World Peace Forum ke-8 di Solo: Upaya Merekonseptualisasi Islam Wasatiyah?
loading...
A
A
A
Di sisi lain, praktik dialog antaragama masih terdesentralisasi dan belum menemukan satu kerangka konseptual yang kuat. Mukti Ali, menteri agama (1972-1978), telah mengintensifkan inisiatif dialog antaragama pada 1980-an, dengan mendorong pembukaan Jurusan Studi Perbadingan Agama di kampus UIN (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Namun, gagasan dialog antaragama pada waktu itu telah dikonstruksi oleh negara dalam arti yang lebih sempit. Yakni menciptakan hubungan antaragama yang masih dipahami untuk membatasi pengaruh agama satu sama lain.
Ini artinya, orang dengan identitas agama tertentu harus memiliki semangat toleransi tanpa dipengaruhi oleh ajaran agama selain yang ia yakini. Singkatnya, saya menganggap praktik dialog antaragama lebih merupakan dialog teologis yang dikembangkan dalam studi agama atau teologi yang bertujuan hanya untuk memahami "yang lain".
Menurut pengamatan penulis, pada tingkat nasional gerakan dialog antar agama sudah berkembang pesat. Sejak Interfidei, organisasi dialog antar iman tertua, beroperasi di Indonesia sejak awal 1990-an, saat ini kita menyaksikan banyak sekali organisasi resmi buatan pemerintah seperti FKUB, dan organisasi LSM yang bergerak di bidang dialog antar agama dan perdamaian.
Awal 2000-an ketika pecah konflik komunal di Ambon, Poso, Sambas dan Sampit, organisasi yang bergerak di bidang perdamaian masih jarang. Namun, momentum konflik tersebut turut melahirkan banyak organisasi perdamaian, akademisi dan aktivis yang berkecimpung di bidang perdamaian.
Selain itu, beberapa kampus telah membuka jurusan-jurusan yang mengkaji transformasi konflik dengan alumni yang tersebar di berbagai daerah telah membuat ide-ide perdamaian menyebar luas.
Meskipun demikian, kemajuan gerakan perdamaian tidak serta merta membawa perdamaian yang holistik di Indonesia. Kita masih menyaksikan bara api ketegangan, konflik skala kecil dan praktik intoleransi di berbagai tempat di tanah air, di tengah sejumlah gerakan perdamaian di Indonesia, yang mengusung ide wasatiyah Islam.
Saat ini, istilah gagasan Islam wasatiyah di Tanah Air semakin mengemuka. Apalagi dengan upaya pemerintah Indonesia melalui kementerian agama yang mengkampanyekan moderasi beragama.
Kementerian Agama (2019, hlm. 17-18) mendefinisikan wasatiyah (moderasi) sebagai "perspektif, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama". Namun, definisi Islam dan (Muslim) wasatiyah perlu terus didefinisikan karena tantangan dan dinamika masing-masing daerah dan negara berbeda satu sama lain.
Menurut Rashid (2020, hlm. 837), Islam Moderat atau Muslim Moderat adalah proses konstruksi identitas yang sedang berlangsung, khususnya, identitas Islam yang dapat menjadi cetak biru untuk reformasi moral, sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan ajaran agama Islam. Singkatnya, definisi Islam wasatiyah telah dipahami secara berbeda oleh kelompok yang berbeda, sehingga meniscayakan adanya rekontekstualisasi dan rekonseptualisasi.
Namun, gagasan dialog antaragama pada waktu itu telah dikonstruksi oleh negara dalam arti yang lebih sempit. Yakni menciptakan hubungan antaragama yang masih dipahami untuk membatasi pengaruh agama satu sama lain.
Ini artinya, orang dengan identitas agama tertentu harus memiliki semangat toleransi tanpa dipengaruhi oleh ajaran agama selain yang ia yakini. Singkatnya, saya menganggap praktik dialog antaragama lebih merupakan dialog teologis yang dikembangkan dalam studi agama atau teologi yang bertujuan hanya untuk memahami "yang lain".
Menurut pengamatan penulis, pada tingkat nasional gerakan dialog antar agama sudah berkembang pesat. Sejak Interfidei, organisasi dialog antar iman tertua, beroperasi di Indonesia sejak awal 1990-an, saat ini kita menyaksikan banyak sekali organisasi resmi buatan pemerintah seperti FKUB, dan organisasi LSM yang bergerak di bidang dialog antar agama dan perdamaian.
Awal 2000-an ketika pecah konflik komunal di Ambon, Poso, Sambas dan Sampit, organisasi yang bergerak di bidang perdamaian masih jarang. Namun, momentum konflik tersebut turut melahirkan banyak organisasi perdamaian, akademisi dan aktivis yang berkecimpung di bidang perdamaian.
Selain itu, beberapa kampus telah membuka jurusan-jurusan yang mengkaji transformasi konflik dengan alumni yang tersebar di berbagai daerah telah membuat ide-ide perdamaian menyebar luas.
Meskipun demikian, kemajuan gerakan perdamaian tidak serta merta membawa perdamaian yang holistik di Indonesia. Kita masih menyaksikan bara api ketegangan, konflik skala kecil dan praktik intoleransi di berbagai tempat di tanah air, di tengah sejumlah gerakan perdamaian di Indonesia, yang mengusung ide wasatiyah Islam.
Saat ini, istilah gagasan Islam wasatiyah di Tanah Air semakin mengemuka. Apalagi dengan upaya pemerintah Indonesia melalui kementerian agama yang mengkampanyekan moderasi beragama.
Kementerian Agama (2019, hlm. 17-18) mendefinisikan wasatiyah (moderasi) sebagai "perspektif, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama". Namun, definisi Islam dan (Muslim) wasatiyah perlu terus didefinisikan karena tantangan dan dinamika masing-masing daerah dan negara berbeda satu sama lain.
Menurut Rashid (2020, hlm. 837), Islam Moderat atau Muslim Moderat adalah proses konstruksi identitas yang sedang berlangsung, khususnya, identitas Islam yang dapat menjadi cetak biru untuk reformasi moral, sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan ajaran agama Islam. Singkatnya, definisi Islam wasatiyah telah dipahami secara berbeda oleh kelompok yang berbeda, sehingga meniscayakan adanya rekontekstualisasi dan rekonseptualisasi.