Pemerintah Diharapkan Tak Asal Bubarkan ACT dan Lembaga Sosial Lain
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta tidak asal membubarkan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan lembaga sosial lain yang ada di Indonesia. Hal ini dikatakan oleh Koordinator Nasional Forum Solidaritas Kemanusiaan, Sudirman Said.
"Kalau ada tikus, jangan lumbungnya dibakar. Kita membutuhkan lembaga-lembaga semacam itu," kata Sudirman Said, dalam diskusi Polemik Pengelolaan Dana Filantropi yang digelar Forum Solidaritas Kemanusiaan (FSK), Sabtu (9/7/2022).
Sudirman memiliki empat alasan lembaga sosial atau pengelola dana filantropi masyarakat tidak boleh dibubarkan. Pertama, secara natural, masyarakat akan semakin sejahtera dengan keberadaan lembaga sosial.
"Orang-orang yang tadinya tidak mampu jadi punya kemampuan. Kepedulian terhadap sesama menjadi makin tinggi. Jadi, kita perlu wadah lembaga (filantropi)," kata Sudirman yang merupakan Sekjen Palang Merah Indonesia (PMI).
Kedua, lembaga sosial merupakan sumber kader pemimpin sejati. Hanya orang-orang dengan skil leadership mumpuni yang bisa menjalankan lembaga sosial. Tidak bisa sembarangan orang.
"Karena kalau di pemerintahan itu kita main dengan power, dengan otoritas, hanya karena dia pejabat sehingga bisa ngatur-ngatur. Tapi di sosial, tidak ada. Hanya skill kepemimpinan yang bisa menggerakkan, karena itu jangan mematikan lembaga-lembaga sosial apapun situasinya," terangnya.
Ketiga, lembaga sosial menjadi penyangga atau pelengkap demokrasi. Lembaga sosial yang merupakan masyarakat Sipil merupakan penyeimbang antara korporasi dan negara. Lembaga sosial lahir dari rahim masyarakat.
"Dia menjadi pemberi warna tersendiri, menyuarakan panggilan publik," jelas mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia ini.
Keempat, lembaga sosial punya fleksibilitas bergerak. Dia mencontohkan Palang Merah. Salah satu protokol di dunia kemanusiaan adalah enam jam setelah kejadian bencana, relawan sudah mesti di lapangan.
Hal itu katanya, tidak mungkin dikerjakan pemerintah, karena memerlukan formalitas, tanda tangan basah, serta penyusunan budget. Singkatnya, birokrasi.
"Nah, lembaga semacam ACT atau apapun, bisa bereaksi dengan cepat. Bahkan, boleh dibilang yang paling datang duluan adalah relawan yang ada di sekitar itu," jelas Sudirman.
Karena itu dia meminta pemerintah untuk tidak membubarkan lembaga sosial seperti ACT. Lembaga sosial harus tetap dijaga, agar demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik.
"Di dalam lembaga apapun pasti ada orang baiknya daripada yang punya niat jahat. Nah, yang jahat itu dipinggirkan, yang baik-baik kita jaga," tutur Sudirman.
Dia mengakui, kasus yang menimpa ACT merupakan pukulan keras bagi para donatur. Kejadian ini, bisa mengikis kepercayaan donatur.
"Jika dipolitisir berkepanjangan, hal ini akan mengganggu. Pemerintah mesti cukup bijak, fokus pada penyakitnya saja. Kalau lembaganya hidup, bisa diampu sementara Baznas. Pemerintah juga punya kewajiban memulihkan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga ini," sarannya.
Menurutnya, semakin banyak lembaga yang menyalurkan bantuan, maka semakin baik. Untuk mencegah kejadian seperti ACT terulang, Sudirman berpendapat, yang diperlukan bukan regulator, tapi forum yang tepat. "Kalau ada banyak lembaga, semakin baik.
Biar tidak satu pihak menjadi pengendali utama, tetapi makin banyak institusi yang masuk dalam bidang-bidang seperti ini. Yuk kita jaga etika, profesionalisme pengelola. Masalah kemarin kita anggap sebagai proses pendewasaan," tandas Sudirman.
Hal senada dikatakan Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut, pencabutan izin sebuah filantropi sebagaimana yang dialami ACT karena diduga melakukan penyelewengan dana tidak akan menyelesaikan persoalan.
Menurutnya, penyelesaian masalah harus dilakukan secara struktural dan segera melakukan revisi Undang-Undang (UU). Dia mendorong pemerintah dan DPR RI segera merevisi UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang guna mencegah penyelewengan.
"Beberapa kawan dan saya sendiri telah mendorong adanya perubahan Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang ini," tuturnya.
Tetapi, dorongan revisi undang-undang tersebut selalu terkendala di DPR RI dengan alasan politik yang tidak jelas. "Mudah-mudahan ini menjadi momentum bagus untuk merevisi undang-undang tersebut," harap Bivitri.
Tak hanya revisi UU, Bivitri menilai aturan turunan dari undang-undang itu, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 harus diperbarui. Dorongan tersebut sejalan dengan kasus yang terjadi pada Aksi Cepat Tanggap (ACT), salah satu filantropi yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan.
Ia membandingkan keberadaan UU tentang Pengumpulan Uang atau Barang dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang bisa dikatakan cukup jauh tertinggal.
"Makanya cara berpikir pengelolaan zakat lebih modern, rapi, dan lebih akuntabel," tuturnya.
Menurutnya, pemberian izin dan pendaftaran kepada suatu pihak untuk mengelola dana kepentingan masyarakat banyak, seperti filantropi tidak cukup hanya sebatas pemberian izin. Jauh dari itu, pengawasan dan akuntabilitas harus tetap diawasi agar tidak terjadi penyelewengan dana.
Sementara, dalam UU tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang diterbitkan pada tahun 1960 tersebut belum mengangkat aspek akuntabilitas.
Dari pihak Perhimpunan Filantropi Indonesia mengingatkan para pegiat atau pelaku filantropi di Tanah Air, pentingnya menjaga kepercayaan masyarakat yang mengumpulkan dana kemanusiaan.
"Kepercayaan dan dukungan masyarakat dapat tergerus atau turun akibat perilaku tidak etis dari pegiat filantropi," tegas Ketua Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia Rizal Algamar.
Beberapa waktu lalu, kata dia, Perhimpunan Filantropi Indonesia baru saja meluncurkan kode etik filantropi yang dikembangkan dengan beberapa tujuan.
Pertama, meningkatkan kualitas organisasi filantropi. Baik yang dilakukan kelompok, individu, komunitas atau lembaga filantropi. Kedua, agar dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi dan melindungi masyarakat dari praktik-praktik penyalahgunaan filantropi.
"Hal tersebut penting dilakukan mengingat pesatnya perkembangan filantropi di Tanah Air," ujarnya.
Menurutnya, ini merupakan respons cepat atas masalah yang sedang terjadi di filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang diduga terjadi penyelewengan dana.
"Salah satu pelajaran yang bisa diambil dari kasus ACT ialah melakukan internalisasi kode etik filantropi Indonesia," ungkapnya.
Deputi Baznas, Arifin Purwakananta menilai, bahwa kedermawanan masyarakat Indonesia tidak akan pernah surut dan sudah dibuktikan bahwa memang Indonesia yang terbaik dalam kedermawanan.
"Bahkan disaat sulit seperti pandemi pun justru sumbangan masyarakat meningkat," kata Arifin.
"Kalau ada tikus, jangan lumbungnya dibakar. Kita membutuhkan lembaga-lembaga semacam itu," kata Sudirman Said, dalam diskusi Polemik Pengelolaan Dana Filantropi yang digelar Forum Solidaritas Kemanusiaan (FSK), Sabtu (9/7/2022).
Sudirman memiliki empat alasan lembaga sosial atau pengelola dana filantropi masyarakat tidak boleh dibubarkan. Pertama, secara natural, masyarakat akan semakin sejahtera dengan keberadaan lembaga sosial.
"Orang-orang yang tadinya tidak mampu jadi punya kemampuan. Kepedulian terhadap sesama menjadi makin tinggi. Jadi, kita perlu wadah lembaga (filantropi)," kata Sudirman yang merupakan Sekjen Palang Merah Indonesia (PMI).
Kedua, lembaga sosial merupakan sumber kader pemimpin sejati. Hanya orang-orang dengan skil leadership mumpuni yang bisa menjalankan lembaga sosial. Tidak bisa sembarangan orang.
"Karena kalau di pemerintahan itu kita main dengan power, dengan otoritas, hanya karena dia pejabat sehingga bisa ngatur-ngatur. Tapi di sosial, tidak ada. Hanya skill kepemimpinan yang bisa menggerakkan, karena itu jangan mematikan lembaga-lembaga sosial apapun situasinya," terangnya.
Ketiga, lembaga sosial menjadi penyangga atau pelengkap demokrasi. Lembaga sosial yang merupakan masyarakat Sipil merupakan penyeimbang antara korporasi dan negara. Lembaga sosial lahir dari rahim masyarakat.
"Dia menjadi pemberi warna tersendiri, menyuarakan panggilan publik," jelas mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia ini.
Keempat, lembaga sosial punya fleksibilitas bergerak. Dia mencontohkan Palang Merah. Salah satu protokol di dunia kemanusiaan adalah enam jam setelah kejadian bencana, relawan sudah mesti di lapangan.
Hal itu katanya, tidak mungkin dikerjakan pemerintah, karena memerlukan formalitas, tanda tangan basah, serta penyusunan budget. Singkatnya, birokrasi.
"Nah, lembaga semacam ACT atau apapun, bisa bereaksi dengan cepat. Bahkan, boleh dibilang yang paling datang duluan adalah relawan yang ada di sekitar itu," jelas Sudirman.
Karena itu dia meminta pemerintah untuk tidak membubarkan lembaga sosial seperti ACT. Lembaga sosial harus tetap dijaga, agar demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik.
"Di dalam lembaga apapun pasti ada orang baiknya daripada yang punya niat jahat. Nah, yang jahat itu dipinggirkan, yang baik-baik kita jaga," tutur Sudirman.
Dia mengakui, kasus yang menimpa ACT merupakan pukulan keras bagi para donatur. Kejadian ini, bisa mengikis kepercayaan donatur.
"Jika dipolitisir berkepanjangan, hal ini akan mengganggu. Pemerintah mesti cukup bijak, fokus pada penyakitnya saja. Kalau lembaganya hidup, bisa diampu sementara Baznas. Pemerintah juga punya kewajiban memulihkan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga ini," sarannya.
Menurutnya, semakin banyak lembaga yang menyalurkan bantuan, maka semakin baik. Untuk mencegah kejadian seperti ACT terulang, Sudirman berpendapat, yang diperlukan bukan regulator, tapi forum yang tepat. "Kalau ada banyak lembaga, semakin baik.
Biar tidak satu pihak menjadi pengendali utama, tetapi makin banyak institusi yang masuk dalam bidang-bidang seperti ini. Yuk kita jaga etika, profesionalisme pengelola. Masalah kemarin kita anggap sebagai proses pendewasaan," tandas Sudirman.
Hal senada dikatakan Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut, pencabutan izin sebuah filantropi sebagaimana yang dialami ACT karena diduga melakukan penyelewengan dana tidak akan menyelesaikan persoalan.
Menurutnya, penyelesaian masalah harus dilakukan secara struktural dan segera melakukan revisi Undang-Undang (UU). Dia mendorong pemerintah dan DPR RI segera merevisi UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang guna mencegah penyelewengan.
"Beberapa kawan dan saya sendiri telah mendorong adanya perubahan Undang-Undang tentang Pengumpulan Uang atau Barang ini," tuturnya.
Tetapi, dorongan revisi undang-undang tersebut selalu terkendala di DPR RI dengan alasan politik yang tidak jelas. "Mudah-mudahan ini menjadi momentum bagus untuk merevisi undang-undang tersebut," harap Bivitri.
Tak hanya revisi UU, Bivitri menilai aturan turunan dari undang-undang itu, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 harus diperbarui. Dorongan tersebut sejalan dengan kasus yang terjadi pada Aksi Cepat Tanggap (ACT), salah satu filantropi yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan.
Ia membandingkan keberadaan UU tentang Pengumpulan Uang atau Barang dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang bisa dikatakan cukup jauh tertinggal.
"Makanya cara berpikir pengelolaan zakat lebih modern, rapi, dan lebih akuntabel," tuturnya.
Menurutnya, pemberian izin dan pendaftaran kepada suatu pihak untuk mengelola dana kepentingan masyarakat banyak, seperti filantropi tidak cukup hanya sebatas pemberian izin. Jauh dari itu, pengawasan dan akuntabilitas harus tetap diawasi agar tidak terjadi penyelewengan dana.
Sementara, dalam UU tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang diterbitkan pada tahun 1960 tersebut belum mengangkat aspek akuntabilitas.
Dari pihak Perhimpunan Filantropi Indonesia mengingatkan para pegiat atau pelaku filantropi di Tanah Air, pentingnya menjaga kepercayaan masyarakat yang mengumpulkan dana kemanusiaan.
"Kepercayaan dan dukungan masyarakat dapat tergerus atau turun akibat perilaku tidak etis dari pegiat filantropi," tegas Ketua Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia Rizal Algamar.
Beberapa waktu lalu, kata dia, Perhimpunan Filantropi Indonesia baru saja meluncurkan kode etik filantropi yang dikembangkan dengan beberapa tujuan.
Pertama, meningkatkan kualitas organisasi filantropi. Baik yang dilakukan kelompok, individu, komunitas atau lembaga filantropi. Kedua, agar dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi dan melindungi masyarakat dari praktik-praktik penyalahgunaan filantropi.
"Hal tersebut penting dilakukan mengingat pesatnya perkembangan filantropi di Tanah Air," ujarnya.
Menurutnya, ini merupakan respons cepat atas masalah yang sedang terjadi di filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang diduga terjadi penyelewengan dana.
"Salah satu pelajaran yang bisa diambil dari kasus ACT ialah melakukan internalisasi kode etik filantropi Indonesia," ungkapnya.
Deputi Baznas, Arifin Purwakananta menilai, bahwa kedermawanan masyarakat Indonesia tidak akan pernah surut dan sudah dibuktikan bahwa memang Indonesia yang terbaik dalam kedermawanan.
"Bahkan disaat sulit seperti pandemi pun justru sumbangan masyarakat meningkat," kata Arifin.
(maf)