World Peace Forum ke-8 di Solo: Upaya Merekonseptualisasi Islam Wasatiyah?
loading...
A
A
A
Ridwan
Direktur Center of Muslim Politics and World Society (Compose) Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
Alumni KACIID Dialogue Center, organisasi yang memperjuangkan dialog antar agama di dunia internasional
API optimisme dan inisiatif tentang perdamaian dunia tidak pernah kering dari Indonesia. Menjelang berakhirnya tahun 2022, Tanah Air kita telah dan sedang menghelat dua pertemuan global pemuka agama, akademisi, dan aktivis perdamaian, yang membicarakan perdamaian dunia.
Pertama, G20 Religion Twenty (R20) yang telah dilaksanakan di Bali dan Yogyakarta (2-5 November 2022). Laporan dan opini yang pro dan kontra tentang R20 sudah cukup banyak bertebaran di pelbagai media.
Kedua, World Peace Forum (WPF) ke-8 di Solo, satu side event menjelang perhelatan akbar Muhammadiyah 48, yang akan digelar di kota yang sama. Tulisan ini hendak menjelaskan secara singkat tentang World Peace Forum ke-8, beberapa isu tentang gerakan perdamaian dan Wasatiyah Islam di Indonesia.
World Peace Forum ke-1 telah dimulai sejak 2006 dan WPF ke-8 tetap akan fokus pada upaya membangun dialog antaragama guna merengkuh perdamaian dan kesejahteraan dunia. Adalah CDCC (Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations) yang dibesut Professor Din Syamsuddin berkolaborasi dengan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan The Cheng Ho Multi Culture Education Trust, besutan Tan Sri Lee Kim Yew, akan menghelat WPF pada 16-18 November 2022.
Tema dan peserta yang direncanakan berpartisipasi cukup menjanjikan untuk menghasilkan sebuah pergumulan ide-ide yang murni dan strategik untuk perdamaian dunia. Terkait tema, dari rilis yang beredar, yang diusung adalah Human Fraternity and the Middle Path for Peaceful, Just and Prosperous World dengan mengambil format diskusi.
Dalam turunannya akan dilaksanakan tiga sesi yang membahas Human Fraternity, The Middle Path; An Islamic Perspective and the Middle Path; dan An Oriental Wisdom. Direncanakan 100 peserta dalam dan luar negeri, yang merupakan tokoh agama, akademisi, negarawan, media hingga politisi yang akan meramaikan acara.
Para tokoh dunia dan dalam negeri yang akan hadir adalah Ketua MPR Bambang Soesetyo, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla, dan Vice President of the G-20 Interfaith Association Katherine Marshall. Kemudian Sekjen Liga Muslim Dunia Dr Muhammad Al-Issa, Mantan Menteri Pertahanan Malaysia, YB Muhammad bin Sabu, dan sejumlah undangan nama-nama beken lainnya.
WPF juga menawarkan terobosan baru yang berbeda dengan pelaksanaan RPF sebelumnya. Pada hari kedua WPF akan melibatkan akademisi untuk mrendalami isu-isu yang sesuai tema. Di akhir acara akan ada semacam deklarasi The Solo Message, serta pendirian World Fulcrum of Wasatiyah Islam dan The Oriental and TiongHua Wisdom and Studies Center.
WPF dan R20 adalah bagian dari gerakan dialog antar agama yang semakin berkembang belakangan ini yang merupakan evolusi dari perkembangan diskursus dan praktik dialog antar agama di Tanah Air. Secara historis, ide dan praktik dialog antaragama telah muncul pada 1969. Di mana setelah peristiwa 1965-66, konflik antara komunitas agama, di mana Muslim dan Kristen, mengalami fragmentasi yang akut.
Di sisi lain, praktik dialog antaragama masih terdesentralisasi dan belum menemukan satu kerangka konseptual yang kuat. Mukti Ali, menteri agama (1972-1978), telah mengintensifkan inisiatif dialog antaragama pada 1980-an, dengan mendorong pembukaan Jurusan Studi Perbadingan Agama di kampus UIN (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Namun, gagasan dialog antaragama pada waktu itu telah dikonstruksi oleh negara dalam arti yang lebih sempit. Yakni menciptakan hubungan antaragama yang masih dipahami untuk membatasi pengaruh agama satu sama lain.
Ini artinya, orang dengan identitas agama tertentu harus memiliki semangat toleransi tanpa dipengaruhi oleh ajaran agama selain yang ia yakini. Singkatnya, saya menganggap praktik dialog antaragama lebih merupakan dialog teologis yang dikembangkan dalam studi agama atau teologi yang bertujuan hanya untuk memahami "yang lain".
Menurut pengamatan penulis, pada tingkat nasional gerakan dialog antar agama sudah berkembang pesat. Sejak Interfidei, organisasi dialog antar iman tertua, beroperasi di Indonesia sejak awal 1990-an, saat ini kita menyaksikan banyak sekali organisasi resmi buatan pemerintah seperti FKUB, dan organisasi LSM yang bergerak di bidang dialog antar agama dan perdamaian.
Awal 2000-an ketika pecah konflik komunal di Ambon, Poso, Sambas dan Sampit, organisasi yang bergerak di bidang perdamaian masih jarang. Namun, momentum konflik tersebut turut melahirkan banyak organisasi perdamaian, akademisi dan aktivis yang berkecimpung di bidang perdamaian.
Selain itu, beberapa kampus telah membuka jurusan-jurusan yang mengkaji transformasi konflik dengan alumni yang tersebar di berbagai daerah telah membuat ide-ide perdamaian menyebar luas.
Meskipun demikian, kemajuan gerakan perdamaian tidak serta merta membawa perdamaian yang holistik di Indonesia. Kita masih menyaksikan bara api ketegangan, konflik skala kecil dan praktik intoleransi di berbagai tempat di tanah air, di tengah sejumlah gerakan perdamaian di Indonesia, yang mengusung ide wasatiyah Islam.
Saat ini, istilah gagasan Islam wasatiyah di Tanah Air semakin mengemuka. Apalagi dengan upaya pemerintah Indonesia melalui kementerian agama yang mengkampanyekan moderasi beragama.
Kementerian Agama (2019, hlm. 17-18) mendefinisikan wasatiyah (moderasi) sebagai "perspektif, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama". Namun, definisi Islam dan (Muslim) wasatiyah perlu terus didefinisikan karena tantangan dan dinamika masing-masing daerah dan negara berbeda satu sama lain.
Menurut Rashid (2020, hlm. 837), Islam Moderat atau Muslim Moderat adalah proses konstruksi identitas yang sedang berlangsung, khususnya, identitas Islam yang dapat menjadi cetak biru untuk reformasi moral, sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan ajaran agama Islam. Singkatnya, definisi Islam wasatiyah telah dipahami secara berbeda oleh kelompok yang berbeda, sehingga meniscayakan adanya rekontekstualisasi dan rekonseptualisasi.
Dalam konteks ini, sejak lama umat Islam Indonesia secara luas diakui sebagai Muslim moderat, mengingat mereka umumnya lebih open minded, toleransi, dan menghormati pluralisme. Dalam hal ini, tidak berlebihan jika Indonesia sebelumnya diakui sebagai panutan demokrasi bagi negara-negara Muslim.
Namun bukti terkini menunjukkan bahwa sejak jatuhnya rezim Orde Baru dan munculnya era Reformasi, para pengamat dan media internasional menunjukkan bahwa Indonesia bukan lagi tanah yang subur bagi persemaian Muslim moderat. Sebab, sejak pascakejatuhan Soeharto, Indonesia menghadapi kebangkitan konservatisme dan radikalisme Islam.
Kehadiran gerakan Islam radikal adalah bukti kegagalan Muslim moderat merawat Islam arus utama. Bahkan, gerakan-gerakan Islam radikal menyebarkan secara luas semangat sikap intoleransi, anti-pluralisme, dan gagasan berpikiran syariah yang ketat, legal, dan eksklusif, yang dianggap tidak sesuai dengan karakteristik dan keislaman muslim moderat arus utama di Indonesia (Anwar, 2007).
Kehadiran WPF, hemat penulis, adalah bagian dari upaya untuk mempromosikan perdamaian di tingkat dunia dan nasional dengan menyebarkan gagasan Islam wasatiyah yang sudah berakar tunjang di Tanah Air. Problemnya adalah bagaimana merekontekstualisasi dan merekonseptualisasi Islam wasatiyah yang aktual, relevan dan inklusif sebagai sumbangan Indonesia untuk perdamaian dunia dan nasional.
Kita berharap WPF dapat menjawab isu rekontekstualisasi dan rekonseptualisasi Islam Wasatiyah sesuai tema yang diusung, karena tanpa itu WPF hanyalah pertemuan rutin dua tahunan yang tidak memiliki dampak signifikan. Selamat berdiskusi!
Direktur Center of Muslim Politics and World Society (Compose) Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
Alumni KACIID Dialogue Center, organisasi yang memperjuangkan dialog antar agama di dunia internasional
API optimisme dan inisiatif tentang perdamaian dunia tidak pernah kering dari Indonesia. Menjelang berakhirnya tahun 2022, Tanah Air kita telah dan sedang menghelat dua pertemuan global pemuka agama, akademisi, dan aktivis perdamaian, yang membicarakan perdamaian dunia.
Pertama, G20 Religion Twenty (R20) yang telah dilaksanakan di Bali dan Yogyakarta (2-5 November 2022). Laporan dan opini yang pro dan kontra tentang R20 sudah cukup banyak bertebaran di pelbagai media.
Kedua, World Peace Forum (WPF) ke-8 di Solo, satu side event menjelang perhelatan akbar Muhammadiyah 48, yang akan digelar di kota yang sama. Tulisan ini hendak menjelaskan secara singkat tentang World Peace Forum ke-8, beberapa isu tentang gerakan perdamaian dan Wasatiyah Islam di Indonesia.
World Peace Forum ke-1 telah dimulai sejak 2006 dan WPF ke-8 tetap akan fokus pada upaya membangun dialog antaragama guna merengkuh perdamaian dan kesejahteraan dunia. Adalah CDCC (Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations) yang dibesut Professor Din Syamsuddin berkolaborasi dengan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan The Cheng Ho Multi Culture Education Trust, besutan Tan Sri Lee Kim Yew, akan menghelat WPF pada 16-18 November 2022.
Tema dan peserta yang direncanakan berpartisipasi cukup menjanjikan untuk menghasilkan sebuah pergumulan ide-ide yang murni dan strategik untuk perdamaian dunia. Terkait tema, dari rilis yang beredar, yang diusung adalah Human Fraternity and the Middle Path for Peaceful, Just and Prosperous World dengan mengambil format diskusi.
Dalam turunannya akan dilaksanakan tiga sesi yang membahas Human Fraternity, The Middle Path; An Islamic Perspective and the Middle Path; dan An Oriental Wisdom. Direncanakan 100 peserta dalam dan luar negeri, yang merupakan tokoh agama, akademisi, negarawan, media hingga politisi yang akan meramaikan acara.
Para tokoh dunia dan dalam negeri yang akan hadir adalah Ketua MPR Bambang Soesetyo, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla, dan Vice President of the G-20 Interfaith Association Katherine Marshall. Kemudian Sekjen Liga Muslim Dunia Dr Muhammad Al-Issa, Mantan Menteri Pertahanan Malaysia, YB Muhammad bin Sabu, dan sejumlah undangan nama-nama beken lainnya.
WPF juga menawarkan terobosan baru yang berbeda dengan pelaksanaan RPF sebelumnya. Pada hari kedua WPF akan melibatkan akademisi untuk mrendalami isu-isu yang sesuai tema. Di akhir acara akan ada semacam deklarasi The Solo Message, serta pendirian World Fulcrum of Wasatiyah Islam dan The Oriental and TiongHua Wisdom and Studies Center.
WPF dan R20 adalah bagian dari gerakan dialog antar agama yang semakin berkembang belakangan ini yang merupakan evolusi dari perkembangan diskursus dan praktik dialog antar agama di Tanah Air. Secara historis, ide dan praktik dialog antaragama telah muncul pada 1969. Di mana setelah peristiwa 1965-66, konflik antara komunitas agama, di mana Muslim dan Kristen, mengalami fragmentasi yang akut.
Di sisi lain, praktik dialog antaragama masih terdesentralisasi dan belum menemukan satu kerangka konseptual yang kuat. Mukti Ali, menteri agama (1972-1978), telah mengintensifkan inisiatif dialog antaragama pada 1980-an, dengan mendorong pembukaan Jurusan Studi Perbadingan Agama di kampus UIN (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Namun, gagasan dialog antaragama pada waktu itu telah dikonstruksi oleh negara dalam arti yang lebih sempit. Yakni menciptakan hubungan antaragama yang masih dipahami untuk membatasi pengaruh agama satu sama lain.
Ini artinya, orang dengan identitas agama tertentu harus memiliki semangat toleransi tanpa dipengaruhi oleh ajaran agama selain yang ia yakini. Singkatnya, saya menganggap praktik dialog antaragama lebih merupakan dialog teologis yang dikembangkan dalam studi agama atau teologi yang bertujuan hanya untuk memahami "yang lain".
Menurut pengamatan penulis, pada tingkat nasional gerakan dialog antar agama sudah berkembang pesat. Sejak Interfidei, organisasi dialog antar iman tertua, beroperasi di Indonesia sejak awal 1990-an, saat ini kita menyaksikan banyak sekali organisasi resmi buatan pemerintah seperti FKUB, dan organisasi LSM yang bergerak di bidang dialog antar agama dan perdamaian.
Awal 2000-an ketika pecah konflik komunal di Ambon, Poso, Sambas dan Sampit, organisasi yang bergerak di bidang perdamaian masih jarang. Namun, momentum konflik tersebut turut melahirkan banyak organisasi perdamaian, akademisi dan aktivis yang berkecimpung di bidang perdamaian.
Selain itu, beberapa kampus telah membuka jurusan-jurusan yang mengkaji transformasi konflik dengan alumni yang tersebar di berbagai daerah telah membuat ide-ide perdamaian menyebar luas.
Meskipun demikian, kemajuan gerakan perdamaian tidak serta merta membawa perdamaian yang holistik di Indonesia. Kita masih menyaksikan bara api ketegangan, konflik skala kecil dan praktik intoleransi di berbagai tempat di tanah air, di tengah sejumlah gerakan perdamaian di Indonesia, yang mengusung ide wasatiyah Islam.
Saat ini, istilah gagasan Islam wasatiyah di Tanah Air semakin mengemuka. Apalagi dengan upaya pemerintah Indonesia melalui kementerian agama yang mengkampanyekan moderasi beragama.
Kementerian Agama (2019, hlm. 17-18) mendefinisikan wasatiyah (moderasi) sebagai "perspektif, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama". Namun, definisi Islam dan (Muslim) wasatiyah perlu terus didefinisikan karena tantangan dan dinamika masing-masing daerah dan negara berbeda satu sama lain.
Menurut Rashid (2020, hlm. 837), Islam Moderat atau Muslim Moderat adalah proses konstruksi identitas yang sedang berlangsung, khususnya, identitas Islam yang dapat menjadi cetak biru untuk reformasi moral, sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan ajaran agama Islam. Singkatnya, definisi Islam wasatiyah telah dipahami secara berbeda oleh kelompok yang berbeda, sehingga meniscayakan adanya rekontekstualisasi dan rekonseptualisasi.
Dalam konteks ini, sejak lama umat Islam Indonesia secara luas diakui sebagai Muslim moderat, mengingat mereka umumnya lebih open minded, toleransi, dan menghormati pluralisme. Dalam hal ini, tidak berlebihan jika Indonesia sebelumnya diakui sebagai panutan demokrasi bagi negara-negara Muslim.
Namun bukti terkini menunjukkan bahwa sejak jatuhnya rezim Orde Baru dan munculnya era Reformasi, para pengamat dan media internasional menunjukkan bahwa Indonesia bukan lagi tanah yang subur bagi persemaian Muslim moderat. Sebab, sejak pascakejatuhan Soeharto, Indonesia menghadapi kebangkitan konservatisme dan radikalisme Islam.
Kehadiran gerakan Islam radikal adalah bukti kegagalan Muslim moderat merawat Islam arus utama. Bahkan, gerakan-gerakan Islam radikal menyebarkan secara luas semangat sikap intoleransi, anti-pluralisme, dan gagasan berpikiran syariah yang ketat, legal, dan eksklusif, yang dianggap tidak sesuai dengan karakteristik dan keislaman muslim moderat arus utama di Indonesia (Anwar, 2007).
Kehadiran WPF, hemat penulis, adalah bagian dari upaya untuk mempromosikan perdamaian di tingkat dunia dan nasional dengan menyebarkan gagasan Islam wasatiyah yang sudah berakar tunjang di Tanah Air. Problemnya adalah bagaimana merekontekstualisasi dan merekonseptualisasi Islam wasatiyah yang aktual, relevan dan inklusif sebagai sumbangan Indonesia untuk perdamaian dunia dan nasional.
Kita berharap WPF dapat menjawab isu rekontekstualisasi dan rekonseptualisasi Islam Wasatiyah sesuai tema yang diusung, karena tanpa itu WPF hanyalah pertemuan rutin dua tahunan yang tidak memiliki dampak signifikan. Selamat berdiskusi!
(poe)