Peta Jalan Memberangus Kekerasan Seksual

Sabtu, 16 Juli 2022 - 22:51 WIB
loading...
A A A
Dengan adanya direktorat khusus TPKS, akan memudahkan dalam mempersiapkan tenaga penyidik berintegritas, serta memiliki pengetahuan tentang penanganan korban berperspektif HAM. Selain itu, penanganan perkara TPKS bisa lebih terkoordinasi, terintegrasi, dan terselenggara dengan baik.

Selain Polri, penting juga untuk melakukan penguatan terhadap Lembaga Negara Non-Struktural seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Berdasarkan UU TPKS, LPSK tidak hanya memiliki peranan sentral dalam upaya perlindungan, tetapi juga dalam upaya pemulihan korban. Selain memiliki peran untuk memberikan rehabilitasi medis dan psikologis, LPSK juga menjadi lembaga yang memiliki tanggung jawab untuk menghitung restitusi (pembayaran ganti kerugian).

Dalam kaitannya dengan penghitungan restitusi, penguatan terhadap LPSK merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Bisa dibayangkan jika semua korban berdasarkan data KemenPPA di tahun 2021 (8.730 korban) mengajukan permohonan penghitungan restitusi, maka akan dipastikan tenaga penilai di LPSK akanoverload.

Berdasarkan regulasi, LPSK tidak hanya berwenang menghitung permohonan restitusi korban TPKS, akan tetapi semua korban tindak pidana yang mengalami kerugian. Maka dari itu, tambahan personel, peningkatan skill dan kapasitas sumber daya manusia, dan penyesuaian alokasi anggaran menjadi mendesak untuk dilakukan.

Penguatan juga perlu dilakukan terhadap Unit Pelaksana Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, Pendamping, termasuk Komnas Perempuan. Penanganan TPKS memiliki spektrum yang sangat luas. Di antaranya meliputi tindakan untuk memberikan layanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabiilitasi sosial, penegakan hukum, layanan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial. Artinya, masih banyak pemangku kepentingan yang perlu melakukan penguatan dan penyesuaian.

Kelembagaan Victim Trust Fund
Ganti rugi terhadap korban kekerasan seksual telah memasuki rezim yang baru. Pasca dibentuknya UU TPKS, setidaknya ada dua hal baru yang diatur.Pertama, penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap harta pelaku kekerasan seksual, sebagai bagian dari jaminan restitusi.Kedua, korban bisa mendapatkan kompensasi dari negara melalui dana bantuan korban, apabila harta kekayaan pelaku yang disita tidak cukup untuk membayar restitusi.

Pembaharuan hukum sangat menarik dan progresif. Karena memberikan kepastian kepada korban untuk mendapatkan haknya tanpa bergantung kepada keadaan ekonomi pelaku. Untuk merealisasikannya dalam waktu cepat, ada beberapa hal yang harus segera dilakukan. Dalam hal ini pemerintah tentu saja harus segera merampungkan Peraturan Pemerintahnya, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 35 ayat 4 UU TPKS.

Berikutnya, untuk pengelolaan yang transparan dan akuntabel dana bantuan korban harus dikelola oleh lembaga yang mandiri. Untuk mengisi kekosongan, fungsi tersebut sementara waktu bisa diletakan di LPSK sambil mempersiapkan lembaga mandiri.

LPSK merupakan lembaga yang berpengalaman dalam mengelola dana kompensasi khususnya untuk tindak pidana terorisme. Hal ini penting, karena ke depan lembaga ini bisa dimanfaatkan untuk menjamin semua korban tindak pidana, tidak hanya terbatas pada isu kekerasan seksual.

Yang juga penting, terkait dengan sumber pendanaan di mana dana bantuan korban memang tidak sepenuhnya dibebankan kepada negara. Ada peluang sumber pendanaan melalui filantropi, masyarakat atau individu, atau boleh juga berasal dari tanggung jawab sosial perusahaan (sepanjang tidak mengikat). Akan tetapi, sebagai awalan dana bantuan korban bisa dialokasikan dari sitaan hasil kejahatan yang sudah dieksekusi melalui putusan pengadilan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2166 seconds (0.1#10.140)