Mendiskusikan Penyelesaian Non-Yudisial Kasus Pelanggaran HAM Berat
loading...
A
A
A
Namun, kuatnya anasir Orde Baru, terutama para pelaku yang diduga kuat melanggar HAM masih terlibat dalam sisten pemerintahan membuat proses keadilan transisi tidak pernah bisa diwujudkan di Tanah Air. Termasuk pelbagai masalah pelanggaran HAM di Papua yang terabaikan.
Menurut Malna (2015), sulitnya penegakan hukum atas pelanggaran HAM di Papua karena dua hal. Pertama, tidak ada upaya serius dari orang Papua untuk membawa kasus pelanggaran HAM sebagai inisiatif kolektif. Mereka cenderung bekerja secara terpisah dan akhirnya sulit bekerjasama untuk jangka panjang.
Kedua, sistem keadilan Papua kekurangan kapasitas dan jaksa serta penuntut tidak memiliki pemahaman memadai tentang norma HAM. Dengan demikian, terdapat satu keraguan yang rasional untuk melaksanakan pengadilan HAM yang legitimate. Singkatnya, menurut penulis, pelanggaran HAM belum bisa terselesaikan sejauh ini dan perlawanan politik masih berlangsung terhadap upaya pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu.
Kegagalan penegakan keadilan transisi paska orde baru menyebabkan tingginya angka kekerasan yang terjadi. Theo van den Broek (2022), menulis bahwa gerakan TNI dan TPNPB masih kerap melakukan kontak senjata di Puncak, Intan Jaya, Pengunungan Bintang dan Maybrat. Akibatnya, warga sipil banyak yang menjadi korban.
Selain itu, otsus dan pemekaran yang telah dimulai pada November 2021 tanpa mendengarkan suara dan tuntutan rakyat Papua membuat penolakan tegas atas keberlanjutan Otsus Papua. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa pembentukan tiga provinsi baru di Papua terwujud setelah DPR mengesahkan pembentukan provinsi tersebut pada 30 Juni 2022.
Provinsi Papua Selatan dengan ibu kota Merauke, Provinsi Papua Tengah dengan ibu kota Nabire, dan Provinsi Papua Dataran Tinggi dengan ibu kota Jayawijaya. Sejak awal gagasan untuk membentuk tiga provinsi tambahan telah menghasilkan gelombang perlawanan dari orang Papua yang berjuang untuk kemerdekaan.
Terkait pembentukan Tim PPHAM, pada satu segi, ada pihak yang mendukung upaya penyelesaian secara non-yudisial ini dan ada juga yang menolak. Misalnya, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik, menyatakan mekanisme non yudisial diperlukan.
Dia menyatakan bahwa “jika non-yudisial dijalankan, bukan berarti langkah yudisial ditutup. Itu pilihan yang paling realistis untuk mengatasi kemandekan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu”.
Sementara pihak yang menolak berasal dari pihak korban dan para pejuang HAM tanah air. Misalnya, Usman Hamid, Direktur Ekesekutif Amnesty Internasional menyatakan bahwa pembentuk Tim PPHAM tidak sesuai dengan standar hukum internasional dan hanya fokus pada rehabilitasi korban.
Saya berpandangan bahwa pembentukan TIM PPHAM secara holistik memang tidak akan menjawab persoalan penyelesaian HAM berat di Tanah Air. Namun paling tidak ia menunjukkan upaya pemerintah untuk menyelesaikannya secara parsial, khususnya berpihak pada korban dan keluarganya.
Menurut Malna (2015), sulitnya penegakan hukum atas pelanggaran HAM di Papua karena dua hal. Pertama, tidak ada upaya serius dari orang Papua untuk membawa kasus pelanggaran HAM sebagai inisiatif kolektif. Mereka cenderung bekerja secara terpisah dan akhirnya sulit bekerjasama untuk jangka panjang.
Kedua, sistem keadilan Papua kekurangan kapasitas dan jaksa serta penuntut tidak memiliki pemahaman memadai tentang norma HAM. Dengan demikian, terdapat satu keraguan yang rasional untuk melaksanakan pengadilan HAM yang legitimate. Singkatnya, menurut penulis, pelanggaran HAM belum bisa terselesaikan sejauh ini dan perlawanan politik masih berlangsung terhadap upaya pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu.
Kegagalan penegakan keadilan transisi paska orde baru menyebabkan tingginya angka kekerasan yang terjadi. Theo van den Broek (2022), menulis bahwa gerakan TNI dan TPNPB masih kerap melakukan kontak senjata di Puncak, Intan Jaya, Pengunungan Bintang dan Maybrat. Akibatnya, warga sipil banyak yang menjadi korban.
Selain itu, otsus dan pemekaran yang telah dimulai pada November 2021 tanpa mendengarkan suara dan tuntutan rakyat Papua membuat penolakan tegas atas keberlanjutan Otsus Papua. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa pembentukan tiga provinsi baru di Papua terwujud setelah DPR mengesahkan pembentukan provinsi tersebut pada 30 Juni 2022.
Provinsi Papua Selatan dengan ibu kota Merauke, Provinsi Papua Tengah dengan ibu kota Nabire, dan Provinsi Papua Dataran Tinggi dengan ibu kota Jayawijaya. Sejak awal gagasan untuk membentuk tiga provinsi tambahan telah menghasilkan gelombang perlawanan dari orang Papua yang berjuang untuk kemerdekaan.
Terkait pembentukan Tim PPHAM, pada satu segi, ada pihak yang mendukung upaya penyelesaian secara non-yudisial ini dan ada juga yang menolak. Misalnya, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik, menyatakan mekanisme non yudisial diperlukan.
Dia menyatakan bahwa “jika non-yudisial dijalankan, bukan berarti langkah yudisial ditutup. Itu pilihan yang paling realistis untuk mengatasi kemandekan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu”.
Sementara pihak yang menolak berasal dari pihak korban dan para pejuang HAM tanah air. Misalnya, Usman Hamid, Direktur Ekesekutif Amnesty Internasional menyatakan bahwa pembentuk Tim PPHAM tidak sesuai dengan standar hukum internasional dan hanya fokus pada rehabilitasi korban.
Saya berpandangan bahwa pembentukan TIM PPHAM secara holistik memang tidak akan menjawab persoalan penyelesaian HAM berat di Tanah Air. Namun paling tidak ia menunjukkan upaya pemerintah untuk menyelesaikannya secara parsial, khususnya berpihak pada korban dan keluarganya.