Menjadi Menengah Atas

Rabu, 08 Juli 2020 - 06:54 WIB
loading...
Menjadi Menengah Atas
Dinna Prapto Raharja PhD, Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Dinna Prapto Raharja PhD
Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional
@Dinna_PR

BANK Dunia sudah mengangkat status Indonesia dari negara berpendapatan menengah bawah (low-middle income country) menjadi negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country). Seperti kita ketahui bahwa menurut Bank Dunia selain kategori negara berpendapatan tinggi dan rendah, juga ada tiga kategori kelas menengah.

Bank Dunia menyesuaikan kategori dengan harga dari waktu ke waktu. Pada 1 Juli 2019, Bank Dunia mengategorikan ekonomi berpenghasilan rendah sebagai mereka yang pada 2018 memiliki GNI per kapita, dihitung dengan menggunakan metode Atlas Bank Dunia, sebesar USD1.036 atau kurang.

Negara ekonomi menengah ke bawah adalah mereka yang memiliki GNI per kapita antara USD1.036 dan USD4.045, ekonomi menengah ke atas adalah ekonomi antara USD4.046 dan USD12.535, ekonomi berpenghasilan tinggi adalah mereka yang memiliki GNI per kapita sebesar USD12.535 atau lebih.

Batas tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Contoh, untuk negara berpendapatan menengah atas, pada batas 2019 ditetapkan batas bawahnya USD3.996 dan USD12.375 untuk batas atasnya. Demikian pula perubahan terjadi pada klasifikasi kelompok yang lain.

Sejalan dengan status yang meningkat ini terdapat tanggung jawab untuk menjaga agar status ini tidak turun. Seperti dalam kehidupan sehari-hari, peningkatan status bisa mengundang atau mempermudah beberapa urusan.

Dalam konteks ekonomi dan bisnis, peningkatan status ini tentu menambah tingkat kepercayaan investor untuk berbisnis di Indonesia dan sebaliknya, penurunan status juga pasti akan mengganggu tingkat kepercayaan. Kepercayaan dan tingkat risiko adalah faktor yang kadang-kadang menentukan investor mau berbisnis atau tidak.

Investor yang agresif biasanya lebih mendahulukan kepercayaan di atas angka di kertas untuk bisa mengambil kesempatan di saat yang lain masih menunggu. Sebab itu, status juga bisa menjadi modal yang menjadi daya tarik penting bagi investasi.

Kasus Sri Lanka
Meski demikian, kita juga perlu hati-hati dengan status ini karena perhitungan yang berdasarkan pendapatan per kapita tidak selalu mencerminkan kesejahteraan. Bank Dunia, dengan perhitungan yang lama, pernah menempatkan Sri Lanka sebagai negara berpendapatan menengah atas juga pada 2019. Sri Lanka pada tahun tersebut berhasil menempatkan produk domestik bruto (GNI) di atas USD3.996 per kapita.

Status ini tidak berlangsung lama karena Sri Lanka tidak dapat meningkatkan pendapatan pada 2020. Produk domestik bruto (GNP) Sri Lanka turun lebih dari USD200 dari USD3.968 pada 2018 menjadi USD3.741 pada 2019. Perhitungan pada 2019 ini yang menjadi landasan bagi Bank Dunia untuk mengklasifikasikan ulang kelompok negara.

Ada banyak faktor yang membuat pendapatan per kapita Sri Lanka tidak maju. Satu di antara faktor adalah rapuhnya pertahanan sosial dan politik negara itu dalam menghadapi krisis dan tekanan.

Sri Lanka adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha dan dalam sejarahnya pernah terlibat Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE). Tamil Eelam merasa bahwa etnis mereka memiliki sejarah yang berbeda dengan kelompok mayoritas di Sri Lanka. Dan, karenanya mereka menuntut hak menentukan kedaulatan mereka sendiri dan berusaha memisahkan diri dari Sri Lanka.

Angkatan Bersenjata Sri Lanka mengalahkan Macan Pembebasan Tamil Eelam pada 2009. Meskipun dalam krisis perang saudara, demokrasi di tahun tersebut relatif berjalan dengan baik di Sri Lanka.

Masyarakat berpartisipasi secara bebas dalam politik melalui partai mereka masing-masing. Ada dua partai utama di Sri Lanka yaitu Partai Persatuan Nasional (United National Party) yang alirannya adalah sayap kanan dan cenderung ke kapitalisme dan liberalisme. Di sisi lain yang berlawanan adalah Partai Kebebasan Sri Lanka (Sri Lanka Freedom Party) yang cenderung beraliran sayap kiri sosialis dan mengutamakan ekonomi yang berdikari.

Kebetulan bahwa Partai Kebebasan Sri Lanka yang cenderung sosialis dan mempromosikan ekonomi yang berdikari didukung oleh etnik Hela atau Sinhalese sebagai kelompok mayoritas (76%) di Sri Lanka. Sementara Partai Persatuan Nasional lebih dilihat sebagai partai yang didukung oleh minoritas penduduk yang beragama Katolik. Perbedaan sentimen ini cukup memiliki andil juga dalam membuat posisi Partai Kebebasan Sri Lanka relatif lebih kuat dibandingkan lawannya.

Dua partai ini saling berkompetisi dan kebetulan dua tahun sebelum kekalahan LTTE, Mahinda Rajapaksa dari Partai Kebebasan Sri Lanka terpilih menjadi presiden pada 2005 dan menjabat dua kali hingga 2015. Dalam kepemimpinan sosialisnya, Mahinda Rajapaksa dapat meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonominya.

Pendapatan per kapita Sri Lanka meningkat dua kali lipat, kemiskinan telah turun dari 15,2% menjadi 7,6%, tingkat pengangguran turun dari 7,2% menjadi 4,9%. Sri Lanka juga berhasil melistriki lebih dari 90% rumah tangga dan 87,3% populasi memiliki akses ke air minum yang layak. Ketidaksetaraan pendapatan juga menurun dalam beberapa tahun terakhir, ditunjukkan oleh koefisien Gini sebesar 0,36 pada 2010.

Sri Lanka adalah negara pertama di kawasan Asia Selatan yang memperkenalkan teknologi telekomunikasi seluler 3G, 3,5G (HSDPA), 3,75G (HSUPA), dan 4G (LTE). Kemajuan itu tidak lain karena pembangunan infrastruktur yang masif.

Sri Lanka banyak membangun ribuan kilometer jalan raya dan jalur kereta api, bendungan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, dan pembangunan infrastruktur lainnya. Pembangunan ini membuat perekonomian Sri Lanka tumbuh pesat, tetapi berpotensi merugikan karena sebagian besar diambil dari pinjaman.

Pinjaman ini yang membuat Sri Lanka menjadi terjepit. Dana Moneter Internasional (IMF) telah sepakat untuk memberikan pinjaman dana talangan USD1,5 miliar pada April 2016 setelah Sri Lanka memberi tahu serangkaian strategi untuk meningkatkan ekonominya.

Utang tambahan diberikan terus sehingga utang dalam negeri meningkat 12% dan utang luar negeri sebesar 25%. Pada 2018, China setuju untuk menjamin Sri Lanka dengan pinjaman USD1,25 miliar untuk menangani lonjakan pembayaran utang luar negeri pada 2019 hingga 2021.

Banyak orang mengatakan Sri Lanka terjebak pinjaman (debt trap) dengan China karena kejadian di mana mereka harus menyerahkan Pelabuhan Hambantota untuk disewakan ke China Merchant Port Holdings Limited (CM Port) selama 99 tahun dengan harga USD1,12 miliar pada 2017 sebagai bagian pelunasan utang. Faktanya bahwa pinjaman terbesar berasal dari pinjaman komersial (39%), ADB (14%), Jepang (12%), Bank Dunia (11%), China (10%), dan lain-lain (12%).

Kita mengetahui bahwa pinjaman komersial tidak seperti pinjaman konsesi. Pinjaman komersial tidak memiliki periode pengembalian yang panjang atau pilihan pembayaran dalam angsuran kecil. Ketika obligasi jatuh tempo pembayaran, obligasi ini membebani biaya pembayaran utang luar negeri karena seluruh nilai nominal obligasi harus dibayarkan sekaligus.

Pemerintah Sri Lanka akhirnya harus tunduk dengan tuntutan IMF untuk bisa mendapatkan pinjaman. Misalnya, pemerintah mematuhi tuntutan IMF dengan memangkas subsidi harga dan mengenakan pajak untuk kebutuhan pokok, menaikkan harga yang sangat memengaruhi kondisi kehidupan pekerja dan orang miskin. Hal ini memicu gelombang pemogokan dan protes di Sri Lanka.

Sri Lanka mungkin memiliki ambisi yang besar untuk mendorong ekonominya, tetapi ketidakhati-hatiannya membuat pertumbuhan itu tidak berarti. Kita dapat mengambil pelajaran dari kasus Sri Lanka, terutama pelajaran dari wabah virus korona bahwa struktur perekonomian harus dibangun dengan dasar yang kuat.

Kadang-kadang ada hal nonekonomi yang tidak dapat dibentuk secara cepat, tetapi memengaruhi pertumbuhan ekonomi seperti motivasi wirausaha, kedisiplinan, inovasi, perubahan pola pikir, perubahan pola hidup, dan sebagainya. Dalam aspek pendidikan misalnya membangun sekolah; kampus megah bahkan menyekolahkan jutaan anak butuh diperkuat dengan kualitas pembekalan dan lulusan yang bermutu dan kompetitif untuk menopang perekonomian.

Dalam aspek kesehatan dan kecelakaan kerja, akses atas layanan kesehatan dan rehabilitasi yang terjamin tanpa bergantung lagi pada kemampuan individu per individu dalam membayar layanan (out of pocket) butuh diperkuat dengan kesadaran masyarakat melakukan pencegahan penyakit dan kecelakaan kerja.

Kita harus menghargai kerja pemerintah yang berhasil meningkatkan pendapatan per kapita sehingga Indonesia bisa naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah atas. Di balik peningkatan status itu, ada pekerjaan rumah untuk meningkatkan kelompok yang disebut oleh Bank Dunia sebagai aspiring middle-class.

Kelompok ini adalah kelompok yang tidak bisa disebut miskin, tetapi juga belum memiliki economic security. Tingkat konsumsi kelompok ini antara Rp2 juta hingga Rp4,8 juta. Jumlahnya kira-kira 115 juta atau lebih dari 50% dari jumlah penduduk. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menebalkan kemampuan pendapatan kelompok ini.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2061 seconds (0.1#10.140)