Menyoal Pencabutan Insentif Perpajakan

Sabtu, 19 November 2022 - 13:50 WIB
loading...
A A A
Sementara sektor real estate masih tumbuh 7,7%, kendati lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai 11,5%. Efek berantainya pun bisa dilihat. UMKM sebagai pemasok utama kedua subsektor tersebut pun ikut menikmati cipratan geliat usahanya.

Dengan kinerja di atas, pencabutan insentif perpajakan pada subsektor automotif dan properti menjadi sebuah kewajaran. Lebih lanjut, penghentian insentif tersebut dapat dialihkan ke sektor lainnya yang lebih membutuhkan. Artinya, azas ketepatan insentif terpenuhi dari penerapan skala prioritas.

Dalam skala makro, penghentian insentif fiskal niscaya akan menghemat pengeluaran negara. Masa pandemi Covid-19, sebagaimana sektor privat, telah menggerus penerimaan. Sehingga sumber pembiayaan belanja negara (termasuk insentif itu sendiri) terpaksa harus mengandalkan dari penerbitan surat utang.

Demikin pula, pemerintah tidak kehilangan potensi pendapatan yang semestinya bisa diraih jika insentif tidak disediakan. Lagi pula, konsolidasi fiskal juga sedang digeber. Misi jangka pendek normalisasi dan konsolidasi fiskal adalah mengembalikan defisit kembali maksimum ke level 3% mulai tahun depan.

Dengan beberapa argumen di atas, normalisasi sistem perpajakan sangat diperlukan agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tetap sehat. Demikian pula, pertumbuhan ekonomi nasional (tanpa terlalu bertumpu pada insentif fiskal) niscaya tetapberkelanjutan (sustained) dalam jangka menengah/panjang.

Sampai di sini, pencabutan insentif perpajakan untuk subsektor otomotif dan properti secara ekonomi memang layak diterapkan. Hanya persoalannya, kebijakan pencabutan insentif perpajakan itu barang kali terkesan kurang sinkron jika diteropong dari kebijakan makroprudensial yang didisain BI.

Hasil Rapat Dewan Gubernur BI periode Oktober sudah memutuskan untuk melanjutkan pelonggaran ketentuan Uang Muka Kredit/Pembiayaan Kendaraan Bermotor menjadi paling sedikit 0% untuk semua jenis kendaraan bermotor baru dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.

Hal yang sama juga dilakukan properti. Pada tahun depan, rasioLoan to Value/Financing to Value(LTV/FTV) Kredit/Pembiayaan Properti dilonggarkan menjadi paling tinggi 100% untuk semua jenis properti (rumah tapak, rumah susun, rumah toko, serta rumah kantor), bagi bank yang memenuhi ketentuan kredit macet.

Otoritas makroprudensial berargumen bahwa relaksasi uang muka kredit kendaraan bermotor dan properti diperlukan sebagai kompensasi atas insentif perpajakan yang dicabut pemerintah. Kebijakan pengimbangan (counterpart policy) semacam ini dibutuhkan agar masyarakat yang terkena kebijakan tidak terlalu terguncang.

Guncangan senantiasa akan muncul lantaran konsumen telah menikmati insentif perpajakan dalam tenggat waktu yang relatif lama. Sadar atau tidak, konsumen seolah menjadi ‘ketagihan’ terhadap insentif itu. Mereka merasa sudah ‘biasa’ mendapatkan insentif, akan tetapi ‘luar biasa’ saat tidak lagi memperolehnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1515 seconds (0.1#10.140)