Peta Jalan Memberangus Kekerasan Seksual
loading...
A
A
A
Tama S Langkun
Juru Bicara Nasional Partai Perindo
Ketua DPP Bidang Hukum dan HAM Partai Perindo
Peristiwa terkait kekerasan seksual terus bermunculan dan semakin menjadi-jadi. Seolah tak kenal tempat dan waktu, kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, dan memangsa siapa saja. Situasi ini menggambarkan bahwa Indonesia belum bisa melepaskan diri dari status darurat kekerasan seksual.
Dalam dua pekan terakhir, publik dihebohkan dengan drama penangkapan tersangka kekerasan seksual, yang dihadang oleh masa di salah satu pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur. Kepolisian didesak untuk menurunkan personel lebih banyak, untuk memastikan proses penegakan hukum berjalan dengan baik.
Kasus lainnya adalah penahanan terhadap pelaku kekerasan seksual di SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI), Malang, Jawa Timur. Majelis hakim pada akhirnya memerintahkan Jaksa Penuntut umum untuk menahan terdakwa.
Perkara-perkara tersebut bisa jadi puncak gunung es kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Penulis percaya masih banyak perkara lain yang belum terselesaikan, atau bahkan menguap lantaran korban belum berani lapor kepada penegak hukum.
Refleksi dari perkara yang selama ini ditangani oleh penegak hukum, ada banyak ancaman yang menghadang korban. Selain teror dan ancaman, tidak sedikit korban yang dikriminalisasi dengan pasal-pasal defamasi. Misalnya korban dituduh mencemarkan nama baik, fitnah, atau penghinaan atas laporan yang dia berikan kepada penegak hukum. Kondisi yang demikian membuat korban mengalami reviktimisasi, atau korban menjadi korban kembali.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA), sepanjang 2021 tercatat 8.730 anak menjadi korban kekerasan seksual. Jumlah itu bisa saja terus bertambah, KemenPPA menyebutkan bahwa sepanjang Januari 2022 sebanyak 797 anak menjadi korban kekerasan seksual.
Perlu digarisbawahi bahwa data tersebut berasal dari laporan yang didapatkan dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). Melihat dari banyaknya laporan atas kekerasan seksual, negara harus memiliki peta jalan dan lebih konkrit dan terukur untuk menanggulanginya.
Memperkuat Tata Kelola Lembaga Negara
Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) seharusnya menjadi momentum bagi negara untuk memperkuat aparat penegak hukum. Begitu juga dengan lembaga negara lainnya yang disebut dalam UU TPKS. Penguatan yang dimaksud terletak pada dua hal prinsip.Pertama,adalah perbaikan tata kelola kelembagaan, dankeduaadalah penyesuaian alokasi anggaran.
Salah satu lembaga yang memiliki peran vital adalah Polri. Saat ini Unit PPA di Kepolisian sudah banyak memberikan kontribusi. Namun, secara kelembagaan perlu ada penguatan dan sokongan oleh kelembagaan di internal Polri setingkat direktorat.
Juru Bicara Nasional Partai Perindo
Ketua DPP Bidang Hukum dan HAM Partai Perindo
Peristiwa terkait kekerasan seksual terus bermunculan dan semakin menjadi-jadi. Seolah tak kenal tempat dan waktu, kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, dan memangsa siapa saja. Situasi ini menggambarkan bahwa Indonesia belum bisa melepaskan diri dari status darurat kekerasan seksual.
Dalam dua pekan terakhir, publik dihebohkan dengan drama penangkapan tersangka kekerasan seksual, yang dihadang oleh masa di salah satu pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur. Kepolisian didesak untuk menurunkan personel lebih banyak, untuk memastikan proses penegakan hukum berjalan dengan baik.
Kasus lainnya adalah penahanan terhadap pelaku kekerasan seksual di SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI), Malang, Jawa Timur. Majelis hakim pada akhirnya memerintahkan Jaksa Penuntut umum untuk menahan terdakwa.
Perkara-perkara tersebut bisa jadi puncak gunung es kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Penulis percaya masih banyak perkara lain yang belum terselesaikan, atau bahkan menguap lantaran korban belum berani lapor kepada penegak hukum.
Refleksi dari perkara yang selama ini ditangani oleh penegak hukum, ada banyak ancaman yang menghadang korban. Selain teror dan ancaman, tidak sedikit korban yang dikriminalisasi dengan pasal-pasal defamasi. Misalnya korban dituduh mencemarkan nama baik, fitnah, atau penghinaan atas laporan yang dia berikan kepada penegak hukum. Kondisi yang demikian membuat korban mengalami reviktimisasi, atau korban menjadi korban kembali.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA), sepanjang 2021 tercatat 8.730 anak menjadi korban kekerasan seksual. Jumlah itu bisa saja terus bertambah, KemenPPA menyebutkan bahwa sepanjang Januari 2022 sebanyak 797 anak menjadi korban kekerasan seksual.
Perlu digarisbawahi bahwa data tersebut berasal dari laporan yang didapatkan dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). Melihat dari banyaknya laporan atas kekerasan seksual, negara harus memiliki peta jalan dan lebih konkrit dan terukur untuk menanggulanginya.
Memperkuat Tata Kelola Lembaga Negara
Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) seharusnya menjadi momentum bagi negara untuk memperkuat aparat penegak hukum. Begitu juga dengan lembaga negara lainnya yang disebut dalam UU TPKS. Penguatan yang dimaksud terletak pada dua hal prinsip.Pertama,adalah perbaikan tata kelola kelembagaan, dankeduaadalah penyesuaian alokasi anggaran.
Salah satu lembaga yang memiliki peran vital adalah Polri. Saat ini Unit PPA di Kepolisian sudah banyak memberikan kontribusi. Namun, secara kelembagaan perlu ada penguatan dan sokongan oleh kelembagaan di internal Polri setingkat direktorat.