Mengantisipasi Kenaikan Suku Bunga Acuan BI
loading...
A
A
A
UNTUK kali pertama sejak November 2018 atau 45 bulan, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan tersebut mematahkan ekspektasi pasar yang memperkirakan BI akan tetap mempertahankan suku bunga acuan.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75%.
Bank sentral beralasan kenaikan suku bunga acuan merupakan bagian dari langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi dan volatile food.
Lantas, apa saja dampak yang dirasakan akibat kenaikan suku bunga acuan bank sentral ini?
Bagi pelaku usaha terutama usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang membutuhkan pinjaman dari bank sebagai modal usaha akan semakin terbebani oleh suku bunga pinjaman yang semakin besar. Padahal, pinjaman modal usaha ini biasanya digunakan oleh pelaku usaha untuk membeli bahan baku produksi. Dengan mahalnya bunga pinjaman, maka mereka akan semakin terbebani untuk biaya produksinya. Kalau pinjaman baru bunganya akan meningkat, beban biaya produksinya berarti akan lebih mahal.
Kenaikan suku bunga acuan BI ini tentunya akan berdampak ke keberlangsungan sektor usaha terutama usaha kecil dan menengah. Dan, yang perlu dicermati efeknya terhadap beban pembayaran bunga yang ditanggung masyarakat dan pelaku usaha.
Tentunya kenaikan suku bunga BI akan memengaruhi pertumbuhan kredit perbankan, baik itu kredit kendaraan, kredit usaha, hingga kredit kepemilikan rumah (KPR).
Kenaikan BI rate (suku bunga acuan) ini akan diikuti oleh kenaikan bunga kredit bank di mana semakin besar suku bunga kredit maka akan menyurutkan keinginan masyarakat untuk mengambil kredit di bank.
Terlebih, setelah pandemi Covid-19, banyak nasabah yang masih terkendala dalam pelunasan kredit meskipun telah diberikan program relaksasi dari pemerintah.
Hal ini tentu akan semakin mempersulit debitur-debitur tersebut sehingga berpotensi untuk menaikkan kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) perbankan.
Imbas kenaikan suku bunga acuan BI lainnya dirasakan oleh pemerintah melalui suku bunga utang pemerintah yang semakin naik. Salah satu variabel penentu suku bunga utang pemerintah di Surat Berharga Negara (SBN) ialah suku bunga acuan BI.
Dengan kenaikan suku bunga BI ini, suku bunga SBN pemerintah akan ikut naik sehingga pemerintah harus membayar imbal hasil SBN ke investor lebih mahal.
Lalu bagaimana dampaknya kepada masyarakat? Kenaikan suku bunga acuan ini justru akan paling dirasakan oleh masyarakat awam lantaran masih bergantung pada utang.
Suku bunga kredit perbankan akan naik menyesuaikan suku bunga acuan yang naik 25 basis poin dari 3,5% menjadi 3,75%. Tidak hanya harus menanggung beban bunga yang bertambah, masyarakat juga semakin tertekan lantaran biaya hidup yang naik karena tingkat inflasi tinggi.
Selain itu, potensi masyarakat ke depannya menahan anggaran belanja. Itu artinya, keinginan untuk menggairahkan daya beli bisa kembali tertekan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75%.
Bank sentral beralasan kenaikan suku bunga acuan merupakan bagian dari langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi dan volatile food.
Lantas, apa saja dampak yang dirasakan akibat kenaikan suku bunga acuan bank sentral ini?
Bagi pelaku usaha terutama usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang membutuhkan pinjaman dari bank sebagai modal usaha akan semakin terbebani oleh suku bunga pinjaman yang semakin besar. Padahal, pinjaman modal usaha ini biasanya digunakan oleh pelaku usaha untuk membeli bahan baku produksi. Dengan mahalnya bunga pinjaman, maka mereka akan semakin terbebani untuk biaya produksinya. Kalau pinjaman baru bunganya akan meningkat, beban biaya produksinya berarti akan lebih mahal.
Kenaikan suku bunga acuan BI ini tentunya akan berdampak ke keberlangsungan sektor usaha terutama usaha kecil dan menengah. Dan, yang perlu dicermati efeknya terhadap beban pembayaran bunga yang ditanggung masyarakat dan pelaku usaha.
Tentunya kenaikan suku bunga BI akan memengaruhi pertumbuhan kredit perbankan, baik itu kredit kendaraan, kredit usaha, hingga kredit kepemilikan rumah (KPR).
Kenaikan BI rate (suku bunga acuan) ini akan diikuti oleh kenaikan bunga kredit bank di mana semakin besar suku bunga kredit maka akan menyurutkan keinginan masyarakat untuk mengambil kredit di bank.
Terlebih, setelah pandemi Covid-19, banyak nasabah yang masih terkendala dalam pelunasan kredit meskipun telah diberikan program relaksasi dari pemerintah.
Hal ini tentu akan semakin mempersulit debitur-debitur tersebut sehingga berpotensi untuk menaikkan kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) perbankan.
Imbas kenaikan suku bunga acuan BI lainnya dirasakan oleh pemerintah melalui suku bunga utang pemerintah yang semakin naik. Salah satu variabel penentu suku bunga utang pemerintah di Surat Berharga Negara (SBN) ialah suku bunga acuan BI.
Dengan kenaikan suku bunga BI ini, suku bunga SBN pemerintah akan ikut naik sehingga pemerintah harus membayar imbal hasil SBN ke investor lebih mahal.
Lalu bagaimana dampaknya kepada masyarakat? Kenaikan suku bunga acuan ini justru akan paling dirasakan oleh masyarakat awam lantaran masih bergantung pada utang.
Suku bunga kredit perbankan akan naik menyesuaikan suku bunga acuan yang naik 25 basis poin dari 3,5% menjadi 3,75%. Tidak hanya harus menanggung beban bunga yang bertambah, masyarakat juga semakin tertekan lantaran biaya hidup yang naik karena tingkat inflasi tinggi.
Selain itu, potensi masyarakat ke depannya menahan anggaran belanja. Itu artinya, keinginan untuk menggairahkan daya beli bisa kembali tertekan.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)