Mengakselerasi Birokrasi dan Pelayanan Publik

Kamis, 30 Juni 2022 - 11:23 WIB
loading...
A A A
Kedua, pada level kabupaten maupun sebagian kota dan provinsi, raut masalahnya bersegi tiga: rendahnya kinerja, timpangnya capaian, memburuknya peringkat. Kinerja aneka kantor pelayanan di daerah jauh tertinggal dari kantor-kantor kebijakan di pusat. Jelas terasa, fitur kepemimpinan (leadership) dan tata kelola (governance) belum juga optimal setelah 21 tahun kita berdesentralisasi. Alih-alih, pandemi menghadirkan lingkungan persoalan baru dan tekanan tersendiri atas kapabilitas lokal.

Ketiga, banyak instansi memiliki kelemahan pada standar layanan, transparansi informasi, unit pengaduan dan layanan inklusif. Lemahnya kesadaran diri sebagai kantor layanan, serta belum bergesernya mental-model dari ciri penguasa ke pelayan rakyat dan dilapisi service-culture yang kuat, berimplikasi pada absennya kepatuhan untuk menyusun standar proses, biaya, dan waktu.

Kalaupun pemda memiliki semua elemen tersebut, sumbatan terjadi pada keterbukaan informasi. Padahal, transparansi adalah prasyarat fundamental reformasi pelayanan. Hambatan akses publik, informasi asimetris, dan ruang gelap kekuasaan membuat governansi sebagai eksosistem pembangunan sulit mewujud. Unit-unit layanan masih menggunakan cara manual sebagai kanal utama; lebih sedikit lagi yang berinovasi dan berbasis elektronik.
Transformasi digital sebatas soal ketersediaan platform, citra pajangan dan latah saja meniru daerah-daerah lain.

Keempat, dari berbagai sektor yang dijadikan objek penilaian, umumnya masalah paling banyak terjadi di sektor pendidikan dan kesehatan. Beban layanan meningkat ekstrem, sementara langgam tata kelola dan kesiapan sumber daya tak banyak berubah.

Agenda Perubahan
Pasca-pandemi ke depan, tata kelola sektor publik dan cara pemerintah merespons permintaan layanan dari warga memang tidak bisa lagi sama seperti masa sebelumnya (business as usual). Pada aras sistem, birokrasi mesti bertransformasi menjadi learning organization yang dilapisi aras individual di mana kepala pemerintahan setiap jenjang terus membangun diri sebagai pemimpin perubahan. Hasil penilaian ombudsman di atas menjadi barometer guna melihat ruang-ruang perbaikan (room for improvement) secara makro-eksosistem maupun mikro-institusional.

Pertama, mental-model berupa silo mentality dan budaya kerja berorientasi kuasa (power culture) terlebih dulu berubah menjadi pelayan rakyat (service cuture) dalam ekosistem pemerintahan terbuka (open government). Perubahan piranti lunak (software) ini jadi prasyarat menggeser paradigma layanan publik agar sunggguh berbasis permintaan/kebutuhan warga, bukan lagi terus didominasi kepentingan birokrasi (bureaucracy driven). Pada tingkat teknis, keterbukaan ekosistem jadi kunci bagi transformasi digital dan menghadirkan cara baru berpemerintahan yang akuntabel dan accessible.

Kedua, perbaikan layanan sebagai output di hilir (service-delivery) mensyaratkan beresnya dapur birokrasi sebagai pemasok input dan pelaksana proses (service manufacturing). Tertuang dalam RPJMN 2020-2024, Presiden Joko Widodo telah menempatkan transformasi pelayanan publik sebagai satu dari tujuh Prioritas Nasional (PN). Terjemahan di level daerah mesti terlihat pada strategi fokus perencanaan (RKPD), penganggaran (APBD) hingga program/kegiatan. Resonansi teknokratik yang lemah membuat pelayanan publik tidak menjadi prioritas atau hanya menjadi output sampingan dari aktivitas rutin pemerintahan.

Ketiga, berkaca dari capaian berbagai instansi yang berkepatuhan tinggi di atas, terlihat besarnya kontribusi dari fitur kepemimpinan progresif, birokrasi inovatif, serta masyarakat aktif-kolaboratif.

Standar pelayanan sejatinya adalah soal sistem sehingga fondasi institusional dan koalisi perubahan diperlukan. Determinasi figur pemimpin jelas perlu sebagai syarat awal. Namun, agar melembaga sebagai reformasi berkelanjutan, fitur kepemimpinan mesti bertransformasi menjadi kekuatan sistem (birokrasi) dan berbasis luas (jejaring perubahan). Berpadunya komitmen politik dan desain teknokratis menjadi kerangka kerja bagi hadirnya perubahan lebih mendasar ke depan.

Keempat, pengawasan atas malaadministrasi, inefisiensi, dan korupsi diperkuat. Strategi mengikis tritunggal patologi birokrasi tersebut adalah meletakkan pengawasan sebagai inti dari upaya pencegahan. Secara teknokratik, pengawasan mesti didesain sebagai instrumen akuntabilitas publik dan umpan balik perbaikan, menjadi alat kerja proteksi dan promosi tata kelola ke depan. Ukuran sukses tidak terletak pada kontrol dan sanksi, tapi adanya efek jera dan koreksi agar lebih akuntabel mengurus rakyat. Di sini wajib diperkuat pranata inspektorat (kedudukan, kewenangan, daya eksekusi dan dukungan sumber daya) serta keterbukaan bagi pengawasan eksternal dari lembaga negara (Ombudsman RI) maupun masyarakat.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1897 seconds (0.1#10.140)