Peta Jalan Memberangus Kekerasan Seksual

Sabtu, 16 Juli 2022 - 22:51 WIB
loading...
Peta Jalan Memberangus...
Tama S Langkun. FOTO/DOK KORAN SINDO
A A A
Tama S Langkun
Juru Bicara Nasional Partai Perindo
Ketua DPP Bidang Hukum dan HAM Partai Perindo

Peristiwa terkait kekerasan seksual terus bermunculan dan semakin menjadi-jadi. Seolah tak kenal tempat dan waktu, kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, dan memangsa siapa saja. Situasi ini menggambarkan bahwa Indonesia belum bisa melepaskan diri dari status darurat kekerasan seksual.

Dalam dua pekan terakhir, publik dihebohkan dengan drama penangkapan tersangka kekerasan seksual, yang dihadang oleh masa di salah satu pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur. Kepolisian didesak untuk menurunkan personel lebih banyak, untuk memastikan proses penegakan hukum berjalan dengan baik.

Kasus lainnya adalah penahanan terhadap pelaku kekerasan seksual di SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI), Malang, Jawa Timur. Majelis hakim pada akhirnya memerintahkan Jaksa Penuntut umum untuk menahan terdakwa.

Perkara-perkara tersebut bisa jadi puncak gunung es kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Penulis percaya masih banyak perkara lain yang belum terselesaikan, atau bahkan menguap lantaran korban belum berani lapor kepada penegak hukum.

Refleksi dari perkara yang selama ini ditangani oleh penegak hukum, ada banyak ancaman yang menghadang korban. Selain teror dan ancaman, tidak sedikit korban yang dikriminalisasi dengan pasal-pasal defamasi. Misalnya korban dituduh mencemarkan nama baik, fitnah, atau penghinaan atas laporan yang dia berikan kepada penegak hukum. Kondisi yang demikian membuat korban mengalami reviktimisasi, atau korban menjadi korban kembali.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA), sepanjang 2021 tercatat 8.730 anak menjadi korban kekerasan seksual. Jumlah itu bisa saja terus bertambah, KemenPPA menyebutkan bahwa sepanjang Januari 2022 sebanyak 797 anak menjadi korban kekerasan seksual.

Perlu digarisbawahi bahwa data tersebut berasal dari laporan yang didapatkan dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). Melihat dari banyaknya laporan atas kekerasan seksual, negara harus memiliki peta jalan dan lebih konkrit dan terukur untuk menanggulanginya.

Memperkuat Tata Kelola Lembaga Negara
Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) seharusnya menjadi momentum bagi negara untuk memperkuat aparat penegak hukum. Begitu juga dengan lembaga negara lainnya yang disebut dalam UU TPKS. Penguatan yang dimaksud terletak pada dua hal prinsip.Pertama,adalah perbaikan tata kelola kelembagaan, dankeduaadalah penyesuaian alokasi anggaran.

Salah satu lembaga yang memiliki peran vital adalah Polri. Saat ini Unit PPA di Kepolisian sudah banyak memberikan kontribusi. Namun, secara kelembagaan perlu ada penguatan dan sokongan oleh kelembagaan di internal Polri setingkat direktorat.

Dengan adanya direktorat khusus TPKS, akan memudahkan dalam mempersiapkan tenaga penyidik berintegritas, serta memiliki pengetahuan tentang penanganan korban berperspektif HAM. Selain itu, penanganan perkara TPKS bisa lebih terkoordinasi, terintegrasi, dan terselenggara dengan baik.

Selain Polri, penting juga untuk melakukan penguatan terhadap Lembaga Negara Non-Struktural seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Berdasarkan UU TPKS, LPSK tidak hanya memiliki peranan sentral dalam upaya perlindungan, tetapi juga dalam upaya pemulihan korban. Selain memiliki peran untuk memberikan rehabilitasi medis dan psikologis, LPSK juga menjadi lembaga yang memiliki tanggung jawab untuk menghitung restitusi (pembayaran ganti kerugian).

Dalam kaitannya dengan penghitungan restitusi, penguatan terhadap LPSK merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Bisa dibayangkan jika semua korban berdasarkan data KemenPPA di tahun 2021 (8.730 korban) mengajukan permohonan penghitungan restitusi, maka akan dipastikan tenaga penilai di LPSK akanoverload.

Berdasarkan regulasi, LPSK tidak hanya berwenang menghitung permohonan restitusi korban TPKS, akan tetapi semua korban tindak pidana yang mengalami kerugian. Maka dari itu, tambahan personel, peningkatan skill dan kapasitas sumber daya manusia, dan penyesuaian alokasi anggaran menjadi mendesak untuk dilakukan.

Penguatan juga perlu dilakukan terhadap Unit Pelaksana Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, Pendamping, termasuk Komnas Perempuan. Penanganan TPKS memiliki spektrum yang sangat luas. Di antaranya meliputi tindakan untuk memberikan layanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabiilitasi sosial, penegakan hukum, layanan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial. Artinya, masih banyak pemangku kepentingan yang perlu melakukan penguatan dan penyesuaian.

Kelembagaan Victim Trust Fund
Ganti rugi terhadap korban kekerasan seksual telah memasuki rezim yang baru. Pasca dibentuknya UU TPKS, setidaknya ada dua hal baru yang diatur.Pertama, penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap harta pelaku kekerasan seksual, sebagai bagian dari jaminan restitusi.Kedua, korban bisa mendapatkan kompensasi dari negara melalui dana bantuan korban, apabila harta kekayaan pelaku yang disita tidak cukup untuk membayar restitusi.

Pembaharuan hukum sangat menarik dan progresif. Karena memberikan kepastian kepada korban untuk mendapatkan haknya tanpa bergantung kepada keadaan ekonomi pelaku. Untuk merealisasikannya dalam waktu cepat, ada beberapa hal yang harus segera dilakukan. Dalam hal ini pemerintah tentu saja harus segera merampungkan Peraturan Pemerintahnya, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 35 ayat 4 UU TPKS.

Berikutnya, untuk pengelolaan yang transparan dan akuntabel dana bantuan korban harus dikelola oleh lembaga yang mandiri. Untuk mengisi kekosongan, fungsi tersebut sementara waktu bisa diletakan di LPSK sambil mempersiapkan lembaga mandiri.

LPSK merupakan lembaga yang berpengalaman dalam mengelola dana kompensasi khususnya untuk tindak pidana terorisme. Hal ini penting, karena ke depan lembaga ini bisa dimanfaatkan untuk menjamin semua korban tindak pidana, tidak hanya terbatas pada isu kekerasan seksual.

Yang juga penting, terkait dengan sumber pendanaan di mana dana bantuan korban memang tidak sepenuhnya dibebankan kepada negara. Ada peluang sumber pendanaan melalui filantropi, masyarakat atau individu, atau boleh juga berasal dari tanggung jawab sosial perusahaan (sepanjang tidak mengikat). Akan tetapi, sebagai awalan dana bantuan korban bisa dialokasikan dari sitaan hasil kejahatan yang sudah dieksekusi melalui putusan pengadilan.

Berdasarkan keterangan resmi Kejaksaan Agung, pada semester I/2021 (Januari-Juni), Kejaksaan Agung telah menyelamatkan keuangan Negara mencapai Rp15,8 triliun. Contoh terbaru pada April 2022, Kejaksaan Agung menyebutkan telah menyetorkan uang tunai sebesar Rp253 miliar ke kas negara, hanya dari satu kasus tindak pidana korupsi atas terpidana PT Indosat Mega Media dan terpidana Indar Atmanto.

Dengan nilai yang besar tersebut, tidak berlebihan rasanya jika negara menyiapkan regulasi pendukung untuk memungkinkan harta tersebut sedikit dialokasikan untuk keperluan Dana Bantuan Korban.

Selain berbagai pengaturan dana bantuan korban dan penguatan tata kelola kelembagaan, hal tidak kalah pentingnya adalah partisipasi aktif masyarakat. Semua usaha yang dilakukan bisa saja menjadi sia-sia dan kehilangan makna, manakala tidak didukung oleh partisipasi aktif dari masyarakat.

Penting untuk diingat, keberhasilan penanganan kekerasan seksual tidak cukup pada pemidanan terhadap para predator seksual, akan tetapi korban harus dipulihkan baik secara fisik, psikologis, maupun kehidupan sosialnya.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0939 seconds (0.1#10.140)