Soal RKUHP, Kepala BIN: Hukum Kolonial Perlu Segera Diganti Produk Hukum Nasional
loading...
A
A
A
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Marcus Priyo Gunarto, mengatakan potensi perbedaan pendapat rumusan delik dalam RUU KUHP adalah hal yang wajar. “Tetapi jika kita bersedia melihat berbagai kepentingan yang ingin dilindungi di balik rumusan delik yang telah digagas para guru besar hukum pidana sejak 1964, mungkin kita baru mengerti maksud dan tujuan dari rumusan delik tersebut,” katanya.
Dia menyarankan proses sosialisasi RKUHP mutlak diperlukan. Bahkan setelah disahkan sebagai undang-undang sekalipun, penyuluhan hukum pidana baru tetap diperlukan.
Sementara itu, Guru besar hukum Universitas Diponegoro (Undip) Benny Riyanto menyatakan, KUHP baru penting untuk mengikuti pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana yaitu dari paradigma keadilan retributif (balas dendam dengan penghukuman badan) menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku), restoratif (bagi korban), dan rehabilitatif (bagi keduanya)
Mantan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) ini menuturkan, tertundanya pengesahan RKUHP pada 2019 terjadi lantaran protes terhadap minimnya pelibatan partisipasi publik dan beberapa pasal kontroversial. Menjawab protes publik, Benny memastikan selama penyusunan RKUHP pemerintah sudah banyak melaksanakan sosialisasi ke berbagai ibu kota provinsi melalui kegiatan diskusi dan seminar.
“Pembentukan RKUHP sudah memenuhi asas meaningful participation atau partisipasi yang bermakna. Partisipasi yang bermakna mencakup tiga unsur, yaitu hak untuk didengar, hak untuk mendapat penjelasan, dan hak untuk dipertimbangkan,” katanya.
Dia menyebut, beberapa rumusan norma dalam RKUHP telah pula mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil. Contohnya adalah rumusan norma dalam pasal tentang penodaan agama dan aborsi. Selain itu RKUHP juga memasukkan norma terkait tindak pidana khas Indonesia, misalkan menyatakan diri memiliki kekuatan ghaib yang dapat mencelakakan orang lain.
RKUHP juga mengakomodasi nilai-nilai budaya bangsa. Dalam RKUHP Pasal 477 contohnya, terjadi perluasan norma yang selaras dengan nilai-nilai budaya bangsa, yaitu bahwa persetubuhan dengan anak di bawah umur 18 tahun, walaupun dengan persetujuan, dikategorikan perkosaan. “Bahkan perbuatan cabul tertentu juga dianggap perkosaan. Tapi hal yang paling penting dalam RUU KUHP adalah memasukkan norma yang melindungi Pancasila,” ucapnya.
Benny menyebutkan, berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, substansi RKUHP sudah sangat ideal sebagai basis norma hukum pidana nasional. “Maka perlu segera disahkan, mengingat anggota DPR pada 2022 ini masa sidangnya tinggal dua kali lagi.”
Benny menambahkan, RKUHP sengat ideal sebagai basis norma hukum pidana nasional. Karenanya dia mendorong DPR segera mengesahkan beleid baru hukum pidana. “Andaikata ada ketidakkelengkapan dari RKUHP masih tersedia mekanisme revisi undang-undang bahkan kalau ada norma yang dianggap keliru bisa melalui uji di Mahkamah Konstitusi,” tuturnya.
Dia menyarankan proses sosialisasi RKUHP mutlak diperlukan. Bahkan setelah disahkan sebagai undang-undang sekalipun, penyuluhan hukum pidana baru tetap diperlukan.
Sementara itu, Guru besar hukum Universitas Diponegoro (Undip) Benny Riyanto menyatakan, KUHP baru penting untuk mengikuti pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana yaitu dari paradigma keadilan retributif (balas dendam dengan penghukuman badan) menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku), restoratif (bagi korban), dan rehabilitatif (bagi keduanya)
Mantan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) ini menuturkan, tertundanya pengesahan RKUHP pada 2019 terjadi lantaran protes terhadap minimnya pelibatan partisipasi publik dan beberapa pasal kontroversial. Menjawab protes publik, Benny memastikan selama penyusunan RKUHP pemerintah sudah banyak melaksanakan sosialisasi ke berbagai ibu kota provinsi melalui kegiatan diskusi dan seminar.
“Pembentukan RKUHP sudah memenuhi asas meaningful participation atau partisipasi yang bermakna. Partisipasi yang bermakna mencakup tiga unsur, yaitu hak untuk didengar, hak untuk mendapat penjelasan, dan hak untuk dipertimbangkan,” katanya.
Dia menyebut, beberapa rumusan norma dalam RKUHP telah pula mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil. Contohnya adalah rumusan norma dalam pasal tentang penodaan agama dan aborsi. Selain itu RKUHP juga memasukkan norma terkait tindak pidana khas Indonesia, misalkan menyatakan diri memiliki kekuatan ghaib yang dapat mencelakakan orang lain.
RKUHP juga mengakomodasi nilai-nilai budaya bangsa. Dalam RKUHP Pasal 477 contohnya, terjadi perluasan norma yang selaras dengan nilai-nilai budaya bangsa, yaitu bahwa persetubuhan dengan anak di bawah umur 18 tahun, walaupun dengan persetujuan, dikategorikan perkosaan. “Bahkan perbuatan cabul tertentu juga dianggap perkosaan. Tapi hal yang paling penting dalam RUU KUHP adalah memasukkan norma yang melindungi Pancasila,” ucapnya.
Benny menyebutkan, berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, substansi RKUHP sudah sangat ideal sebagai basis norma hukum pidana nasional. “Maka perlu segera disahkan, mengingat anggota DPR pada 2022 ini masa sidangnya tinggal dua kali lagi.”
Benny menambahkan, RKUHP sengat ideal sebagai basis norma hukum pidana nasional. Karenanya dia mendorong DPR segera mengesahkan beleid baru hukum pidana. “Andaikata ada ketidakkelengkapan dari RKUHP masih tersedia mekanisme revisi undang-undang bahkan kalau ada norma yang dianggap keliru bisa melalui uji di Mahkamah Konstitusi,” tuturnya.
(cip)