Ancaman Resesi Global dan Respons Kebijakan
loading...
A
A
A
Di Asia, kondisinya relatif sama dengan di Eropa, di mana perlambatan ekonomi sebagai dampak perang di Ukraina semakin nyata. Hanya saja, perkembangan inflasi di Asia relatif lebih terkendali meskipun ada sudah terlihat sinyal kenaikan karena lonjakan harga sektor pangan dan energi.
China bisa mewakili perekonomian Asia. Perekonomian negara dengan populasi terbesar di dunia ini pada 2022 diproyeksikantumbuh 3,7%.Produk Domestik Bruto (PDB) China tetap berada di zona positif meskipun prospeknyatelah melemah dengan adanya lonjakankasus positif Covid-19selama Juli dan Agustus yang mengurangitingkatkonsumsi dan penurunanbisnisproperti.
Sementara,TurkidanBrasildiperkirakan mengalami pelemahan pertumbuhan yangdalamselama paruh kedua tahun ini.Namun, prospek ekonomi Indiadankebanyakan negara berkembangAsia lainnyaseperti Korea Selatan, Vietnam, Filipina, Thailand dan Malaysia,relatif prospektif lantaran dukungan pasar domestiknya.Pun demikian dengan Indonesia, yang secara rerata mampu tumbuh berkisar 5% di 2022 dan 2023 nanti.
Mengingat kontribusi Eropa, AS dan China yang dominan terhadap perekonomian global, maka melemahnya perekonomian ketiganya akan menekan prospek perekonomian global tahun ini dan tahun depan. Lagi-lagi memburuknyaoutlookperekonomian global di 2023 karena dampak eskalatif perang di Ukraina yang merusak masih berlanjut.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional(IMF)Kristalina Georgieva belum lama ini mengatakan bahwa IMF sekali lagi menurunkan proyeksinya untuk pertumbuhan ekonomi global pada 2023. Menurutnya,invasi Rusia ke UkrainasejakFebruarilalutelah secaraluas dandramatis mengubah pandangan IMF tentang ekonomi.Disebutkkan bahwa risiko resesi meningkatdi manalingkungan ekonomi saat ini sebagai "periode kerapuhan bersejarah."
IMF menurunkan proyeksi pertumbuhanekonomiglobalnya, yangsudahdilakukan sebanyaktiga kalisejak April lalu, menjadi3,2% untuk 2022 dan 2,9% untuk 2023.Proyeksi IMF yang suram datang ketika bank sentral di seluruh dunia menaikkan suku bungaacuandengan harapan dapat menjinakkan kenaikan inflasi.
Di sinilah IMF memberikan pandangan kritis, bahwapengetatan kebijakan moneter terlalu banyak dan terlalu cepat,dandilakukan secarasinkron di seluruh negara,dapat mendorong banyak ekonomi ke dalam resesi yang berkepanjangan.
Pilihan pengetatan kebijakan moneter oleh bank-bank sentral bukannya tanpa risiko, yakni memperlambat pertumbuhan ekonomi. Maka, diperlukan evaluasi menyeluruh untuk menemukan solusi jitu menghambat laju inflasi tanpamemperburukrisikoresesiekonomi.
Menurut studi baru yang komprehensif oleh Bank Dunia, ketika bank sentral di seluruh dunia secara bersamaan menaikkan suku bungaacuan untuk meresponlajuinflasi, dunia mungkin sedang menuju resesi global pada 2023 dan serangkaian krisis keuangan di pasar negara berkembang yang akan merugikan mereka.
Bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bungaacuantahun ini dengan tingkat sinkronisitas yang tidakpernahterlihat selama lima dekade terakhir, di manatreninikemungkinan akan berlanjut hingga tahun depan.Namun, lintasan kenaikan suku bungaacuanyang saat ini diharapkan dan tindakan kebijakan lainnya mungkin tidak cukup untuk membawa inflasi global kembali kelevel normalsebelum pandemi.
China bisa mewakili perekonomian Asia. Perekonomian negara dengan populasi terbesar di dunia ini pada 2022 diproyeksikantumbuh 3,7%.Produk Domestik Bruto (PDB) China tetap berada di zona positif meskipun prospeknyatelah melemah dengan adanya lonjakankasus positif Covid-19selama Juli dan Agustus yang mengurangitingkatkonsumsi dan penurunanbisnisproperti.
Sementara,TurkidanBrasildiperkirakan mengalami pelemahan pertumbuhan yangdalamselama paruh kedua tahun ini.Namun, prospek ekonomi Indiadankebanyakan negara berkembangAsia lainnyaseperti Korea Selatan, Vietnam, Filipina, Thailand dan Malaysia,relatif prospektif lantaran dukungan pasar domestiknya.Pun demikian dengan Indonesia, yang secara rerata mampu tumbuh berkisar 5% di 2022 dan 2023 nanti.
Mengingat kontribusi Eropa, AS dan China yang dominan terhadap perekonomian global, maka melemahnya perekonomian ketiganya akan menekan prospek perekonomian global tahun ini dan tahun depan. Lagi-lagi memburuknyaoutlookperekonomian global di 2023 karena dampak eskalatif perang di Ukraina yang merusak masih berlanjut.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional(IMF)Kristalina Georgieva belum lama ini mengatakan bahwa IMF sekali lagi menurunkan proyeksinya untuk pertumbuhan ekonomi global pada 2023. Menurutnya,invasi Rusia ke UkrainasejakFebruarilalutelah secaraluas dandramatis mengubah pandangan IMF tentang ekonomi.Disebutkkan bahwa risiko resesi meningkatdi manalingkungan ekonomi saat ini sebagai "periode kerapuhan bersejarah."
IMF menurunkan proyeksi pertumbuhanekonomiglobalnya, yangsudahdilakukan sebanyaktiga kalisejak April lalu, menjadi3,2% untuk 2022 dan 2,9% untuk 2023.Proyeksi IMF yang suram datang ketika bank sentral di seluruh dunia menaikkan suku bungaacuandengan harapan dapat menjinakkan kenaikan inflasi.
Di sinilah IMF memberikan pandangan kritis, bahwapengetatan kebijakan moneter terlalu banyak dan terlalu cepat,dandilakukan secarasinkron di seluruh negara,dapat mendorong banyak ekonomi ke dalam resesi yang berkepanjangan.
Pilihan pengetatan kebijakan moneter oleh bank-bank sentral bukannya tanpa risiko, yakni memperlambat pertumbuhan ekonomi. Maka, diperlukan evaluasi menyeluruh untuk menemukan solusi jitu menghambat laju inflasi tanpamemperburukrisikoresesiekonomi.
Menurut studi baru yang komprehensif oleh Bank Dunia, ketika bank sentral di seluruh dunia secara bersamaan menaikkan suku bungaacuan untuk meresponlajuinflasi, dunia mungkin sedang menuju resesi global pada 2023 dan serangkaian krisis keuangan di pasar negara berkembang yang akan merugikan mereka.
Bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bungaacuantahun ini dengan tingkat sinkronisitas yang tidakpernahterlihat selama lima dekade terakhir, di manatreninikemungkinan akan berlanjut hingga tahun depan.Namun, lintasan kenaikan suku bungaacuanyang saat ini diharapkan dan tindakan kebijakan lainnya mungkin tidak cukup untuk membawa inflasi global kembali kelevel normalsebelum pandemi.