Menteri PPN Sebut Kepentingan Politik Kepala Daerah Perburuk Data Kemiskinan

Kamis, 02 Juli 2020 - 07:01 WIB
loading...
Menteri PPN Sebut Kepentingan...
Foto/SINDOnews/Yuswantoro
A A A
JAKARTA - Akurasi data penduduk miskin masih menjadi persoalan serius yang dihadapi pemerintah dalam mendistribusikan berbagai bentuk bantuan sosial. Data yang tidak akurat tidak hanya disebabkan lemahnya sistem verifikasi dan minimnya pembaruan, melainkan juga karena masalah transparansi pemerintah, khususnya di daerah.

Kepentingan politik sangat memengaruhi akurasi data warga miskin. Menjelang momentum pemilihan kepala daerah (pilkada) terkadang oknum kepala daerah menurunkan data jumlah penduduk miskinnya. Setelah pilkada selesai, data kemudian berubah naik. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa menyebut faktor ini antara lain yang menjadi penyebab data kemiskinan terus karut-marut.

“Jadi waktu mau pilkada garis kemiskinan dinaikkan sehingga bansos lebih banyak. Saat terpilih berusaha meningkatkan garis kemiskinannya sehingga kemiskinan rendah dan seterusnya karena itu prestasi kepala daerah,” ujar Suharso dalam rapat kerja (raker) gabungan membahas verifikasi dan validasi data kemiskinan kemarin. (Baca: 10 Orang Positif Covid, DPR Perketat Protokol Kesehatan)

Persoalan akurasi data kemiskinan bisa saja diselesaikan, tetapi sering tidak mudah karena persoalan politisasi ini. “Itu persoalan kita, itu pula yang membuat Pak Ary (Menteri Sosial Juliary Batubara) bolak-balik ke Bappenas, bertanya datanya bagaimana. Problem kita sesederhana itu,” kata Suharso.

Masalah lainnya adalah data kemiskinan dihitung menggunakan garis kemiskinan nasional, tetapi faktanya tiap daerah memiliki batas garis kemiskinan sendiri. Dia mencontohkan Kota Tasikmalaya yang batas garis kemiskinannya Rp457.000 per bulan per kapita, lalu daerah tetangganya Kabupaten Tasikmalaya sebesar Rp311.848. Kabupaten Bandung jumlahnya Rp345.177, tetapi Kota Bandung Rp474.488.

Suharso menjelaskan, data tersebut membuktikan bahwa garis kemiskinan antara kabupaten dan kota saja berbeda secara signifikan. Berdasarkan garis kemiskinan seperti itu, ada daerah yang lolos jika diukur dengan garis kemiskinan nasional sebesar Rp440.000 per orang per kapita atau setiap rumah tangga sekitar Rp2 juta per bulan. Padahal jika ingin mengintervensi dengan bantuan sosial, akurasi data daerah ini sangat berpengaruh.

Problem lainnya, kata Suharso, adalah daerah memiliki otonomi. Kementerian Sosial (Kemensos) tidak bisa masuk begitu saja ke daerah untuk mengatur data kemiskinan. Kementerian Desa Pembangunan Daerah Teringgal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) yang punya struktur di desa pun tidak bisa masuk ke daerah atas data ini. Karena itu satu-satunya yang bisa digunakan adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan instrumen APBD. (Baca juga: Margarito Nilai Pembangunan Desa Tanpa Dana Desa Akan Mandek)

Terpisah, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengusulkan tiga hal mengenai kriteria penerima bantuan sosial (bansos) sehingga proses penyalurannya tepat sasaran. Hal itu diungkapkan Bima saat menerima kunjungan anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi agama dan sosial terkait penyaluran bansos dampak Covid-19 di Ruang Paseban Sri Bima, Balai Kota Bogor, kemarin. (Lihat videonya: Puluhan Pelanggar Lalu Lintas Tak Pakai Masker DIhukum Berjemur)

Usulan itu, kata Bima, pertama, harus ada penguatan dan penyamaan kriteria warga penerima bantuan. Kedua, sumber bantuan disederhanakan dan ketiga, datanya harus lebih transparan. "Jadi, kriterianya ini harus betul-betul lebih dikunci. Sumber bantuan kita menyarankan untuk disederhanakan dan terakhir datanya harus lebih transparan. Kita contohkan di Kota Bogor dengan sistem Salur, data ditempel di setiap kelurahan dan lain-lain," kata Bima. (Kiswondari/Bima Setiyadi)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1712 seconds (0.1#10.140)