Benarkah Desentralisasi Solusi Atasi Ketimpangan di Daerah?
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memasuki usia lebih dari dua dekade.Implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No 22/1999 dan UU 25/1999 dan telah membawa perubahan besar dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Kala itu, UU tersebut ditetapkan untuk mewujudkan otonomi daerah yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab.Rondinelli, McCullough, and Johson (1989) mendefinisikan desentralisasi dari perspektif administratif sebagai pengalihan tanggung jawab atas perencanaan, pengelolaan dan sumber daya dari pemerintah pusat ke mitra penyampai layanan.
Di bawah desentralisasi, penyediaan beberapa barang publik diharapkan dapat berjalan lebih efisien secara ekonomi ketika sejumlah besar institusi lokal terlibat dalam penyediaan layanan. Oleh sebab itu, kebijakan ini mampu merepresentasikan keinginan daerah untuk menerapkan strategi pembangunan dalam mengejar ketertinggalan.
Selama desentralisasi fiskal berjalan, banyak perubahan positif dicapai dalam beberapa indikator pembangunan Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita Indonesia saat ini telah jauh meningkat, dari Rp8,37 juta pada 2002 menjadi Rp61,12 juta pada 2020.
Demikian pula persentase penduduk miskindi Indonesia yangmemiliki kecenderungan menurun di era desentralisasi fiskal yaitu dari 18,20% (2002) menjadi 9,22% (2019). Selanjutnya, keberhasilan pembangunan di era desentralisasi juga terlihat dari pembangunan kualitas hidup masyarakat melalui IPM yang tercatat mengalami peningkatan dari 2002 sebesar 65,80 menjadi 71,94 pada 2020.
Namun, di tengah sejumlah keberhasilan capaian pembangunan, ada beberapa pekerjaan rumah yang harus di selesaikan.Ini bisa ditilik dari capaian atas tujuan esensial desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri, yakni peningkatan kesejahteraan rakyat, demokratisasi di tingkat lokal, dan peningkatan pelayanan publik (Smith, 1985; Mawhood, 1987; Cheema and Rondenelli, 1983) yang memang masih harus ditingkatkan.
Selain itu, ketimpangan distribusi pendapatan bergerak fluktuatif namun cenderung meningkat dari 0,34 (2002) menjadi 0,39 (2020).Indikator Rasio Gini antar daerah juga masih timpang yang pada tahun 2020, Rasio Gini tertinggi adalah Provinsi DI Yogyakarta (0,44) dan terendah adalah Provinsi Bangka Belitung (0,26).
Kualitas Belanja Daerah
Desentralisasisecara mutlak membawa pelimpahan hampir seluruh urusan pemerintah pusat ke pemerintah daerah kecuali urusan hukum peradilan, pertahanan dan keamanan, agama, moneter, dan kebijakan luar negeri. Sehingga, kondisi tersebut memberikan konsekuensi terhadap perubahan sistem fiskal, di mana kebutuhan fiskal daerah menjadi lebih tinggi.
Sedangkan kapasitas fiskal daerah relatif tidak mengalami perubahan signifikan, kecuali daerah yang memiliki basis sumber daya alam yang melimpah. Demi menutup celah fiskal di daerah maka pemerintah pusat memberikan dana perimbangan kepada daerah, berupa DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), DBH (Dana Bagi Hasil) maupun DD (Dana Desa).
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memasuki usia lebih dari dua dekade.Implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No 22/1999 dan UU 25/1999 dan telah membawa perubahan besar dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Kala itu, UU tersebut ditetapkan untuk mewujudkan otonomi daerah yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab.Rondinelli, McCullough, and Johson (1989) mendefinisikan desentralisasi dari perspektif administratif sebagai pengalihan tanggung jawab atas perencanaan, pengelolaan dan sumber daya dari pemerintah pusat ke mitra penyampai layanan.
Di bawah desentralisasi, penyediaan beberapa barang publik diharapkan dapat berjalan lebih efisien secara ekonomi ketika sejumlah besar institusi lokal terlibat dalam penyediaan layanan. Oleh sebab itu, kebijakan ini mampu merepresentasikan keinginan daerah untuk menerapkan strategi pembangunan dalam mengejar ketertinggalan.
Selama desentralisasi fiskal berjalan, banyak perubahan positif dicapai dalam beberapa indikator pembangunan Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita Indonesia saat ini telah jauh meningkat, dari Rp8,37 juta pada 2002 menjadi Rp61,12 juta pada 2020.
Demikian pula persentase penduduk miskindi Indonesia yangmemiliki kecenderungan menurun di era desentralisasi fiskal yaitu dari 18,20% (2002) menjadi 9,22% (2019). Selanjutnya, keberhasilan pembangunan di era desentralisasi juga terlihat dari pembangunan kualitas hidup masyarakat melalui IPM yang tercatat mengalami peningkatan dari 2002 sebesar 65,80 menjadi 71,94 pada 2020.
Namun, di tengah sejumlah keberhasilan capaian pembangunan, ada beberapa pekerjaan rumah yang harus di selesaikan.Ini bisa ditilik dari capaian atas tujuan esensial desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri, yakni peningkatan kesejahteraan rakyat, demokratisasi di tingkat lokal, dan peningkatan pelayanan publik (Smith, 1985; Mawhood, 1987; Cheema and Rondenelli, 1983) yang memang masih harus ditingkatkan.
Selain itu, ketimpangan distribusi pendapatan bergerak fluktuatif namun cenderung meningkat dari 0,34 (2002) menjadi 0,39 (2020).Indikator Rasio Gini antar daerah juga masih timpang yang pada tahun 2020, Rasio Gini tertinggi adalah Provinsi DI Yogyakarta (0,44) dan terendah adalah Provinsi Bangka Belitung (0,26).
Kualitas Belanja Daerah
Desentralisasisecara mutlak membawa pelimpahan hampir seluruh urusan pemerintah pusat ke pemerintah daerah kecuali urusan hukum peradilan, pertahanan dan keamanan, agama, moneter, dan kebijakan luar negeri. Sehingga, kondisi tersebut memberikan konsekuensi terhadap perubahan sistem fiskal, di mana kebutuhan fiskal daerah menjadi lebih tinggi.
Sedangkan kapasitas fiskal daerah relatif tidak mengalami perubahan signifikan, kecuali daerah yang memiliki basis sumber daya alam yang melimpah. Demi menutup celah fiskal di daerah maka pemerintah pusat memberikan dana perimbangan kepada daerah, berupa DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), DBH (Dana Bagi Hasil) maupun DD (Dana Desa).