Kelonggaran Kredit bagi Peternak Terdampak PMK

Sabtu, 10 September 2022 - 13:44 WIB
loading...
Kelonggaran Kredit bagi...
Triyoga Muhtar Habibi. FOTO/DOK SINDO
A A A
Triyoga Muhtar Habibi
Asisten Madya pada Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur
Plt Kepala Keasistenan Utama III Ombudsman RI Pusat (2021-Agustus 2022)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Senin (5/9) lalu telah menerbitkan pedoman aturan perkreditan atau pembiayaan perbankan untuk membantu keadaan tertentu darurat Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada sapi.

Kebijakan ini tentu perlu diapresiasi, mengingat beleid terkait perkreditan sangat ditunggu oleh peternak. Namun demikian, perlu dicermati apakah kebijakan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan dan harapan peternak.

Seperti kita ketahui, wabah PMK merebak di tengah kondisi perekonomian yang belum stabil akibat Covid-19. Hal ini tentu menjadi tekanan kedua kali bagi peternak.

Seperti paribahasa sudah jatuh tertimpa tangga, di saat sedang berusaha bangkit dari penurunan ekonomi akibat pandemi Covid-19, peternak dihadapkan pada realita penurunan produktivitas bahkan kerugian akibat PMK.

Bahkan, kondisi terbaru saat ini, peternak dihadapkan pada potensi kenaikan suku bunga bank serta kenaikan inflasi dampak perubahan harga bahan bakar minyak (BBM). Apabila kebijakan untuk peternak PMK tidak segera diberikan dan dibiarkan terus menerus, dapat membuat peternak gulung tikar, yang ujungnya turut menjadi faktor menyebabkan memburuknya kondisi perekonomian.

Pemerintah sendiri menyadari bahwa kondisi perekonomian saat ini belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19. Beberapa minggu belakangan, pemerintah sedang membahas rencana perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit sebagai terdampak pandemi hingga 2024.

Kebijakan restrukturisasi kredit sebagai dampak pandemi selama ini telah diatur melalui peraturan OJK. Kebijakan tersebut, dinilai membawa efek positif meredam dampak risiko kredit.

Dengan restrukturisasi kreditur dapat memperoleh fasilitas pembayaran kewajiban dengan skema tertentu sesuai kemampuan dan kebutuhannya. Merujuk hal tersebut, seharusnya kebijakan relaksasi kredit, secara khusus dapat diberikan kepada peternak terdampak PMK.

PMK telah kembali mengguncang Indonesia, setelah dinyatakan bebas pada 1990. Penyakit tersebut termasuk penyakit dengan penularan sangat cepat sehingga menyebabkan kenaikan kasus hewan yang terinfeksi secara signifikan. Penyakit yang pada awal mulanya diketahui terjadi di Jawa Timur, ditetapkan sebagai wabah pada 9 Mei 2022, telah menyebar secara signifikan.

Hingga 6 September 2022 berdasarkan data resmi pada website Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), PMK dinyatakan telah tersebar di 24 provinsi, atau di 295 Kota/Kabupaten dengan total hewan terdampak sebanyak 517.991 ekor. Selain itu, terdapat dua provinsi yang menjadi suspek.

Meskipun tingkat kematian hewan akibat PMK masih di bawah 5%, namun dampak sistemik jangka panjang perlu menjadi perhatian. Dampak kerugian yang ditimbulkan akibat PMK tidak hanya pada kematian hewan, tetapi hewan terinfeksi juga mengalami penurunan produktivitas, seperti susu dan jumlah kelahiran.

Pada 14 Juli 2022lalu, Ombudsman menyatakan berdasarkan data Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) per 13 Juli 2022, sapi perah yang terinfeksi PMK di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, masing-masing mengalami penurunan produksi susu mencapai 30%, 40% dan 30%. Penurunan produksi susu tentu dapat merembet menyebabkan masalah lain, misalkan jumlah impor susu atau ketersediaan susu segar bagi industri.

Kondisi penurunan produktivitas yang dialami peternak tentu memprihatinkan, karena mereka tengah berupaya bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi hingga minus sebesar 2,07%. Sedangkan pada 2021 ekonomi mulai tumbuh sebesar 3,69%. Namun, angka tersebut tetap tergolong rendah bila dibandingkan rata-rata pada tahun sebelum merebaknya Covid-19 yang berada pada kisaran angka 5%.

Saat itu beban berat penurunan ekonomi akibat pandemi rame-rame disikapi pemerintah dan seluruh instansi terkait, salah satunya adalah keputusan pemerintah membebaskan pembayaran bunga dan penundaan pokok angsuran kredit usaha rakyat (KUR) untuk usaha yang terkena dampak Covid-19 dengan jangka waktu paling lama enam bulan.

Selanjutnya, terbit ketentuan relaksasi kredit bagi debitur perbankan maksimal setahun melalui Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020 yang kemudian diubah sampai dua kali, dan akan berakhir pada 31 Maret 2023.

Perpanjangan masa pelonggaran kredit sampai 31 Maret 2023 menunjukkan bahwa kondisi perekonomian dalam negeri belum sepenuhnya kembali seperti semula. Hal ini juga dibuktikan dengan jumlah kredit yang bermasalah, berdasarkan data statistik perbankan Indonesia, OJK, di tahun 2022, sampai bulan April, Non Performing Loan (NPL) bank umum rata-rata 3,0%.

Jumlah tersebut hampir sama dengan tahun merebaknya covid-19 yaitu tahun 2021 sebesar 3% dan pada 2020 sebesar 3,1%. Angka tersebut masih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat NPL pada 3 (tiga) tahun sebelum covid yang berada pada kisaran 2,5%.

Pertumbuhan perekonomian yang belum pulih sepenuhnya juga menyebabkan pelaku usaha lain seperti hotel, dan restoran masih belum menyerap banyak produk peternakan seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini karena jumlah kunjungan juga belum cukup membaik. Kondisi permintaan yang belum normal serta adanya PMK inilah yang menjadikan kerugian ekonomi peternak semakin besar.

Secara umum memang telah terdapat ketentuan mengenai restrukturisasi kredit, yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 40 /POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Restrukturisasi diartikan sebagai upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya.

Dalam praktek POJK 40 dilaksanakan dengan sangat bervariasi tergantung kebijakan masing-masing bank, sehingga pada akhirnya menjadikan tidak semua debitur atau semua jenis usaha dapat memperoleh fasilitas restrukturisasi kredit. Kondisi ini juga dialami peternak.

Salah satu persyaratan restrukturisasi kredit peternak adalah debitur masih memiliki prospek usaha yang baik dan dinilai mampu memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi. Persyaratan ini tentu tidak dapat diberlakukan dalam kondisi khusus seperti pandemi dan PMK.

Hal ini karena kembalinya prospek usaha seperti sebelum wabah tentu dapat berlangsung lama. Pada saat ini dengan PMK masih berlangsung ada melihat jumlah potensi kerugian, maka yang diperlukan adalah perlindungan dan penyelamatan.

Selain itu pada kredit bagi peternak, terdapat fasilitas pemerintah dalam bentuk bantuan selisih bunga. Maka dari itu diperlukan payung hukum khusus pemberian restrukturisasi kredit bagi peternak dengan menggunakan payung hukum yang lebih memadai karena yang diperlukan adalah ketentuan yang mencakup peranan pemerintah.

Dengan memperhatikan dampak PMK serta rencana perpanjangan kebijakan stimulus Covid-19 melalui POJK 11/POJK.03/2020, sudah seharusnya pemerintah juga menerbitkan POJK khusus mengenai restrukturisasi kredit atas dampak PMK.

Apalagi, di tengah kenaikan suku bunga acuan yang berpotensi menaikan bunga kredit, serta kenaikan BBM, maka perlu ada ketentuan yang secara khusus memberikan skema restrukturisasi kredit bagi peternak, sehingga dapat mengurangi beban berat ekonomi yang dipikul, dan menjaga tingkat perekonomian peternak.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1100 seconds (0.1#10.140)