RUU Cipta Kerja Disinyalir Bakal Menggerus Kelestarian Lingkungan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Puluhan manekin berjajar di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (29/6/2020). Patung-patung itu dipajang sebagai perwakilan para aktivis yang menyerukan kepada para wakil rakyat tentang penolakan terhadap pembahasan RUU Cipta Kerja. Tampak beragam poster penolakan terpampang dan dikalungkan ke leher manekin.
(Baca juga: Pandemi Corona, Kadin Nilai RUU Cipta Kerja Bisa Bangkitkan UMKM
Rupanya, pajangan itu wujud aspirasi dari Greenpeace Indonesia yang menentang beleid sapu jagad tersebut. Melalui aksi damai, lembaga pemerhati lingkungan itu menyatakan kepada pemerintah dan DPR bahwa rakyat tidak memerlukan undang-undang yang merugikan rakyat dan hanya akan menguntungkan korporasi.
(Baca juga: TGB Sebut Kemudahan Jaminan di RUU Cipta Kerja Mampu Mendukung UMKM)
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin, mengatakan lembaganya mendesak pemerintah dan para anggota DPR untuk segera membatalkan RUU Cipta Kerja karena hanya akan mengancam kelestarian lingkungan, menyuburkan praktik korupsi oligarki, mengesampingkan hak-hak rakyat dan buruh, dan menurunkan kualitas demokrasi.
"Omnibus Law Cipta Kerja merupakan produk yang akan melanggengkan oligarki, menindas hak asasi manusia, melukai rasa keadilan masyarakat, meminggirkan perlindungan lingkungan serta memperlemah demokrasi di Indonesia. Tidak akan ada ekonomi maju yang dibangun di atas ekologi yang rusak,” celetuk Asep dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Senin (29/6/2020).
Alih-alih memprioritaskan kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya di tengah pandemi Covid-19, pemerintah dan DPR telah mengabaikan aspirasi masyarakat dengan membahas RUU Cipta Kerja. Bahkan sebelumnya, mereka telah bersekongkol secara diam-diam meloloskan UU Minerba yang memberikan karpet merah kepada industri batubara.
“RUU Cipta Kerja sangat problematik. Seperti yang dinyatakan dengan jelas oleh pemerintah, gagasan utama RUU ini adalah untuk mempercepat proses perizinan untuk mendukung investasi yaitu dengan menghilangkan hambatan-hambatan yang ada dalam proses perizinan. Tujuan RUU ini adalah untuk memfasilitasi investasi, dengan meminggirkan aspek-aspek lingkungan,” tegas Asep dalam keterangan tertulisnya kepada Sindonews, Senin (29/6/2020).
Proses penyiapan RUU Cipta Kerja ini sangat kontroversial karena pelaku yang terlibat, terutama berbagai asosiasi bisnis yang tergabung dalam Kamar Dagang Indonesia (KADIN) dan Bank Dunia. Sebaliknya, penyiapan beleid itu tidak melibatkan para pemangku kepentingan lain seperti serikat-serikat buruh dan masyarakat sipil.
Bahkan, menurut Asep, RUU ini banyak dipengaruhi oleh aktor-aktor industri ekstraktif seperti pertambangan, migas, perkebunan sehingga dikhawatirkan akan menjadi ancaman besar bagi lingkungan hidup Indonesia.
“Penyederhanaan dan penghapusan peraturan-peraturan penting untuk perlindungan lingkungan jelas akan semakin menggerus kelestarian lingkungan. Perizinan bagi investor akan mudah diberikan, sementara perlindungan bagi masyarakat dan masyarakat adat akan dilemahkan,” jelas dia.
Berdasarkan RUU tersebut, Asep berpandangan bahwa izin lingkungan akan dihapuskan. Begitu juga analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) akan dikurangi cakupan kerjanya.
Prinsip tanggung jawab mutlak atas kebakaran hutan juga akan dihapuskan. Sementara, peraturan kepemilikan tanah atau lahan konsesi bagi para investor akan dilonggarkan. Sebaliknya, partisipasi masyarakat dalam proses pemberian izin usaha akan semakin terbatas.
Selain itu, Asep menilai resentralisasi kewenangan pemberian izin dan pengawasan pada pemerintah pusat merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip desentralisasi dan otonomi daerah yang merupakan mandat reformasi. Pemusatan kewenangan ini memberi peluang lebih besar bagi oligarki politik dan bisnis untuk mempengaruhi pengambilan keputusan tentang izin investasi. Hal itu diyakini akan melemahkan pengawasan pelanggaran lingkungan di lapangan, memperburuk kondisi lingkungan dan berpotensi menurunkan kualitas demokrasi Indonesia.
(Baca juga: Pandemi Corona, Kadin Nilai RUU Cipta Kerja Bisa Bangkitkan UMKM
Rupanya, pajangan itu wujud aspirasi dari Greenpeace Indonesia yang menentang beleid sapu jagad tersebut. Melalui aksi damai, lembaga pemerhati lingkungan itu menyatakan kepada pemerintah dan DPR bahwa rakyat tidak memerlukan undang-undang yang merugikan rakyat dan hanya akan menguntungkan korporasi.
(Baca juga: TGB Sebut Kemudahan Jaminan di RUU Cipta Kerja Mampu Mendukung UMKM)
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin, mengatakan lembaganya mendesak pemerintah dan para anggota DPR untuk segera membatalkan RUU Cipta Kerja karena hanya akan mengancam kelestarian lingkungan, menyuburkan praktik korupsi oligarki, mengesampingkan hak-hak rakyat dan buruh, dan menurunkan kualitas demokrasi.
"Omnibus Law Cipta Kerja merupakan produk yang akan melanggengkan oligarki, menindas hak asasi manusia, melukai rasa keadilan masyarakat, meminggirkan perlindungan lingkungan serta memperlemah demokrasi di Indonesia. Tidak akan ada ekonomi maju yang dibangun di atas ekologi yang rusak,” celetuk Asep dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Senin (29/6/2020).
Alih-alih memprioritaskan kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya di tengah pandemi Covid-19, pemerintah dan DPR telah mengabaikan aspirasi masyarakat dengan membahas RUU Cipta Kerja. Bahkan sebelumnya, mereka telah bersekongkol secara diam-diam meloloskan UU Minerba yang memberikan karpet merah kepada industri batubara.
“RUU Cipta Kerja sangat problematik. Seperti yang dinyatakan dengan jelas oleh pemerintah, gagasan utama RUU ini adalah untuk mempercepat proses perizinan untuk mendukung investasi yaitu dengan menghilangkan hambatan-hambatan yang ada dalam proses perizinan. Tujuan RUU ini adalah untuk memfasilitasi investasi, dengan meminggirkan aspek-aspek lingkungan,” tegas Asep dalam keterangan tertulisnya kepada Sindonews, Senin (29/6/2020).
Proses penyiapan RUU Cipta Kerja ini sangat kontroversial karena pelaku yang terlibat, terutama berbagai asosiasi bisnis yang tergabung dalam Kamar Dagang Indonesia (KADIN) dan Bank Dunia. Sebaliknya, penyiapan beleid itu tidak melibatkan para pemangku kepentingan lain seperti serikat-serikat buruh dan masyarakat sipil.
Bahkan, menurut Asep, RUU ini banyak dipengaruhi oleh aktor-aktor industri ekstraktif seperti pertambangan, migas, perkebunan sehingga dikhawatirkan akan menjadi ancaman besar bagi lingkungan hidup Indonesia.
“Penyederhanaan dan penghapusan peraturan-peraturan penting untuk perlindungan lingkungan jelas akan semakin menggerus kelestarian lingkungan. Perizinan bagi investor akan mudah diberikan, sementara perlindungan bagi masyarakat dan masyarakat adat akan dilemahkan,” jelas dia.
Berdasarkan RUU tersebut, Asep berpandangan bahwa izin lingkungan akan dihapuskan. Begitu juga analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) akan dikurangi cakupan kerjanya.
Prinsip tanggung jawab mutlak atas kebakaran hutan juga akan dihapuskan. Sementara, peraturan kepemilikan tanah atau lahan konsesi bagi para investor akan dilonggarkan. Sebaliknya, partisipasi masyarakat dalam proses pemberian izin usaha akan semakin terbatas.
Selain itu, Asep menilai resentralisasi kewenangan pemberian izin dan pengawasan pada pemerintah pusat merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip desentralisasi dan otonomi daerah yang merupakan mandat reformasi. Pemusatan kewenangan ini memberi peluang lebih besar bagi oligarki politik dan bisnis untuk mempengaruhi pengambilan keputusan tentang izin investasi. Hal itu diyakini akan melemahkan pengawasan pelanggaran lingkungan di lapangan, memperburuk kondisi lingkungan dan berpotensi menurunkan kualitas demokrasi Indonesia.
(maf)