Soal RKUHP, Kepala BIN: Hukum Kolonial Perlu Segera Diganti Produk Hukum Nasional

Senin, 22 Agustus 2022 - 14:21 WIB
loading...
Soal RKUHP, Kepala BIN: Hukum Kolonial Perlu Segera Diganti Produk Hukum Nasional
Kepala BIN Budi Gunawan mengatakan, KUHP peninggalan zaman kolonial Belanda yang dipakai sampai saat ini secara politik hukum belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa. Foto/istimewa
A A A
JAKARTA - Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( RKUHP ) perlu segera disahkan untuk mengikuti pergeseran paradigma hukum pidana. Beberapa rumusan norma dalam RKUHP telah mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil. Selain itu juga membuka ruang bagi masyarakat menyampaikan masukan tetap terbuka.

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan mengatakan, KUHP peninggalan zaman kolonial Belanda yang masih dipakai sampai saat ini secara politik hukum belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa apalagi nilai-nilai dasar falsafah negara yaitu Pancasila. Oleh karenanya, semua produk hukum kolonial perlu segera diganti dengan produk hukum nasional.

”Gagasan pemerintah untuk mengajukan RKUHP kepada DPR merupakan kehendak yang patut diapresiasi, karena sejak digagas tahun 1964 oleh para guru besar dan ahli hukum pidana, RKUHP ini merupakan suatu perubahan sistem hukum pidana yang dinamis sifatnya, baik dari sisi tempat (place), ruang (space), dan waktu (time),” katanya, Senin (22/8/2022).



Karena itu, pembaruan hukum pidana melalui RKUHP tidak saja mempertimbangkan faktor asas demokratisasi, modernisasi dan dekolonisasi sistem hukum pidana, tetapi juga mempertimbangkan pengakuan dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku dan hidup dalam masyarakat living law (adat) yang kesemua ini dilakukan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi hukum pidana.

“Bahkan, RKUHP telah mengantisipasi pengaruh globalisasi yang universal di bidang ekonomi dengan dampak dan efeknya pada peran kompetensi hukum pidana,” tambahnya.



Seperti diketahui, rencana pengesahan RKUHP menjadi undang-undang yang sempat tertunda pada 2019 lalu mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Para pemuka agama, wakil rakyat, hingga pakar hukum menilai bangsa Indonesia membutuhkan hukum pidana baru yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini.

RKUHP adalah RUU peninggalan DPR periode 2014-2019 yang batal disahkan pada hari-hari terakhir. RUU ini sejatinya akan disetujui DPR pada rapat paripurna 2019. Tapi saat itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta DPR menunda pengesahan RKUHP bersama 3 RUU lainnya, yakni RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Minerba karena menuai penolakan.

Sikap itu disampaikan Jokowi setelah menerima para pemimpin DPR, serta perwakilan fraksi dan komisi DPR di Istana Merdeka pada 23 September 2019. "Ditunda pengesahannya supaya kami bisa mendapat masukan-masukan, maupun substansi yang lebih baik dan sesuai keinginan masyarakat," kata Jokowi kala itu.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Marcus Priyo Gunarto, mengatakan potensi perbedaan pendapat rumusan delik dalam RUU KUHP adalah hal yang wajar. “Tetapi jika kita bersedia melihat berbagai kepentingan yang ingin dilindungi di balik rumusan delik yang telah digagas para guru besar hukum pidana sejak 1964, mungkin kita baru mengerti maksud dan tujuan dari rumusan delik tersebut,” katanya.

Dia menyarankan proses sosialisasi RKUHP mutlak diperlukan. Bahkan setelah disahkan sebagai undang-undang sekalipun, penyuluhan hukum pidana baru tetap diperlukan.

Sementara itu, Guru besar hukum Universitas Diponegoro (Undip) Benny Riyanto menyatakan, KUHP baru penting untuk mengikuti pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana yaitu dari paradigma keadilan retributif (balas dendam dengan penghukuman badan) menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku), restoratif (bagi korban), dan rehabilitatif (bagi keduanya)

Mantan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) ini menuturkan, tertundanya pengesahan RKUHP pada 2019 terjadi lantaran protes terhadap minimnya pelibatan partisipasi publik dan beberapa pasal kontroversial. Menjawab protes publik, Benny memastikan selama penyusunan RKUHP pemerintah sudah banyak melaksanakan sosialisasi ke berbagai ibu kota provinsi melalui kegiatan diskusi dan seminar.

“Pembentukan RKUHP sudah memenuhi asas meaningful participation atau partisipasi yang bermakna. Partisipasi yang bermakna mencakup tiga unsur, yaitu hak untuk didengar, hak untuk mendapat penjelasan, dan hak untuk dipertimbangkan,” katanya.

Dia menyebut, beberapa rumusan norma dalam RKUHP telah pula mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil. Contohnya adalah rumusan norma dalam pasal tentang penodaan agama dan aborsi. Selain itu RKUHP juga memasukkan norma terkait tindak pidana khas Indonesia, misalkan menyatakan diri memiliki kekuatan ghaib yang dapat mencelakakan orang lain.

RKUHP juga mengakomodasi nilai-nilai budaya bangsa. Dalam RKUHP Pasal 477 contohnya, terjadi perluasan norma yang selaras dengan nilai-nilai budaya bangsa, yaitu bahwa persetubuhan dengan anak di bawah umur 18 tahun, walaupun dengan persetujuan, dikategorikan perkosaan. “Bahkan perbuatan cabul tertentu juga dianggap perkosaan. Tapi hal yang paling penting dalam RUU KUHP adalah memasukkan norma yang melindungi Pancasila,” ucapnya.

Benny menyebutkan, berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, substansi RKUHP sudah sangat ideal sebagai basis norma hukum pidana nasional. “Maka perlu segera disahkan, mengingat anggota DPR pada 2022 ini masa sidangnya tinggal dua kali lagi.”

Benny menambahkan, RKUHP sengat ideal sebagai basis norma hukum pidana nasional. Karenanya dia mendorong DPR segera mengesahkan beleid baru hukum pidana. “Andaikata ada ketidakkelengkapan dari RKUHP masih tersedia mekanisme revisi undang-undang bahkan kalau ada norma yang dianggap keliru bisa melalui uji di Mahkamah Konstitusi,” tuturnya.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1950 seconds (0.1#10.140)