Pesta Demokrasi Usai, What Next?

Senin, 02 Desember 2024 - 06:17 WIB
loading...
Pesta Demokrasi Usai,...
Staf Khusus Menteri Keuangan RI, Candra Fajri Ananda. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

PILKADA Serentak 2024 telah menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia, tidak hanya karena skala pelaksanaannya yang masif, tetapi juga karena besarnya anggaran yang terlibat. Berdasarkan data Kementerian Keuangan RI, total anggaran yang disiapkan untuk Pilkada Serentak 2024 mencapai Rp37,52 triliun, yang seluruhnya bersumber dari anggaran pemerintah. Anggaran tersebut dialokasikan untuk mendukung berbagai aspek penyelenggaraan Pilkada, termasuk operasional Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Biaya yang harus disediakan oleh APBD untuk pelaksanaan Pilkada bervariasi di setiap wilayah, dengan kisaran antara Rp30 miliar hingga Rp100 miliar. Selain itu, para calon kepala daerah pun menghadapi pengeluaran yang signifikan. Meskipun tidak ada data resmi yang merinci besaran biaya kampanye per calon, diperkirakan setiap calon mengeluarkan antara Rp10 miliar hingga Rp30 miliar untuk keperluan kampanye dan operasional lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa betapa tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam proses demokrasi.

Lantas, besarnya biaya yang terlibat dalam Pilkada menimbulkan pertanyaan terkait efektivitas dan efisiensi proses demokrasi tersebut. Anggaran yang besar seharusnya sebanding dengan kualitas pemimpin yang dihasilkan. Proses pemilihan yang demokratis dan berkualitas menjadi krusial untuk memastikan terpilihnya pemimpin yang kompeten dan berintegritas. Demi mencapai tujuan tersebut, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat.

Pemerintah perlu memastikan regulasi yang ketat untuk mencegah praktik politik uang dan korupsi. Penyelenggara pemilu harus menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan Pilkada. Partai politik diharapkan mengusung calon-calon yang berkualitas dan berkomitmen pada kepentingan rakyat. Sementara itu, masyarakat sebagai pemilih harus cerdas dan kritis dalam menentukan pilihannya. Artinya, biaya dapat dianggap sebagai investasi untuk masa depan daerah dan negara meskipun biaya demokrasi dalam Pilkada cukup tinggi. Pasalnya, investasi tersebut hanya akan memberikan hasil yang optimal jika proses Pilkada berjalan dengan jujur, adil, dan transparan, serta menghasilkan pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi daerahnya.

Tantangan Korupsi dalam Pembangunan

Tatkala menghadapi ketidakpastian politik dan ekonomi global yang semakin meningkat, penguatan ekonomi domestik menjadi prioritas utama bagi Indonesia. Kini, tekanan fiskal yang dihadapi pemerintah pun semakin kuat akibat penerimaan negara yang tertekan oleh fluktuasi ekonomi global. Kondisi tersebut menuntut kebijakan fiskal yang lebih efektif dan efisien untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Presiden Prabowo Subianto, yang dilantik pada 20 Oktober 2024, pun menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi tanpa kompromi. Dalam pidato perdananya, Beliau menyatakan bahwa korupsi membahayakan negara dan masa depan generasi mendatang. Artinya, komitmen tersebut menjadi landasan dalam upaya memperkuat integritas pemerintahan dan memastikan anggaran negara digunakan secara optimal untuk pembangunan.

Salah satu perhatian utama adalah besarnya biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan Pilkada. Total biaya yang besar tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi terjadinya praktik korupsi, di mana para calon berusaha mengembalikan modal kampanye melalui anggaran daerah setelah terpilih. Data terbaru menunjukkan bahwa praktik korupsi di pemerintah daerah Indonesia mengalami peningkatan signifikan.

Sepanjang tahun 2023, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 791 kasus korupsi dengan 1.695 tersangka, meningkat dari 579 kasus dan 1.396 tersangka pada tahun 2022. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga melaporkan bahwa hingga September 2023, terdapat 1.462 perkara korupsi di daerah, dengan mayoritas kasus berupa suap dan gratifikasi sebanyak 958 kasus. Kasus-kasus ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga menghambat pembangunan dan pelayanan publik di tingkat daerah.

Praktik korupsi di pemerintah daerah memberikan dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek pembangunan dan pelayanan publik. Korupsi mutlak menyebabkan kebocoran anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk program pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, kualitas layanan publik menurun serta kebutuhan dasar masyarakat, terutama di daerah terpencil, sering kali tidak terpenuhi. Selain itu, korupsi juga menciptakan ketimpangan dalam distribusi sumber daya, memperparah ketidakadilan sosial, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi daerah. Di sisi lain, maraknya korupsi di tingkat daerah juga mencederai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Ketidakpercayaan ini dapat memicu apatisme politik, di mana masyarakat kehilangan minat untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi, termasuk Pilkada. Hal ini berdampak pada legitimasi para pemimpin yang terpilih dan menciptakan siklus ketidakmampuan pemerintahan untuk memenuhi harapan rakyat. Korupsi juga memberikan sinyal negatif kepada investor, mengurangi daya tarik daerah sebagai tujuan investasi, yang pada akhirnya menghambat potensi peningkatan lapangan kerja dan pendapatan daerah.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1236 seconds (0.1#10.140)