Menjaga Utang Negara Tetap Prudent dan Produktif
loading...
A
A
A
Wahyu Utomo
Plt Kepala Pusat Kebijakan APBN, Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu
PANDEMI semakin membuka fakta bahwa APBN memiliki peran yang sangat vital dalam perekonomian. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di semua negara. Saat ini, di tengah situasi perekonomian global yang masih serbatidak menentu, APBN masih menjadi salah satu instrumen terpenting untuk menjaga arah pemulihan ekonomi nasional. APBN tidak hanya berperan dalam menstimulasi perekonomian, tapi juga bekerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan peran APBN yang sedemikian penting, wajar apabila pemerintah secara konsisten menjaga APBN agar tetap sehat. Melalui berbagai reformasi fiskal, pemerintah ingin terus berupaya untuk meningkatkan kualitas APBN, baik dari sisi pendapatan, kualitas belanja, dan inovasi pembiayaan. Di tengah upaya reformasi fiskal yang terus dilakukan, berbagai tantangan kembali hadir. Salah satunya adalah masih terbatasnya pendapatan negara untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Untuk itu, pemerintah memilih jalan dengan mencari pembiayaan yang salah satunya bersumber dari utang.
Secara teoritis, utang merupakan suatu hal yang wajar dan umum dalam praktik kebijakan keuangan negara. Menurut IMF, hanya ada satu negara yang terbebas dari utang, yakni Macao SAR. Bahkan, Brunei Darusalam yang selama ini dikenal sebagai salah satu negara paling kaya di dunia, tercatat memiliki utang pemerintah sebesar 3,2% dari PDB. Untuk negara dengan porsi utang terbesar terhadap PDB, Jepang sedang memimpin klasemen sementara, yaitu sebesar 266,2% PDB.
Dalam konteks ini, utang menjadi instrumen fiskal yang mempunyai nilai strategis untuk mengantarkan terwujudnya kesejahteraan. Namun demikian pilihan kebijakan utang juga membawa konsekuensi risiko yang perlu dikendalikan.
Sejalan dengan hal tersebut, maka pengelolaan utang harus senantiasa memenuhi 3 prinsip utama, yaitu utang sesuai kebutuhan, utang sesuai kemampuan membayar, dan utang yang diarahkan untuk kegiatan produktif.
Prinsip pertama adalah utang sesuai kebutuhan. Pemerintah menyadari bahwa tantangan ke depan yang dihadapi untuk meraih kesejahteraan masih membutuhkan upaya yang lebih ekstra (extra effort) sedangkan ruang fiskal yang tersedia belum sepenuhnya memadai. Untuk itu dibutuhkan strategi yang tepat, di mana kita dihadapkan 2 (dua) opsi apakah perlu berhutang sebagai window of opportunity untuk mengejar ketertinggalan atau sebaliknya tidak perlu berhutang, namun kehilangan kesempatan (opportunity loss) untuk mengejar ketertinggalan.
Utang merupakan pilihan kebijakan untuk mengantar rakyat Indonesia dapat hidup sejahtera, tersedianya infrastruktur yang memadai, layanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas dan merata. Jadi disinilah dapat dimaknai bahwa utang itu sesuai kebutuhan untuk menutup financing gap dalam rangka memelihara momentum agar terhindar dari opportunity loss untuk mewujudkan kesejahteraan.
Prinsip kedua adalah utang sesuai kemampuan. Apabila kita mencermati perkembangan pengelolaan fiskal sebelum pandemi, pengelolaan fiskal sangat prudent dan sustainable. Hal ini terefleksi dari penerimaan perpajakan rata-rata tumbuh sebesar 10,2% PDB pada 5 tahun terakhir sebelum pandemi, keseimbangan primer sudah bergerak menuju positif, defisit APBN sebesar 2,3% PDB, dan rasio utang terkendali di level 29,04% PDB.
Berdasarkan perkembangan terkini, outstanding utang pemerintah per Mei 2022 adalah sebesar Rp7.002,2 triliun atau 38,9% PDB, dengan komposisi 71% dalam rupiah dan 29% dalam bentuk valas. Capaian tersebut jauh lebih rendah dari batas maksimal yang ditetapkan di fiscal rule, yaitu rasio utang sebesar 60% PDB. Apabila dibandingkan beberapa negara peers, rasio utang Indonesia juga masih relatif rendah. Kondisi ini menunjukan bahwa utang Indonesia masih solvable dan tidak akan mengganggu kesinambungan fiskal.
Prinsip ketiga adalah utang untuk kegiatan produktif. Berdasarkan konsep golden rule, apabila utang digunakan untuk investasi, maka utang dapat menjadi instrumen untuk mengakselerasi pencapaian target pembangunan. Utang untuk investasi akan mendorong produktivitas utang lebih tinggi dari risikonya, hal ini berarti risiko utang terkendali dan sustainable. Hal ini yang terus dipegang teguh oleh pemerintah. Pada periode 2015-2021 terjadi penambahan utang sebesar Rp4.305,34 triliun, sementara itu pada periode yang sama kebutuhan anggaran produktif (infrastruktur, pendidikan dan kesehatan) mencapai Rp6.382,3 triliun.
Artinya, pemanfaatan utang diarahkan untuk kegiatan produktif (human capital dan physical capital) lebih besar dibanding penambahan utang.
Plt Kepala Pusat Kebijakan APBN, Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu
PANDEMI semakin membuka fakta bahwa APBN memiliki peran yang sangat vital dalam perekonomian. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di semua negara. Saat ini, di tengah situasi perekonomian global yang masih serbatidak menentu, APBN masih menjadi salah satu instrumen terpenting untuk menjaga arah pemulihan ekonomi nasional. APBN tidak hanya berperan dalam menstimulasi perekonomian, tapi juga bekerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan peran APBN yang sedemikian penting, wajar apabila pemerintah secara konsisten menjaga APBN agar tetap sehat. Melalui berbagai reformasi fiskal, pemerintah ingin terus berupaya untuk meningkatkan kualitas APBN, baik dari sisi pendapatan, kualitas belanja, dan inovasi pembiayaan. Di tengah upaya reformasi fiskal yang terus dilakukan, berbagai tantangan kembali hadir. Salah satunya adalah masih terbatasnya pendapatan negara untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Untuk itu, pemerintah memilih jalan dengan mencari pembiayaan yang salah satunya bersumber dari utang.
Secara teoritis, utang merupakan suatu hal yang wajar dan umum dalam praktik kebijakan keuangan negara. Menurut IMF, hanya ada satu negara yang terbebas dari utang, yakni Macao SAR. Bahkan, Brunei Darusalam yang selama ini dikenal sebagai salah satu negara paling kaya di dunia, tercatat memiliki utang pemerintah sebesar 3,2% dari PDB. Untuk negara dengan porsi utang terbesar terhadap PDB, Jepang sedang memimpin klasemen sementara, yaitu sebesar 266,2% PDB.
Dalam konteks ini, utang menjadi instrumen fiskal yang mempunyai nilai strategis untuk mengantarkan terwujudnya kesejahteraan. Namun demikian pilihan kebijakan utang juga membawa konsekuensi risiko yang perlu dikendalikan.
Sejalan dengan hal tersebut, maka pengelolaan utang harus senantiasa memenuhi 3 prinsip utama, yaitu utang sesuai kebutuhan, utang sesuai kemampuan membayar, dan utang yang diarahkan untuk kegiatan produktif.
Prinsip pertama adalah utang sesuai kebutuhan. Pemerintah menyadari bahwa tantangan ke depan yang dihadapi untuk meraih kesejahteraan masih membutuhkan upaya yang lebih ekstra (extra effort) sedangkan ruang fiskal yang tersedia belum sepenuhnya memadai. Untuk itu dibutuhkan strategi yang tepat, di mana kita dihadapkan 2 (dua) opsi apakah perlu berhutang sebagai window of opportunity untuk mengejar ketertinggalan atau sebaliknya tidak perlu berhutang, namun kehilangan kesempatan (opportunity loss) untuk mengejar ketertinggalan.
Utang merupakan pilihan kebijakan untuk mengantar rakyat Indonesia dapat hidup sejahtera, tersedianya infrastruktur yang memadai, layanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas dan merata. Jadi disinilah dapat dimaknai bahwa utang itu sesuai kebutuhan untuk menutup financing gap dalam rangka memelihara momentum agar terhindar dari opportunity loss untuk mewujudkan kesejahteraan.
Prinsip kedua adalah utang sesuai kemampuan. Apabila kita mencermati perkembangan pengelolaan fiskal sebelum pandemi, pengelolaan fiskal sangat prudent dan sustainable. Hal ini terefleksi dari penerimaan perpajakan rata-rata tumbuh sebesar 10,2% PDB pada 5 tahun terakhir sebelum pandemi, keseimbangan primer sudah bergerak menuju positif, defisit APBN sebesar 2,3% PDB, dan rasio utang terkendali di level 29,04% PDB.
Berdasarkan perkembangan terkini, outstanding utang pemerintah per Mei 2022 adalah sebesar Rp7.002,2 triliun atau 38,9% PDB, dengan komposisi 71% dalam rupiah dan 29% dalam bentuk valas. Capaian tersebut jauh lebih rendah dari batas maksimal yang ditetapkan di fiscal rule, yaitu rasio utang sebesar 60% PDB. Apabila dibandingkan beberapa negara peers, rasio utang Indonesia juga masih relatif rendah. Kondisi ini menunjukan bahwa utang Indonesia masih solvable dan tidak akan mengganggu kesinambungan fiskal.
Prinsip ketiga adalah utang untuk kegiatan produktif. Berdasarkan konsep golden rule, apabila utang digunakan untuk investasi, maka utang dapat menjadi instrumen untuk mengakselerasi pencapaian target pembangunan. Utang untuk investasi akan mendorong produktivitas utang lebih tinggi dari risikonya, hal ini berarti risiko utang terkendali dan sustainable. Hal ini yang terus dipegang teguh oleh pemerintah. Pada periode 2015-2021 terjadi penambahan utang sebesar Rp4.305,34 triliun, sementara itu pada periode yang sama kebutuhan anggaran produktif (infrastruktur, pendidikan dan kesehatan) mencapai Rp6.382,3 triliun.
Artinya, pemanfaatan utang diarahkan untuk kegiatan produktif (human capital dan physical capital) lebih besar dibanding penambahan utang.