Menjadi Menengah Atas
loading...
A
A
A
Utang tambahan diberikan terus sehingga utang dalam negeri meningkat 12% dan utang luar negeri sebesar 25%. Pada 2018, China setuju untuk menjamin Sri Lanka dengan pinjaman USD1,25 miliar untuk menangani lonjakan pembayaran utang luar negeri pada 2019 hingga 2021.
Banyak orang mengatakan Sri Lanka terjebak pinjaman (debt trap) dengan China karena kejadian di mana mereka harus menyerahkan Pelabuhan Hambantota untuk disewakan ke China Merchant Port Holdings Limited (CM Port) selama 99 tahun dengan harga USD1,12 miliar pada 2017 sebagai bagian pelunasan utang. Faktanya bahwa pinjaman terbesar berasal dari pinjaman komersial (39%), ADB (14%), Jepang (12%), Bank Dunia (11%), China (10%), dan lain-lain (12%).
Kita mengetahui bahwa pinjaman komersial tidak seperti pinjaman konsesi. Pinjaman komersial tidak memiliki periode pengembalian yang panjang atau pilihan pembayaran dalam angsuran kecil. Ketika obligasi jatuh tempo pembayaran, obligasi ini membebani biaya pembayaran utang luar negeri karena seluruh nilai nominal obligasi harus dibayarkan sekaligus.
Pemerintah Sri Lanka akhirnya harus tunduk dengan tuntutan IMF untuk bisa mendapatkan pinjaman. Misalnya, pemerintah mematuhi tuntutan IMF dengan memangkas subsidi harga dan mengenakan pajak untuk kebutuhan pokok, menaikkan harga yang sangat memengaruhi kondisi kehidupan pekerja dan orang miskin. Hal ini memicu gelombang pemogokan dan protes di Sri Lanka.
Sri Lanka mungkin memiliki ambisi yang besar untuk mendorong ekonominya, tetapi ketidakhati-hatiannya membuat pertumbuhan itu tidak berarti. Kita dapat mengambil pelajaran dari kasus Sri Lanka, terutama pelajaran dari wabah virus korona bahwa struktur perekonomian harus dibangun dengan dasar yang kuat.
Kadang-kadang ada hal nonekonomi yang tidak dapat dibentuk secara cepat, tetapi memengaruhi pertumbuhan ekonomi seperti motivasi wirausaha, kedisiplinan, inovasi, perubahan pola pikir, perubahan pola hidup, dan sebagainya. Dalam aspek pendidikan misalnya membangun sekolah; kampus megah bahkan menyekolahkan jutaan anak butuh diperkuat dengan kualitas pembekalan dan lulusan yang bermutu dan kompetitif untuk menopang perekonomian.
Dalam aspek kesehatan dan kecelakaan kerja, akses atas layanan kesehatan dan rehabilitasi yang terjamin tanpa bergantung lagi pada kemampuan individu per individu dalam membayar layanan (out of pocket) butuh diperkuat dengan kesadaran masyarakat melakukan pencegahan penyakit dan kecelakaan kerja.
Kita harus menghargai kerja pemerintah yang berhasil meningkatkan pendapatan per kapita sehingga Indonesia bisa naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah atas. Di balik peningkatan status itu, ada pekerjaan rumah untuk meningkatkan kelompok yang disebut oleh Bank Dunia sebagai aspiring middle-class.
Kelompok ini adalah kelompok yang tidak bisa disebut miskin, tetapi juga belum memiliki economic security. Tingkat konsumsi kelompok ini antara Rp2 juta hingga Rp4,8 juta. Jumlahnya kira-kira 115 juta atau lebih dari 50% dari jumlah penduduk. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menebalkan kemampuan pendapatan kelompok ini.
Banyak orang mengatakan Sri Lanka terjebak pinjaman (debt trap) dengan China karena kejadian di mana mereka harus menyerahkan Pelabuhan Hambantota untuk disewakan ke China Merchant Port Holdings Limited (CM Port) selama 99 tahun dengan harga USD1,12 miliar pada 2017 sebagai bagian pelunasan utang. Faktanya bahwa pinjaman terbesar berasal dari pinjaman komersial (39%), ADB (14%), Jepang (12%), Bank Dunia (11%), China (10%), dan lain-lain (12%).
Kita mengetahui bahwa pinjaman komersial tidak seperti pinjaman konsesi. Pinjaman komersial tidak memiliki periode pengembalian yang panjang atau pilihan pembayaran dalam angsuran kecil. Ketika obligasi jatuh tempo pembayaran, obligasi ini membebani biaya pembayaran utang luar negeri karena seluruh nilai nominal obligasi harus dibayarkan sekaligus.
Pemerintah Sri Lanka akhirnya harus tunduk dengan tuntutan IMF untuk bisa mendapatkan pinjaman. Misalnya, pemerintah mematuhi tuntutan IMF dengan memangkas subsidi harga dan mengenakan pajak untuk kebutuhan pokok, menaikkan harga yang sangat memengaruhi kondisi kehidupan pekerja dan orang miskin. Hal ini memicu gelombang pemogokan dan protes di Sri Lanka.
Sri Lanka mungkin memiliki ambisi yang besar untuk mendorong ekonominya, tetapi ketidakhati-hatiannya membuat pertumbuhan itu tidak berarti. Kita dapat mengambil pelajaran dari kasus Sri Lanka, terutama pelajaran dari wabah virus korona bahwa struktur perekonomian harus dibangun dengan dasar yang kuat.
Kadang-kadang ada hal nonekonomi yang tidak dapat dibentuk secara cepat, tetapi memengaruhi pertumbuhan ekonomi seperti motivasi wirausaha, kedisiplinan, inovasi, perubahan pola pikir, perubahan pola hidup, dan sebagainya. Dalam aspek pendidikan misalnya membangun sekolah; kampus megah bahkan menyekolahkan jutaan anak butuh diperkuat dengan kualitas pembekalan dan lulusan yang bermutu dan kompetitif untuk menopang perekonomian.
Dalam aspek kesehatan dan kecelakaan kerja, akses atas layanan kesehatan dan rehabilitasi yang terjamin tanpa bergantung lagi pada kemampuan individu per individu dalam membayar layanan (out of pocket) butuh diperkuat dengan kesadaran masyarakat melakukan pencegahan penyakit dan kecelakaan kerja.
Kita harus menghargai kerja pemerintah yang berhasil meningkatkan pendapatan per kapita sehingga Indonesia bisa naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah atas. Di balik peningkatan status itu, ada pekerjaan rumah untuk meningkatkan kelompok yang disebut oleh Bank Dunia sebagai aspiring middle-class.
Kelompok ini adalah kelompok yang tidak bisa disebut miskin, tetapi juga belum memiliki economic security. Tingkat konsumsi kelompok ini antara Rp2 juta hingga Rp4,8 juta. Jumlahnya kira-kira 115 juta atau lebih dari 50% dari jumlah penduduk. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menebalkan kemampuan pendapatan kelompok ini.
(poe)