. Lijphart (2003: 170-171) dalam studinya Degrees of Proportionality of Proportional Representation Formulas mendifinisikan proporsionalitas sebagai: (1) derajat di mana persentase perolehan kursi setimpal dengan persentase perolehan suara; (2) derajat di mana partai besar dan kecil diperlakukan setara.
Sehingga, menurutnya, ketika ambang batas parlemen diterapkan dengan besaran persentase yang cukup tinggi, tentunya dapat mengganggu prinsip proporsionalitas terutama kesetaraan perlakuan antar partai politik peserta pemilu.
Adapun pasal yang diuji materi adalah Pasal 414 ayat (1) UU No 7 Tahun 2017 yang berbunyi, "Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR". (Baca juga: Target Partisipasi Pilkada Tinggi, Waspadai Politik Uang di Tengah Pandemi)
Dalam sidang pendahuluan, Perludem sebagai pemohon menyampaikan argumen hukum perihal ambang batas tersebut. Manajer Program Perludem Fadli Ramadhanil menyatakan, ambang batas parlemen atau sering dikenal dengan istilah parliamentary threshold (PT) memang bukanlah barang baru dalam sistem pemilu di Indonesia.
Menurut dia, Pemilu 2009 menjadi pemilu pertama diberlakukannya ambang batas parlemen yang menjadi syarat utama bagi partai politik untuk diikutsertakan dalam konversi suara ke kursi di Pemilu DPR. Besaran ambang batas parlemen dari tiga pemilu terakhir berbeda-beda mulai dari 2,5% di Pemilu 2009, kemudian 3,5% di Pemilu 2014, dan 4% di Pemilu 2019.
"Ketentuan ini sejauh ini hanya berlaku untuk Pemilu DPR dan tidak diberlakukan untuk Pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota," kata Fadli kepada SINDOnews, Kamis (9/7/2020).
Menurut dia, salah satu motif dari penerapan ambang batas parlemen di DPR ini adalah untuk menyederhanakan partai politik atau menghambat partai baru/kecil masuk DPR. Motif ini sangat nampak sekali dari penentuan besaran ambang batas parlemen yang lekat dengan unsur politis dan kepentingan partai politik.
Persoalannya, cara bekerja ketentuan ambang batas parlemen tidak hanya terkait partai-partai mana saja yang berhak memperoleh kursi dan melampaui persentase ambang batas.
"Namun lebih jauh, ambang batas parlemen berdampak pada terbuangnya suara yang diberikan pemilih kepada partai politik yang tidak mampu melampaui besaran persentase minimal perolehan suara ambang batas parlemen tersebut," paparnya.
Pada sisi lain, kata Fadli, ketentuan ini berpengaruh juga terhadap proporsionalitas hasil pemilu di tengah sistem pemilu proporsional yang diterapkan di Indonesia. Lijphart (2003: 170-171) dalam studinya Degrees of Proportionality of Proportional Representation Formulas mendifinisikan proporsionalitas sebagai: (1) derajat di mana persentase perolehan kursi setimpal dengan persentase perolehan suara; (2) derajat di mana partai besar dan kecil diperlakukan setara.
Sehingga, menurutnya, ketika ambang batas parlemen diterapkan dengan besaran persentase yang cukup tinggi, tentunya dapat mengganggu prinsip proporsionalitas terutama kesetaraan perlakuan antar partai politik peserta pemilu.