Pembangunan Daerah untuk Daya Tahan Ekonomi

Senin, 18 Juli 2022 - 16:05 WIB
loading...
Pembangunan Daerah untuk...
Candra Fajri Ananda/FOTO.DOK KORAN SINDO
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

Saat ini, salah satu yang menjadi isu utama dalam perekonomian dunia adalah inflasi yang terus meninggi. Isu ini bahkan menjadi agenda pembahasan dalam pertemuan kedua tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (Finance Ministers and Central Bank Governors/FMCBG) G20 di Amerika Serikat pada April 2022 ataupun di Bali yang berakhir pada akhir minggu kemarin.

Selain pandemi Covid-19, invasi Rusia ke Ukraina turut menjadi penyebab harga-harga pangan dan energi dunia melambung tinggi. Negara-negara pengimpor tidak kuasa menahan kenaikan harga pangan dan energi, yang menyebabkan kondisi sosial ekonomi sedikit goyah.

Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy, komoditas minyak, batu bara, dan gas, memiliki kontribusi masing-masing 31,2%, 27,2%, dan 24% dari total konsumsi energi dunia. Oleh sebab itu, tak heran bila kenaikan harga BBM menyebabkan terkereknya inflasi di Amerika Serikat (AS) periode Juni 2022 yang mencapai 9,1% (yoy), rekor tertinggi sejak 1981 atau dalam 41 tahun terakhir.

Bloomberg juga mencatat, Inggris telah masuk dalam gelombang inflasi tertinggi sejak 1980-an. Sementara itu, Sri Lanka dan Pakistan jatuh ke dalam krisis setelah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memperingatkan badai besar pada negara berkembang karena kenaikan harga komoditas.

Pada perkembangannya, kini lonjakan harga komoditas pangan dan energi di tingkat global mulai berdampak ke Indonesia. Inflasi atau kenaikan harga umum di Indonesia per Juni 2022 mencapai 4,35%. Angka tersebut merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir dan telah melampaui target inflasi sebesar 3% plus minus 1% tahun ini.

Banyak faktor yang memengaruhi terkereknya inflasi di dalam negeri. Salah satu yang paling dominan, yakni tekanan global akibat situasi perang Rusia-Ukraina yang menyulut kenaikan harga komoditas. Meski demikian, ekonomi Indonesia disebut masih lebih baik dibanding negara lain.

Berdasarkan laporan Bank Dunia bertajuk Global Economic Prospects periode Juni 2022, ekonomi Indonesia masih diproyeksi tumbuh 5,1%. Bahkan, Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia semakin bergeliat sampai 2024. Lembaga internasional itu memproyeksi ekonomi RI tembus 5,3% pada 2023 dan 2024. Angka tersebut lebih baik dibanding negara lain yang rata-rata hanya mencapai 3% dan lebih kecil dari AS.

Hingga kini, belum ada yang mampu meramalkan berakhirnya masa gejolak ekonomi global. Bahkan, untuk 2023 masih diperkirakan bahwa risiko ekonomi dunia mengalami peningkatan resesi. Kenaikan suku bunga tahun ini kemungkinan akan dirasakan lebih pada 2023. Hal ini karena otoritas moneter Negeri Paman Sam kemungkinan akan terus menaikkan suku bunga hingga mencapai 2,75-3% pada awal tahun depan sehingga kenaikan suku bunga Fed ini berpotensi membatasi pertumbuhan pada 2023.

Selain menaikkan suku bunga acuan, The Fed juga merencanakan normalisasi neraca ataubalance sheetdengan pengurangan USD90 miliar per bulan mulai September 2022. Tak hanya Fed, Bank Sentral Inggris atau Bank of England (BoE) kemungkinan akan terus menaikkan suku bunga pada Mei dan seterusnya, baik pada Juni maupun Agustus sebesar 25 bps sampai suku bunga bank mencapai setidaknya 1,25%. Kebijakan serupa kemungkinan bakal ditempuh Bank Sentral Eropa (ECB) yang akan mengajukan kenaikan suku bunga tahun ini mengingat inflasi zona euro berada pada rekor tertinggi.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1711 seconds (0.1#10.140)