Pandemi Corona, IDAI Sebut Kematian Anak Indonesia Paling Banyak di Asia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengungkap betapa rentannya anak-anak Indonesia di masa pandemi virus Corona (Covid-19) . Bahkan, berdasarkan data yang dikumpulkan IDAI, ada 240 anak yang meninggal di masa pandemi ini.
(Baca juga: Angka Covid-19 Terus Meningkat Akibat Salah Memaknai New Normal)
Angka tersebut termasuk yang paling banyak di Asia atau mungkin di dunia. Anak-anak tersebut seringkali terlambat dirujuk ke rumah sakit (RS) dan masa perawatannya pun rata-rata tidak sampai 72 jam dan ada yang kurang dari 24 jam hingga akhirnya meninggal.
"Memang kalau kita lihat kasusnya ini masih meningkat. Tentulah tadi saya lihat media asing mengatakan mereka concern masalah anak," kata Ketua PP IDAI, dr. Aman Pulungan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi X DPR terkait kesiapan pembukaan sekolah di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (25/6/2020).
(Baca juga: Program Ketahanan Pangan Di 10 Kabupaten ini Jangan Sampai Kendor)
Saya pernah juga diwawancara dan saya nyatakan masalahnya adalah ketidakmerataan, inequality data dan pelayanan. Kita tidak bisa lihat pelayanan di Jakarta tapi gimana di provinsi lain,” kata Ketua PP IDAI, dr. Aman Pulungan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi X DPR terkait kesiapan pembukaan sekolah di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (25/6/2020).
Aman memaparkan, soal akses swab test yang tidak merata di sejumlah daerah. Misalnya, ada suatu provinsi yang memiliki 1.000 sampel yang masih menunggu untuk diperiksa, provinsi lain juga harus menunggu beberapa hari atau bahkan menunggu pesawat baru bisa diperiksa sampelnya.
Menurutnya, IDAI pun mencoba mengumpulkan data secara lebih terstruktur sejak Maret lalu sampai 22 Juni dari teman-teman dokter anak yang merawat, ada sekitar 204 anak yang meninggal dari kategori PDP (pasien dalam pengawasan) dan 36 anak dari yang terkonfirmasi positif.
Meskipun data itu masih lebih sedikit ketimbang data yang dikumpulkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Angka itu termasuk yang paling tinggi di Asia.
"Jadi kalau kami lihat, yang meninggal baik PDP maupun confirmed ini 200-an makanya, kami bisa katakan untuk saat ini yang meninggal anak kita paling banyak di Asia bahkan mungkin di dunia saat ini untuk masa pandemi COVID-19. Direct atau indirect (langsung ataupun tidak langsung)," terangnya.
Menurut Presiden Asosiasi Dokter Anak Asia-Pasifik (Asia Pacific Pediatric Association) itu, data ini cukup menyedihkan karena yang banyak meninggal adalah anak usia di bawah 1-5 tahun. Dalam artian, mereka anak-anak yang belum sempat merayakan ulang tahun pertama dan kelima.
Sementera angka kelahiran di Indonesia saat ini hampir 5 juta per tahun, dan sampai pertengahan tahun ini sudah ada 1 juta anak yang lahir di masa pandemi. "Kalau ini sampai akhir tahun, tentulah ada 3 juta-an anak yang akan lahir dan ini harus kita lindungi mereka lahir di masa pandemi. Di media, ada salah satu provinsi, ibu bapaknya negatif, bayinya ternyata positif dan meninggal," ujar Aman.
Karena itu dia menilai, hal ini terjadi bukan karena perlindungan anak yang kurang tetapi, kesadaran bahwa anak-anak ini bisa sakit dan meninggal yang kurang. Dan ini merupakan pandangan IDAI sebagai ahli, bukan untuk maksud menakut-nakuti.
"Mohon maaf bukan ingin menakuti tapi karena kami ahli kami boleh dong bicara pandangan kami," ucapnya.
Aman menjelaskan, kasus kematian di bawah usia 5 tahun itu memang terjadi di seluruh dunia. Dan jumlah anak di Indonesia jika ditotalkan dengan anak usia remaja ada 90 juta, dan jumlah keseluruhan anak yang sekolah ada 60 juta.
Sebelum pandemi Corona, angka kematian bayi dan balita di Indonesia memang tidak sebanyak di India dan Pakistan tetapi saat pandemi, justru anak Indonesia yang lebih banyak meninggal dunia, bahkan jika dibandingkan dengan Vietnam.
"Penyebab terbanyak kita adalah diare dan pneumonia. Ini penyebab kematian nomor 1 dan 2 yang setiap tahun tetap sama. Stunting dan malnutrisi juga, tapi yang kurang gizi sekitar 18-19 persen," ungkapnya.
Menurut Aman, jika kombinasi antara diare, pneumonia ditambah stunting dan malnutrisi ini terjadi maka, mereka lebih rentan terinfeksi Covid-19 karena tentu daya tahan tubuh mereka tidak baik. Dan kalau terlambat penanganannya, mereka akan meninggal.
"Kami dapat laporan dari temen-temen di seluruh cabang IDAI, kita tidak dapat kesempatan lama rawat anak-anak ini, ada yang tidak sampai 24 jam, 48 jam, tidak sampai 72 jam. Jadi ada keterlambatan untuk mereka dirujuk," sesalnya.
(Baca juga: Angka Covid-19 Terus Meningkat Akibat Salah Memaknai New Normal)
Angka tersebut termasuk yang paling banyak di Asia atau mungkin di dunia. Anak-anak tersebut seringkali terlambat dirujuk ke rumah sakit (RS) dan masa perawatannya pun rata-rata tidak sampai 72 jam dan ada yang kurang dari 24 jam hingga akhirnya meninggal.
"Memang kalau kita lihat kasusnya ini masih meningkat. Tentulah tadi saya lihat media asing mengatakan mereka concern masalah anak," kata Ketua PP IDAI, dr. Aman Pulungan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi X DPR terkait kesiapan pembukaan sekolah di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (25/6/2020).
(Baca juga: Program Ketahanan Pangan Di 10 Kabupaten ini Jangan Sampai Kendor)
Saya pernah juga diwawancara dan saya nyatakan masalahnya adalah ketidakmerataan, inequality data dan pelayanan. Kita tidak bisa lihat pelayanan di Jakarta tapi gimana di provinsi lain,” kata Ketua PP IDAI, dr. Aman Pulungan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi X DPR terkait kesiapan pembukaan sekolah di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (25/6/2020).
Aman memaparkan, soal akses swab test yang tidak merata di sejumlah daerah. Misalnya, ada suatu provinsi yang memiliki 1.000 sampel yang masih menunggu untuk diperiksa, provinsi lain juga harus menunggu beberapa hari atau bahkan menunggu pesawat baru bisa diperiksa sampelnya.
Menurutnya, IDAI pun mencoba mengumpulkan data secara lebih terstruktur sejak Maret lalu sampai 22 Juni dari teman-teman dokter anak yang merawat, ada sekitar 204 anak yang meninggal dari kategori PDP (pasien dalam pengawasan) dan 36 anak dari yang terkonfirmasi positif.
Meskipun data itu masih lebih sedikit ketimbang data yang dikumpulkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Angka itu termasuk yang paling tinggi di Asia.
"Jadi kalau kami lihat, yang meninggal baik PDP maupun confirmed ini 200-an makanya, kami bisa katakan untuk saat ini yang meninggal anak kita paling banyak di Asia bahkan mungkin di dunia saat ini untuk masa pandemi COVID-19. Direct atau indirect (langsung ataupun tidak langsung)," terangnya.
Menurut Presiden Asosiasi Dokter Anak Asia-Pasifik (Asia Pacific Pediatric Association) itu, data ini cukup menyedihkan karena yang banyak meninggal adalah anak usia di bawah 1-5 tahun. Dalam artian, mereka anak-anak yang belum sempat merayakan ulang tahun pertama dan kelima.
Sementera angka kelahiran di Indonesia saat ini hampir 5 juta per tahun, dan sampai pertengahan tahun ini sudah ada 1 juta anak yang lahir di masa pandemi. "Kalau ini sampai akhir tahun, tentulah ada 3 juta-an anak yang akan lahir dan ini harus kita lindungi mereka lahir di masa pandemi. Di media, ada salah satu provinsi, ibu bapaknya negatif, bayinya ternyata positif dan meninggal," ujar Aman.
Karena itu dia menilai, hal ini terjadi bukan karena perlindungan anak yang kurang tetapi, kesadaran bahwa anak-anak ini bisa sakit dan meninggal yang kurang. Dan ini merupakan pandangan IDAI sebagai ahli, bukan untuk maksud menakut-nakuti.
"Mohon maaf bukan ingin menakuti tapi karena kami ahli kami boleh dong bicara pandangan kami," ucapnya.
Aman menjelaskan, kasus kematian di bawah usia 5 tahun itu memang terjadi di seluruh dunia. Dan jumlah anak di Indonesia jika ditotalkan dengan anak usia remaja ada 90 juta, dan jumlah keseluruhan anak yang sekolah ada 60 juta.
Sebelum pandemi Corona, angka kematian bayi dan balita di Indonesia memang tidak sebanyak di India dan Pakistan tetapi saat pandemi, justru anak Indonesia yang lebih banyak meninggal dunia, bahkan jika dibandingkan dengan Vietnam.
"Penyebab terbanyak kita adalah diare dan pneumonia. Ini penyebab kematian nomor 1 dan 2 yang setiap tahun tetap sama. Stunting dan malnutrisi juga, tapi yang kurang gizi sekitar 18-19 persen," ungkapnya.
Menurut Aman, jika kombinasi antara diare, pneumonia ditambah stunting dan malnutrisi ini terjadi maka, mereka lebih rentan terinfeksi Covid-19 karena tentu daya tahan tubuh mereka tidak baik. Dan kalau terlambat penanganannya, mereka akan meninggal.
"Kami dapat laporan dari temen-temen di seluruh cabang IDAI, kita tidak dapat kesempatan lama rawat anak-anak ini, ada yang tidak sampai 24 jam, 48 jam, tidak sampai 72 jam. Jadi ada keterlambatan untuk mereka dirujuk," sesalnya.
(maf)