Muktamar Muhammadiyah-Aisyiyah: Suara Perempuan Korban sebagai Basis Fatwa
loading...
A
A
A
Fatwa Zakat bagi Korban
PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta sedang berikhtiar, berijtihad agar dana zakat dapat dialokasikan untuk korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama korban kekerasan seksual (perkosaan, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual), KDRT, dan incest. Alasannya, pertama, akibat menjadi korban, perempuan dan anak menempati empat golongan (asnaf) yakni fakir, miskin, riqab, dan fi sabilillah dari delapan golongan mustahik/penerima zakat sebagaimana QS At-Taubah: 60.
Kedua, mendobrak kebekuan fikih yang tidak/belum memasukkan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, sebagai golongan (asnaf) yang berhak atas zakat. Fikih sejatinya berevolusi pada perkembangan zaman, menjawab persoalan masyarakat, dan memberikan perlindungan bagi korban. Dengan mengecualikan korban dari asnaf, maka secara tidak langsung fikih tidak berpihak pada korban.
Ketiga, dengan memasukkan mereka (para korban) dalam golongan penerima zakat, maka secara otomatis menghapuskan stigma negatif korban sebagai perempuan penggoda yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual itu. Sehingga, fikih memanusiakan para korban, adanya pengakuan bahwa korban manusia terhormat, dan menyejajarkan para korban dengan golongan musthadafin (orang yang lemah dan dilemahkan).
Zakat bagi korban sebagai akses emergency. Korban selama ini masih minim dukungan: BPJS Kesehatan mengecualikan korban dan tidak berhak atas layanan kesehatan karena dianggap bukan penyakit, visum at repertum yang masih berbayar, serta proses restitusi yang panjang dan harus melalui putusan pengadilan.
Padahal, korban mengalami tekanan dan intimidasi akibat perkosaan yang dialaminya. Misalnya perkosaan berkelompok di salah satu kementerian/lembaga, korban di(ter)paksa keluar dari pekerjaannya dan menciptakan kemiskinan bagi perempuan.
Untuk itu, kami berharap penuh, dalam muktamar, kongres, serta kampanye K16HAKtP isu zakat bagi korban—karena berbasis pengalaman dan suara korban—mendapatkan perhatian signifikan dalam agenda pembahasan. Serta, arah kebijakan organisasi lima tahun mendatang. Zakat bagi korban bukan hanya selaras dengan prinsip maqasid syariah sebagai ijtihad fikih kontemporer, tetapi juga sesuai perspektif hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan serta UU TPKS. Semoga.
PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta sedang berikhtiar, berijtihad agar dana zakat dapat dialokasikan untuk korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama korban kekerasan seksual (perkosaan, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual), KDRT, dan incest. Alasannya, pertama, akibat menjadi korban, perempuan dan anak menempati empat golongan (asnaf) yakni fakir, miskin, riqab, dan fi sabilillah dari delapan golongan mustahik/penerima zakat sebagaimana QS At-Taubah: 60.
Kedua, mendobrak kebekuan fikih yang tidak/belum memasukkan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, sebagai golongan (asnaf) yang berhak atas zakat. Fikih sejatinya berevolusi pada perkembangan zaman, menjawab persoalan masyarakat, dan memberikan perlindungan bagi korban. Dengan mengecualikan korban dari asnaf, maka secara tidak langsung fikih tidak berpihak pada korban.
Ketiga, dengan memasukkan mereka (para korban) dalam golongan penerima zakat, maka secara otomatis menghapuskan stigma negatif korban sebagai perempuan penggoda yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual itu. Sehingga, fikih memanusiakan para korban, adanya pengakuan bahwa korban manusia terhormat, dan menyejajarkan para korban dengan golongan musthadafin (orang yang lemah dan dilemahkan).
Zakat bagi korban sebagai akses emergency. Korban selama ini masih minim dukungan: BPJS Kesehatan mengecualikan korban dan tidak berhak atas layanan kesehatan karena dianggap bukan penyakit, visum at repertum yang masih berbayar, serta proses restitusi yang panjang dan harus melalui putusan pengadilan.
Padahal, korban mengalami tekanan dan intimidasi akibat perkosaan yang dialaminya. Misalnya perkosaan berkelompok di salah satu kementerian/lembaga, korban di(ter)paksa keluar dari pekerjaannya dan menciptakan kemiskinan bagi perempuan.
Untuk itu, kami berharap penuh, dalam muktamar, kongres, serta kampanye K16HAKtP isu zakat bagi korban—karena berbasis pengalaman dan suara korban—mendapatkan perhatian signifikan dalam agenda pembahasan. Serta, arah kebijakan organisasi lima tahun mendatang. Zakat bagi korban bukan hanya selaras dengan prinsip maqasid syariah sebagai ijtihad fikih kontemporer, tetapi juga sesuai perspektif hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan serta UU TPKS. Semoga.
(bmm)