Menimbang Roadmap Kebijakan Industri Hasil Tembakau

Senin, 13 Juni 2022 - 07:28 WIB
loading...
A A A
Pilar-pilar kebijakan tersebut merupakan acuan yang patut dipertimbangkan secara berimbang dalam memutuskan kebijakan cukai tembakau. Meski tak mudah untuk mengampu berbagai kepentingan, sampai menghasilkan kebijakan yang baik.

Jika diperhatikan, kebijakan kenaikan tarif cukai tembakau masih lebih banyak menitikberatkan pada sisi penerimaan. Realisasi penerimaan cukai, hampir setiap tahunnya selalu tercapai sesuai target yang ditetapkan dalam APBN.

Bahkan, pencapaian tertinggi kontribusi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) berhasil ditorehkan pada 2020 ketika volume produksi IHT turun signifikan hingga minus 10% dan kala itu Indonesia berada dalam jurang resesi ekonomi akibat pandemi. Sementara, kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional mengalami kenaikan hingga 13% terhadap total penerimaan negara.

Bagi konsumen, kenaikan tarif cukai, setidaknya dalam tiga tahun terakhir, berhasil mendorong capaian target angka prevalensi perokok usia dini (10-18 tahun) yang tertulis dalam RPJMN 2019-2024 sebesar 8,7%.

Pada perkembangannya kini, data menunjukkan bahwa presentase penduduk merokok usia dini (10-18 tahun) telah mengalami penurunan signifikan dari 7,2% (2013) menjadi 3,8% (2020) (BPS, 2020). Capaian tersebut merupakan buah dari penantian panjang setelah melewati tren kenaikan signifikan angka prevalensi merokok usia dini sejak 2013 hingga 2018.

Di sisi lain, dari sisi produsen, kenaikan tarif cukai yang terus terjadi di setiap tahun berdampak produksi IHT dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2021), sejak 2014 volume produksi IHT terus mengalami penurunan.

Bahkan, pada tahun 2020, IHT mengalami penurunan volume produksi rokok terbesar dalam delapan tahun terakhir, yakni hingga -10%. Tren penurunan volume produksi tersebut selanjutnya disambut dengan kian banyaknya pabrikan rokok yang gulung tikar.

Data menunjukan bahwa penurunan jumlah pabrikan rokok terus terjadi, di mana pada 2007 jumlah pabrikan rokok mencapai 4.793 unit namun pada 2019 hanya tersisa 767 pabrikan rokok. Dengan kata lain, hanya tinggal kurang dari 16% saja dari jumlah pabrikan rokok di tahun 2007 yang mampu bertahan sampai saat ini.

Meski dari sisi jumlah volume produksi turun, namun justru diikuti oleh berkembangnya peredaran rokok ilegal yang notabene tidak membayar cukai. Ini sejalan dengan sejumlah penelitian yang mengungkapkan bahwa kenaikan tarif cukai dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap peredaran rokok ilegal.

Pemicunya, perokok dengan pendapatan yang lebih rendah cenderung untuk membeli rokok ilegal sebagai kompensasi atas kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai. Kenaikan tarif cukai tembakau yang terus menerus terjadi menyebabkan daya beli masyarakat Indonesia terhadap rokok legal semakin menurun. Sehingga para perokok tersebut akan beralih pada rokok ilegal untuk dapat tetap megkonsumsi rokok dengan harga terjangkau.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2040 seconds (0.1#10.140)