Menyoal Pencabutan Insentif Perpajakan
loading...
A
A
A
Haryo Kuncoro
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara PP ISEI Pusat
Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta
Normalisasi kebijakan moneter yang diinisiasi Bank Indonesia (BI) tampaknya mulai ‘menular’ ke ranah fiskal. Normalisasi itu ditandai dengan pencabutan sejumlah insentif yang masif diberikan agar kegiatan perekonomian secara umum mampu bertahan dari paparan dampak pagebluk Covid-19.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25, PPh Pasal 22 Impor, dan PPh final jasa konstruksi Ditanggung Pemerintah atas Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi, misalnya, sudah kedaluwarsa per 30 Juni 2022. Tarif pajak PPh ketiga jenis tersebut sudah kembali ke tarif sebelum pandemi.
Pencabutan insentif fiskal agaknya tidak berhenti sampai di situ. Pemerintah mulai tahun depan juga akan menghentikan pemberian insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditanggung pemerintah atas penyerahan rumah tapak atau rumah susun dan insentif pajak berupa pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Dalam perspektif konseptual, fenomena penghentian insentif perpajakan semacam itu sejatinya bisa dimaklumi. Pertimbangan primer pemberian insentif perpajakan harus mengacu saat yang tepat (timely). Awal pandemi yang merebak di Indonesia pada Maret 2020 dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memulainya.
Agar efektif sampai pada sasaran, pemberian insentif fiskal harus terfokus. Subsektor pemimpin (leading sector) layak diberi prioritas. Subsektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) sangat strategis didorong terlebih dahulu agar bisa menghela sub-subsektor lain turunannya.
Insentif perpajakan adalah bagian dari stimulus fiskal. Karakteristik utama insentif fiskal adalah sementara. Artinya, insentif fiskal tidak bisa berlaku terus-menerus alias permanen. Pada suatu saat tertentu, pemberlakuan insentif perpajakan akan dihentikan setelah dipandang selesai menunaikan mandatnya.
Prinsip 3T (timely,temporary, dantargeted) agaknya dipegang teguh oleh otoritas fiskal. Industri automotif dan properti merupakan dua subsektor yang pertama kali memperoleh insentif perpajakan lantaran memiliki banyak mata rantai dan jaringan kegiatan usaha yang akan menerima efek dominonya.
Oleh karenanya, sangat masuk akal apabila kinerja kedua subsektor ini mampu pulih jauh lebih cepat dibandingkan dengan sektor-sektor lain yang belum memperoleh insentif. Sebagai gambaran, hingga Agustus 2022, sektor automotif mampu tumbuh 172,2% dibanding periode yang sama di tahun lalu yang terkonstraksi 29,4%.
Sementara sektor real estate masih tumbuh 7,7%, kendati lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai 11,5%. Efek berantainya pun bisa dilihat. UMKM sebagai pemasok utama kedua subsektor tersebut pun ikut menikmati cipratan geliat usahanya.
Dengan kinerja di atas, pencabutan insentif perpajakan pada subsektor automotif dan properti menjadi sebuah kewajaran. Lebih lanjut, penghentian insentif tersebut dapat dialihkan ke sektor lainnya yang lebih membutuhkan. Artinya, azas ketepatan insentif terpenuhi dari penerapan skala prioritas.
Dalam skala makro, penghentian insentif fiskal niscaya akan menghemat pengeluaran negara. Masa pandemi Covid-19, sebagaimana sektor privat, telah menggerus penerimaan. Sehingga sumber pembiayaan belanja negara (termasuk insentif itu sendiri) terpaksa harus mengandalkan dari penerbitan surat utang.
Demikin pula, pemerintah tidak kehilangan potensi pendapatan yang semestinya bisa diraih jika insentif tidak disediakan. Lagi pula, konsolidasi fiskal juga sedang digeber. Misi jangka pendek normalisasi dan konsolidasi fiskal adalah mengembalikan defisit kembali maksimum ke level 3% mulai tahun depan.
Dengan beberapa argumen di atas, normalisasi sistem perpajakan sangat diperlukan agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tetap sehat. Demikian pula, pertumbuhan ekonomi nasional (tanpa terlalu bertumpu pada insentif fiskal) niscaya tetapberkelanjutan (sustained) dalam jangka menengah/panjang.
Sampai di sini, pencabutan insentif perpajakan untuk subsektor otomotif dan properti secara ekonomi memang layak diterapkan. Hanya persoalannya, kebijakan pencabutan insentif perpajakan itu barang kali terkesan kurang sinkron jika diteropong dari kebijakan makroprudensial yang didisain BI.
Hasil Rapat Dewan Gubernur BI periode Oktober sudah memutuskan untuk melanjutkan pelonggaran ketentuan Uang Muka Kredit/Pembiayaan Kendaraan Bermotor menjadi paling sedikit 0% untuk semua jenis kendaraan bermotor baru dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.
Hal yang sama juga dilakukan properti. Pada tahun depan, rasioLoan to Value/Financing to Value(LTV/FTV) Kredit/Pembiayaan Properti dilonggarkan menjadi paling tinggi 100% untuk semua jenis properti (rumah tapak, rumah susun, rumah toko, serta rumah kantor), bagi bank yang memenuhi ketentuan kredit macet.
Otoritas makroprudensial berargumen bahwa relaksasi uang muka kredit kendaraan bermotor dan properti diperlukan sebagai kompensasi atas insentif perpajakan yang dicabut pemerintah. Kebijakan pengimbangan (counterpart policy) semacam ini dibutuhkan agar masyarakat yang terkena kebijakan tidak terlalu terguncang.
Guncangan senantiasa akan muncul lantaran konsumen telah menikmati insentif perpajakan dalam tenggat waktu yang relatif lama. Sadar atau tidak, konsumen seolah menjadi ‘ketagihan’ terhadap insentif itu. Mereka merasa sudah ‘biasa’ mendapatkan insentif, akan tetapi ‘luar biasa’ saat tidak lagi memperolehnya.
Artinya, konsumen tidak ‘adil’ terhadap dirinya sendiri. Mereka masih merasa kurang atau belum cukup atas manfaat dari insentif yang disediakan. Namun begitu, ketika insentif itu dicabut, mereka merasa rugi dengan besaran kerugian yang lebih tinggi daripada nilai manfaat yang diperolehnya.
Perilaku konsumen yang tak simetris terhadap eksistensi pencabutan insentif semacam ini – kadang bahkan sering – memberikan implikasi lanjutan yang tidak ringan. Banyak kegaduhan sosial-politik beranjak dari ‘kebiasaan’ yang tidak ‘biasa’ seperti ini. Bagaimanapun insentif yang tidak efektif akan memunculkan inefisiensi.
Kembali ke pokok pembicaraan di awal tulisan, keberadaan insentif berlaku hanya sementara sifatnya. Pada akhirnya, cepat atau lambat insentif yang diberikan pada sub-subsektor lain toh juga akan dicabut. Alhasil, masyarakat harus siap menerima kenyataan yang semestinya memang harus terjadi.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara PP ISEI Pusat
Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta
Normalisasi kebijakan moneter yang diinisiasi Bank Indonesia (BI) tampaknya mulai ‘menular’ ke ranah fiskal. Normalisasi itu ditandai dengan pencabutan sejumlah insentif yang masif diberikan agar kegiatan perekonomian secara umum mampu bertahan dari paparan dampak pagebluk Covid-19.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25, PPh Pasal 22 Impor, dan PPh final jasa konstruksi Ditanggung Pemerintah atas Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi, misalnya, sudah kedaluwarsa per 30 Juni 2022. Tarif pajak PPh ketiga jenis tersebut sudah kembali ke tarif sebelum pandemi.
Pencabutan insentif fiskal agaknya tidak berhenti sampai di situ. Pemerintah mulai tahun depan juga akan menghentikan pemberian insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditanggung pemerintah atas penyerahan rumah tapak atau rumah susun dan insentif pajak berupa pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Dalam perspektif konseptual, fenomena penghentian insentif perpajakan semacam itu sejatinya bisa dimaklumi. Pertimbangan primer pemberian insentif perpajakan harus mengacu saat yang tepat (timely). Awal pandemi yang merebak di Indonesia pada Maret 2020 dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memulainya.
Agar efektif sampai pada sasaran, pemberian insentif fiskal harus terfokus. Subsektor pemimpin (leading sector) layak diberi prioritas. Subsektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) sangat strategis didorong terlebih dahulu agar bisa menghela sub-subsektor lain turunannya.
Insentif perpajakan adalah bagian dari stimulus fiskal. Karakteristik utama insentif fiskal adalah sementara. Artinya, insentif fiskal tidak bisa berlaku terus-menerus alias permanen. Pada suatu saat tertentu, pemberlakuan insentif perpajakan akan dihentikan setelah dipandang selesai menunaikan mandatnya.
Prinsip 3T (timely,temporary, dantargeted) agaknya dipegang teguh oleh otoritas fiskal. Industri automotif dan properti merupakan dua subsektor yang pertama kali memperoleh insentif perpajakan lantaran memiliki banyak mata rantai dan jaringan kegiatan usaha yang akan menerima efek dominonya.
Oleh karenanya, sangat masuk akal apabila kinerja kedua subsektor ini mampu pulih jauh lebih cepat dibandingkan dengan sektor-sektor lain yang belum memperoleh insentif. Sebagai gambaran, hingga Agustus 2022, sektor automotif mampu tumbuh 172,2% dibanding periode yang sama di tahun lalu yang terkonstraksi 29,4%.
Sementara sektor real estate masih tumbuh 7,7%, kendati lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai 11,5%. Efek berantainya pun bisa dilihat. UMKM sebagai pemasok utama kedua subsektor tersebut pun ikut menikmati cipratan geliat usahanya.
Dengan kinerja di atas, pencabutan insentif perpajakan pada subsektor automotif dan properti menjadi sebuah kewajaran. Lebih lanjut, penghentian insentif tersebut dapat dialihkan ke sektor lainnya yang lebih membutuhkan. Artinya, azas ketepatan insentif terpenuhi dari penerapan skala prioritas.
Dalam skala makro, penghentian insentif fiskal niscaya akan menghemat pengeluaran negara. Masa pandemi Covid-19, sebagaimana sektor privat, telah menggerus penerimaan. Sehingga sumber pembiayaan belanja negara (termasuk insentif itu sendiri) terpaksa harus mengandalkan dari penerbitan surat utang.
Demikin pula, pemerintah tidak kehilangan potensi pendapatan yang semestinya bisa diraih jika insentif tidak disediakan. Lagi pula, konsolidasi fiskal juga sedang digeber. Misi jangka pendek normalisasi dan konsolidasi fiskal adalah mengembalikan defisit kembali maksimum ke level 3% mulai tahun depan.
Dengan beberapa argumen di atas, normalisasi sistem perpajakan sangat diperlukan agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tetap sehat. Demikian pula, pertumbuhan ekonomi nasional (tanpa terlalu bertumpu pada insentif fiskal) niscaya tetapberkelanjutan (sustained) dalam jangka menengah/panjang.
Sampai di sini, pencabutan insentif perpajakan untuk subsektor otomotif dan properti secara ekonomi memang layak diterapkan. Hanya persoalannya, kebijakan pencabutan insentif perpajakan itu barang kali terkesan kurang sinkron jika diteropong dari kebijakan makroprudensial yang didisain BI.
Hasil Rapat Dewan Gubernur BI periode Oktober sudah memutuskan untuk melanjutkan pelonggaran ketentuan Uang Muka Kredit/Pembiayaan Kendaraan Bermotor menjadi paling sedikit 0% untuk semua jenis kendaraan bermotor baru dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.
Hal yang sama juga dilakukan properti. Pada tahun depan, rasioLoan to Value/Financing to Value(LTV/FTV) Kredit/Pembiayaan Properti dilonggarkan menjadi paling tinggi 100% untuk semua jenis properti (rumah tapak, rumah susun, rumah toko, serta rumah kantor), bagi bank yang memenuhi ketentuan kredit macet.
Otoritas makroprudensial berargumen bahwa relaksasi uang muka kredit kendaraan bermotor dan properti diperlukan sebagai kompensasi atas insentif perpajakan yang dicabut pemerintah. Kebijakan pengimbangan (counterpart policy) semacam ini dibutuhkan agar masyarakat yang terkena kebijakan tidak terlalu terguncang.
Guncangan senantiasa akan muncul lantaran konsumen telah menikmati insentif perpajakan dalam tenggat waktu yang relatif lama. Sadar atau tidak, konsumen seolah menjadi ‘ketagihan’ terhadap insentif itu. Mereka merasa sudah ‘biasa’ mendapatkan insentif, akan tetapi ‘luar biasa’ saat tidak lagi memperolehnya.
Artinya, konsumen tidak ‘adil’ terhadap dirinya sendiri. Mereka masih merasa kurang atau belum cukup atas manfaat dari insentif yang disediakan. Namun begitu, ketika insentif itu dicabut, mereka merasa rugi dengan besaran kerugian yang lebih tinggi daripada nilai manfaat yang diperolehnya.
Perilaku konsumen yang tak simetris terhadap eksistensi pencabutan insentif semacam ini – kadang bahkan sering – memberikan implikasi lanjutan yang tidak ringan. Banyak kegaduhan sosial-politik beranjak dari ‘kebiasaan’ yang tidak ‘biasa’ seperti ini. Bagaimanapun insentif yang tidak efektif akan memunculkan inefisiensi.
Kembali ke pokok pembicaraan di awal tulisan, keberadaan insentif berlaku hanya sementara sifatnya. Pada akhirnya, cepat atau lambat insentif yang diberikan pada sub-subsektor lain toh juga akan dicabut. Alhasil, masyarakat harus siap menerima kenyataan yang semestinya memang harus terjadi.
(ynt)