Muktamar Muhammadiyah-Aisyiyah: Suara Perempuan Korban sebagai Basis Fatwa
loading...
A
A
A
Sebagai aktivis perempuan yang tumbuh, berkembang di Muhammadiyah-‘Aisyiyah, KUPI, dan Komnas Perempuan, saya memiliki penilaian subjektif, objektif, sekaligus harapan pada ketiganya. Yakni, dalam hal perumusan fatwa, berdasarkan pengalaman dan suara perempuan serta arah kebijakan untuk lima tahun ke depan bagi kehidupan perempuan.
Pandangan objektif berdasarkan penelitian saya, setidaknya Muhammadiyah-‘Aisyiyah dan KUPI telah mengeluarkan fatwa yang selaras dengan jaminan perlindungan jiwa manusia, terutama perempuan dalam dharuriyyat khamsah; terutama hifzun-nafs (perlindungan jiwa, nyawa), hifzul-’aql (melindungi akal-pikiran), hifzul-irdhi (melindungi kehormatan diri).
Misalnya, Muhammadiyah-‘Aisyiyah memiliki fatwa (‘Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama’), di antaranya hukum mencatatkan perkawinan adalah wajib dan larangan nikah siri karena merugikan perempuan dan anak (2007), perceraian harus melalui proses peradilan dan tidak sah perceraian di luar sidang pengadilan (2007), larangan khitan/sunat perempuan (2003).
Selain itu, mempertimbangkan poligami karena sulit berlaku adil (2003), pernikahan minimal usia 21 tahun bagi perempuan dan laki-laki (2017), serta fatwa Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah bahwa “untuk mewujudkan keluarga sakinah, poligami tidak menjadi pertimbangan utama ketika menghadapi permasalahan antara suami-istri. Semua anggota keluarga hendaknya berusaha menjauhkan peluang yang dapat menghantarkan adanya kemungkinan poligami dan mewujudkan prinsip monogami dalam perkawinannya” (Himpunan Putusan Tarjih, 2018:239).
Adapun KUPI menghasilkan tiga fatwa (2017), dua di antaranya yakni fatwa tentang kekerasan seksual sebagai sebuah keharaman, larangan menghukum korban perkosaan, kewajiban mendengarkan suara korban, perkosaan bukanlah zina dan tidak akan pernah bisa disamakan dengan zina. Selain itu, fatwa perkawinan anak, yakni pencegahan terhadap pernikahan anak/pernikahan dini yang menimbulkan kemudaratan hukumnya wajib.
Kedua fatwa menjadi rujukan negara dalam proses pembahasan dan penyusunan kebijakan untuk meningkatkan usia minimal perkawinan 19 tahun dari 16 tahun bagi perempuan dalam perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“HeForShe” dalam Perumusan Fatwa
Jamak diketahui, laki-laki (ulama, cendekiawan, akademisi) dianggap lebih otoritatif daripada perempuan dalam penyusunan fatwa. Kenyataannya, banyak ulama perempuan yang cerdas, berpengetahuan luas, otoritatif, bahkan berbasis pengalaman perempuan dalam menyusun fatwa, sebagaimana di KUPI ataupun di ‘Aisyiyah. Walaupun ada pula laki-laki yang memiliki keberpihakan pada perempuan dan mendukung fatwa yang adil bagi perempuan dan tidak menjadikan perempuan “hanya objek fatwa”.
Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (w.1873), seorang ulama/cendekiawan, asal Mesir, tercatat sebagai orang (laki-laki) yang pertama kali mengangkat isu perempuan dalam perumusan fatwa keagamaan ataupun kebijakan publik. Bahwa posisi perempuan setara dengan laki-laki.
Pengalaman Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta dalam mengampanyekan dan membangun “16 Minggu Gerakan Zakat Nasional (16MGZN); Mulai dari Muzaki Perempuan untuk Mustahik Perempuan Korban”, mendapatkan dukungan signifikan dari laki-laki. Mereka layak menyandang gelar “HeForShe” karena mendukung perempuan.
Walaupun ada juga fatwa yang dibahas oleh laki-laki, tidak berbasis pengalaman dan suara korban, maka fatwa itu justru merugikan perempuan. Misalnya fatwa “makrumah” sunat perempuan.
Pandangan objektif berdasarkan penelitian saya, setidaknya Muhammadiyah-‘Aisyiyah dan KUPI telah mengeluarkan fatwa yang selaras dengan jaminan perlindungan jiwa manusia, terutama perempuan dalam dharuriyyat khamsah; terutama hifzun-nafs (perlindungan jiwa, nyawa), hifzul-’aql (melindungi akal-pikiran), hifzul-irdhi (melindungi kehormatan diri).
Misalnya, Muhammadiyah-‘Aisyiyah memiliki fatwa (‘Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama’), di antaranya hukum mencatatkan perkawinan adalah wajib dan larangan nikah siri karena merugikan perempuan dan anak (2007), perceraian harus melalui proses peradilan dan tidak sah perceraian di luar sidang pengadilan (2007), larangan khitan/sunat perempuan (2003).
Selain itu, mempertimbangkan poligami karena sulit berlaku adil (2003), pernikahan minimal usia 21 tahun bagi perempuan dan laki-laki (2017), serta fatwa Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah bahwa “untuk mewujudkan keluarga sakinah, poligami tidak menjadi pertimbangan utama ketika menghadapi permasalahan antara suami-istri. Semua anggota keluarga hendaknya berusaha menjauhkan peluang yang dapat menghantarkan adanya kemungkinan poligami dan mewujudkan prinsip monogami dalam perkawinannya” (Himpunan Putusan Tarjih, 2018:239).
Adapun KUPI menghasilkan tiga fatwa (2017), dua di antaranya yakni fatwa tentang kekerasan seksual sebagai sebuah keharaman, larangan menghukum korban perkosaan, kewajiban mendengarkan suara korban, perkosaan bukanlah zina dan tidak akan pernah bisa disamakan dengan zina. Selain itu, fatwa perkawinan anak, yakni pencegahan terhadap pernikahan anak/pernikahan dini yang menimbulkan kemudaratan hukumnya wajib.
Kedua fatwa menjadi rujukan negara dalam proses pembahasan dan penyusunan kebijakan untuk meningkatkan usia minimal perkawinan 19 tahun dari 16 tahun bagi perempuan dalam perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“HeForShe” dalam Perumusan Fatwa
Jamak diketahui, laki-laki (ulama, cendekiawan, akademisi) dianggap lebih otoritatif daripada perempuan dalam penyusunan fatwa. Kenyataannya, banyak ulama perempuan yang cerdas, berpengetahuan luas, otoritatif, bahkan berbasis pengalaman perempuan dalam menyusun fatwa, sebagaimana di KUPI ataupun di ‘Aisyiyah. Walaupun ada pula laki-laki yang memiliki keberpihakan pada perempuan dan mendukung fatwa yang adil bagi perempuan dan tidak menjadikan perempuan “hanya objek fatwa”.
Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (w.1873), seorang ulama/cendekiawan, asal Mesir, tercatat sebagai orang (laki-laki) yang pertama kali mengangkat isu perempuan dalam perumusan fatwa keagamaan ataupun kebijakan publik. Bahwa posisi perempuan setara dengan laki-laki.
Pengalaman Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta dalam mengampanyekan dan membangun “16 Minggu Gerakan Zakat Nasional (16MGZN); Mulai dari Muzaki Perempuan untuk Mustahik Perempuan Korban”, mendapatkan dukungan signifikan dari laki-laki. Mereka layak menyandang gelar “HeForShe” karena mendukung perempuan.
Walaupun ada juga fatwa yang dibahas oleh laki-laki, tidak berbasis pengalaman dan suara korban, maka fatwa itu justru merugikan perempuan. Misalnya fatwa “makrumah” sunat perempuan.