Menyoal Pencabutan Insentif Perpajakan

Sabtu, 19 November 2022 - 13:50 WIB
loading...
Menyoal Pencabutan Insentif Perpajakan
Haryo Kuncoro. FOTO/DOK KORAN SINDO
A A A
Haryo Kuncoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara PP ISEI Pusat
Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta

Normalisasi kebijakan moneter yang diinisiasi Bank Indonesia (BI) tampaknya mulai ‘menular’ ke ranah fiskal. Normalisasi itu ditandai dengan pencabutan sejumlah insentif yang masif diberikan agar kegiatan perekonomian secara umum mampu bertahan dari paparan dampak pagebluk Covid-19.

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25, PPh Pasal 22 Impor, dan PPh final jasa konstruksi Ditanggung Pemerintah atas Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi, misalnya, sudah kedaluwarsa per 30 Juni 2022. Tarif pajak PPh ketiga jenis tersebut sudah kembali ke tarif sebelum pandemi.

Pencabutan insentif fiskal agaknya tidak berhenti sampai di situ. Pemerintah mulai tahun depan juga akan menghentikan pemberian insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditanggung pemerintah atas penyerahan rumah tapak atau rumah susun dan insentif pajak berupa pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

Dalam perspektif konseptual, fenomena penghentian insentif perpajakan semacam itu sejatinya bisa dimaklumi. Pertimbangan primer pemberian insentif perpajakan harus mengacu saat yang tepat (timely). Awal pandemi yang merebak di Indonesia pada Maret 2020 dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memulainya.

Agar efektif sampai pada sasaran, pemberian insentif fiskal harus terfokus. Subsektor pemimpin (leading sector) layak diberi prioritas. Subsektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) sangat strategis didorong terlebih dahulu agar bisa menghela sub-subsektor lain turunannya.

Insentif perpajakan adalah bagian dari stimulus fiskal. Karakteristik utama insentif fiskal adalah sementara. Artinya, insentif fiskal tidak bisa berlaku terus-menerus alias permanen. Pada suatu saat tertentu, pemberlakuan insentif perpajakan akan dihentikan setelah dipandang selesai menunaikan mandatnya.

Prinsip 3T (timely,temporary, dantargeted) agaknya dipegang teguh oleh otoritas fiskal. Industri automotif dan properti merupakan dua subsektor yang pertama kali memperoleh insentif perpajakan lantaran memiliki banyak mata rantai dan jaringan kegiatan usaha yang akan menerima efek dominonya.

Oleh karenanya, sangat masuk akal apabila kinerja kedua subsektor ini mampu pulih jauh lebih cepat dibandingkan dengan sektor-sektor lain yang belum memperoleh insentif. Sebagai gambaran, hingga Agustus 2022, sektor automotif mampu tumbuh 172,2% dibanding periode yang sama di tahun lalu yang terkonstraksi 29,4%.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1327 seconds (0.1#10.140)