Dituding Usulkan Hapus Listrik 450 VA, Ini Penjelasan Ketua Banggar DPR
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah meluruskan kehebohan publik terkait isu penghapusan listrik 450 VA yang beredar dalam sepekan terakhir. Said dituding sebagai pengusul penghapusan listrik untuk warga miskin itu dalam rapat panitia kerja DPR mengenai asumsi dasar RUU APBN 2023 pada Senin (12/9/2022).
Said Abdullah menjelaskan, peralihan energi dari berbasis minyak bumi menuju listrik perlu dilakukan. Sebab saat ini Indonesia ketergantungan impor yang sangat besar terhadap minyak bumi. Kemampuan produksi minyak bumi hanya 614.000-650.000 barel, sementara kebutuhan mencapai 1,4-1,5 juta barel per hari.
"Ketergantungan terhadap impor minyak bumi mengakibatkan Indonesia terjebak dalam posisi sulit. APBN harus mengongkosi subsidi yang kian besar, sehingga postur APBN tidak sehat dan rentan. Namun bila ongkos tersebut dikurangi berakibat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik, dan menimbulkan beban kepada rakyat," kata Said Abdullah dalam keterangan persnya, Minggu (18/9/2022).
Baca juga: DPR Usul Subsidi Listrik 450 VA Akan Dihapus, Menteri ESDM: Jadi Sensitif
Dari persoalan itu, kata Said, Indonesia sebenarnya memiliki jalan untuk segera melakukan peralihan energi. Indonesia memiliki produksi listrik dalam negeri yang sangat besar dan sanggup menopang kebutuhan energi. Sebagian pembangkit listrik di Indonesia bersumber dari batubara sementara ketersediaan sumber energi itu melimpah.
"Pasokan batubara kita sangat besar, sehingga tidak bergantung terhadap suplai impor layaknya minyak bumi. Dampaknya kekuatan energi kita lebih mandiri, sambil secara perlahan kita melepaskan diri dari batubara dan mengganti pembangkit listrik kita menggunakan Energi Baru dan Terbarukan (EBT)," ujar Said.
Peralihan energi dari minyak bumi ke listrik itu, kata politikus PDIP ini, tentu tidak menyasar ke seluruh masyarakat. Sebab, sebanyak 9,55 juta Rumah Tangga (RT) berdaya listrik 450 VA masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Kelompok rumah tangga ini masuk kategori kemiskinan parah, yang oleh BPS termasuk keluarga berpenghasilan kurang dari USD1,9 per hari dengan kurs Purchasing Power Parity (PPP).
"Terhadap kelompok rumah tangga seperti ini tentu saja tidak mungkin kebutuhan listriknya kita naikkan dayanya ke 900 VA. Untuk makan saja susah dan kebutuhan listriknya rata rata hanya untuk penerangan dengan voltase rendah," kata Said.
Baca juga: LPG 3 Kg Bakal Diganti Kompor Listrik, Pertamina Angkat Bicara
Namun, kata Said, ada sebanyak 14,75 juta rumah tangga menggunakan daya listrik 450 VA tetapi tidak terdata dalam DTKS. Terhadap pelanggan listrik kategori ini, Banggar DPR meminta PLN, BPS, Kemensos dan Pemda melakukan verifikasi faktual untuk memastikan apakah mereka seharusnya masuk ke DTKS atau tidak. Jika hasil verifikasi faktual mereka seharusnya masuk DTKS tetapi belum terdata di DTKS, maka harus mendapatkan akses bansos melalui pendataan DTKS, dan voltase listriknya tidak kita alihkan ke 900 VA.
"Sebaliknya jika hasil verifikasi faktual menunjukkan bukan dari keluarga kemiskinan parah, yakni berpenghasilan di bawah USD1,9 per hari, dan sesungguhnya kebutuhan listriknya meningkat dilihat dari grafik konsumsinya, maka kelompok rumah tangga inilah yang kita tingkatkan dayanya ke 900 VA," katanya.
Verifikasi faktual juga harus menyasar 8,4 juta pelanggan listrik dengan daya 900 VA yang terdata di dalam DTKS. Jika hasil verifikasi faktual menunjukkan sebagian dari mereka sesungguhnya dari rumah tangga mampu, maka mereka didorong beralih daya ke 1.300 VA, tetapi jika masih dalam kategori rumah tangga miskin, maka daya listriknya tetap kita masukkan ke kelompok 900 VA.
Pun begitu dengan 24,4 juta pelanggan listrik dengan daya 900 VA tetapi tidak masuk dalam data DTKS. Pemerintah harus melakukan verifikasi faktual, apakah sebagian dari mereka sesungguhnya telah jatuh ke rumah tangga miskin atau tidak. Jika perkembangannya menunjukkan mereka masuk kategori rumah tangga miskin maka mereka harus masuk perlindungan bansos melalui pemutakhiran data DTKS, dan terhadap kelompok ini daya listriknya kita pertahankan tetap 900 VA. Sebaliknya jika sebagian dari mereka ekonominya kian membaik, dan dari grafik konsumsi listriknya meningkat maka mereka kita dorong masuk ke pelanggan 1300 VA.
"Sampai saat ini pelanggan listrik berdaya 450 VA dan 900 VA termasuk kategori rumah tangga yang mendapatkan subsidi listrik oleh pemerintah. Hal ini perlu saya tegaskan sebab telah diopinikan pelanggan 900 VA tidak termasuk pelanggan listrik yang disubsidi oleh pemerintah. Opini ini untuk menggiring agar terjadi penolakan pelanggan yang berdaya 450 VA untuk dialihkan ke 900 VA," katanya.
Karena itu, DPR mendorong Kemensos, BPS, PLN, dan Pemda bersinergi melakukan pembaharuan dan integrasi data. Melalui data yang akurat, maka pemerintah bisa merumuskan kebijakan strategis lainnya seperti peralihan energi, agar pilihan pilihan kebijakan teknisnya juga tepat.
Said mengatakan, upaya peralihan energi tentu tidak hanya pada sektor rumah tangga. Sektor transportasi yang menyerap 46% dari total konsumsi energi nasional juga harus bergerak bersama menuju berpenggerak listrik. Karena itu, ia mengapresiasi langkah nyata Presiden Joko Widodo yang menjadi pelopor penggunaan kendaraan dinas pemerintah berpenggerak listrik.
Sektor industri menyerap 31% konsumsi energi nasional juga didorong secara perlahan beralih dari BBM ke listrik agar produksi mereka lebih pasti dan resilien, karena tidak terpengaruh pada faktor eksternal berupa kenaikan harga minyak dunia maupun kurs. Untuk mendukung langkah ini, DPR telah memberikan persetujuan anggaran kepada pemerintah melalui Penanaman Modal Negara (PMN) sebesar Rp10 triliun untuk membangun infrastruktur ke sentra produksi baik UMKM maupun industri besar untuk mendorong peningkatan permintaan terhadap listrik.
Ia harapkan transformasi ini mengubah beban subsidi kita dari oil heavy ke electric heavy, sehingga subsidi solar yang konsumsinya 95% dinikmati rumah tangga mampu setara 1,69 juta kiloliter bisa kita alihkan, termasuk konsumsi pertalite yang dikonsumsi rumah tangga mampu sebanyak 80% setara 15,89 juta kiloliter bisa kita relokasi untuk subsidi terhadap listrik agar lebih efisien dan tepat sasaran.
"Subsidi akan lebih efisien bila secara perlahan menggeser subsidi LPG yang 68% dinikmati rumah tangga mampu. Anggarannya dapat kita alokasikan untuk rumah tangga miskin mengakses energi listrik untuk kebutuhan sehari hari. LPG dapat kita khususnya untuk pedagang keliling, pelaku usaha mikro dan kecil," katanya.
Said Abdullah menjelaskan, peralihan energi dari berbasis minyak bumi menuju listrik perlu dilakukan. Sebab saat ini Indonesia ketergantungan impor yang sangat besar terhadap minyak bumi. Kemampuan produksi minyak bumi hanya 614.000-650.000 barel, sementara kebutuhan mencapai 1,4-1,5 juta barel per hari.
"Ketergantungan terhadap impor minyak bumi mengakibatkan Indonesia terjebak dalam posisi sulit. APBN harus mengongkosi subsidi yang kian besar, sehingga postur APBN tidak sehat dan rentan. Namun bila ongkos tersebut dikurangi berakibat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik, dan menimbulkan beban kepada rakyat," kata Said Abdullah dalam keterangan persnya, Minggu (18/9/2022).
Baca juga: DPR Usul Subsidi Listrik 450 VA Akan Dihapus, Menteri ESDM: Jadi Sensitif
Dari persoalan itu, kata Said, Indonesia sebenarnya memiliki jalan untuk segera melakukan peralihan energi. Indonesia memiliki produksi listrik dalam negeri yang sangat besar dan sanggup menopang kebutuhan energi. Sebagian pembangkit listrik di Indonesia bersumber dari batubara sementara ketersediaan sumber energi itu melimpah.
"Pasokan batubara kita sangat besar, sehingga tidak bergantung terhadap suplai impor layaknya minyak bumi. Dampaknya kekuatan energi kita lebih mandiri, sambil secara perlahan kita melepaskan diri dari batubara dan mengganti pembangkit listrik kita menggunakan Energi Baru dan Terbarukan (EBT)," ujar Said.
Peralihan energi dari minyak bumi ke listrik itu, kata politikus PDIP ini, tentu tidak menyasar ke seluruh masyarakat. Sebab, sebanyak 9,55 juta Rumah Tangga (RT) berdaya listrik 450 VA masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Kelompok rumah tangga ini masuk kategori kemiskinan parah, yang oleh BPS termasuk keluarga berpenghasilan kurang dari USD1,9 per hari dengan kurs Purchasing Power Parity (PPP).
"Terhadap kelompok rumah tangga seperti ini tentu saja tidak mungkin kebutuhan listriknya kita naikkan dayanya ke 900 VA. Untuk makan saja susah dan kebutuhan listriknya rata rata hanya untuk penerangan dengan voltase rendah," kata Said.
Baca juga: LPG 3 Kg Bakal Diganti Kompor Listrik, Pertamina Angkat Bicara
Namun, kata Said, ada sebanyak 14,75 juta rumah tangga menggunakan daya listrik 450 VA tetapi tidak terdata dalam DTKS. Terhadap pelanggan listrik kategori ini, Banggar DPR meminta PLN, BPS, Kemensos dan Pemda melakukan verifikasi faktual untuk memastikan apakah mereka seharusnya masuk ke DTKS atau tidak. Jika hasil verifikasi faktual mereka seharusnya masuk DTKS tetapi belum terdata di DTKS, maka harus mendapatkan akses bansos melalui pendataan DTKS, dan voltase listriknya tidak kita alihkan ke 900 VA.
"Sebaliknya jika hasil verifikasi faktual menunjukkan bukan dari keluarga kemiskinan parah, yakni berpenghasilan di bawah USD1,9 per hari, dan sesungguhnya kebutuhan listriknya meningkat dilihat dari grafik konsumsinya, maka kelompok rumah tangga inilah yang kita tingkatkan dayanya ke 900 VA," katanya.
Verifikasi faktual juga harus menyasar 8,4 juta pelanggan listrik dengan daya 900 VA yang terdata di dalam DTKS. Jika hasil verifikasi faktual menunjukkan sebagian dari mereka sesungguhnya dari rumah tangga mampu, maka mereka didorong beralih daya ke 1.300 VA, tetapi jika masih dalam kategori rumah tangga miskin, maka daya listriknya tetap kita masukkan ke kelompok 900 VA.
Pun begitu dengan 24,4 juta pelanggan listrik dengan daya 900 VA tetapi tidak masuk dalam data DTKS. Pemerintah harus melakukan verifikasi faktual, apakah sebagian dari mereka sesungguhnya telah jatuh ke rumah tangga miskin atau tidak. Jika perkembangannya menunjukkan mereka masuk kategori rumah tangga miskin maka mereka harus masuk perlindungan bansos melalui pemutakhiran data DTKS, dan terhadap kelompok ini daya listriknya kita pertahankan tetap 900 VA. Sebaliknya jika sebagian dari mereka ekonominya kian membaik, dan dari grafik konsumsi listriknya meningkat maka mereka kita dorong masuk ke pelanggan 1300 VA.
"Sampai saat ini pelanggan listrik berdaya 450 VA dan 900 VA termasuk kategori rumah tangga yang mendapatkan subsidi listrik oleh pemerintah. Hal ini perlu saya tegaskan sebab telah diopinikan pelanggan 900 VA tidak termasuk pelanggan listrik yang disubsidi oleh pemerintah. Opini ini untuk menggiring agar terjadi penolakan pelanggan yang berdaya 450 VA untuk dialihkan ke 900 VA," katanya.
Karena itu, DPR mendorong Kemensos, BPS, PLN, dan Pemda bersinergi melakukan pembaharuan dan integrasi data. Melalui data yang akurat, maka pemerintah bisa merumuskan kebijakan strategis lainnya seperti peralihan energi, agar pilihan pilihan kebijakan teknisnya juga tepat.
Said mengatakan, upaya peralihan energi tentu tidak hanya pada sektor rumah tangga. Sektor transportasi yang menyerap 46% dari total konsumsi energi nasional juga harus bergerak bersama menuju berpenggerak listrik. Karena itu, ia mengapresiasi langkah nyata Presiden Joko Widodo yang menjadi pelopor penggunaan kendaraan dinas pemerintah berpenggerak listrik.
Sektor industri menyerap 31% konsumsi energi nasional juga didorong secara perlahan beralih dari BBM ke listrik agar produksi mereka lebih pasti dan resilien, karena tidak terpengaruh pada faktor eksternal berupa kenaikan harga minyak dunia maupun kurs. Untuk mendukung langkah ini, DPR telah memberikan persetujuan anggaran kepada pemerintah melalui Penanaman Modal Negara (PMN) sebesar Rp10 triliun untuk membangun infrastruktur ke sentra produksi baik UMKM maupun industri besar untuk mendorong peningkatan permintaan terhadap listrik.
Ia harapkan transformasi ini mengubah beban subsidi kita dari oil heavy ke electric heavy, sehingga subsidi solar yang konsumsinya 95% dinikmati rumah tangga mampu setara 1,69 juta kiloliter bisa kita alihkan, termasuk konsumsi pertalite yang dikonsumsi rumah tangga mampu sebanyak 80% setara 15,89 juta kiloliter bisa kita relokasi untuk subsidi terhadap listrik agar lebih efisien dan tepat sasaran.
"Subsidi akan lebih efisien bila secara perlahan menggeser subsidi LPG yang 68% dinikmati rumah tangga mampu. Anggarannya dapat kita alokasikan untuk rumah tangga miskin mengakses energi listrik untuk kebutuhan sehari hari. LPG dapat kita khususnya untuk pedagang keliling, pelaku usaha mikro dan kecil," katanya.
(abd)