Pembahasan Isu Ketenagakerjaan di RUU Ciptaker Harus Libatkan Publik

Sabtu, 25 April 2020 - 21:48 WIB
loading...
Pembahasan Isu Ketenagakerjaan...
Keputusan menunda klaster ketenagakerjaan dalam Omnibus Law RUU Cipta Keja dinilai sebagai langkah yang tepat dan bijak. Ilistrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Penundaan pembahasan soal ketenagakerjaan dalam Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) diapresiasi banyak pihak.

Langkah itu dinilai akan mengurangi beban psikis buruh sehingga tidak waswas lagi mengenai nasibnya jika rancangan undang-undang (RUU) itu disahkan.

Polemik dan protes serikat pekerja, akademisi, dan masyarakat mengiringi upaya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas Omnibus Law tersebut.

Klaster ketenagakerjaan dinilai memiliki banyak masalah, terutama mengenai pengupahan, nasib pekerja outsourcing dan kontrak.

“Klaster ketenagakerjaan butuh masukan banyak pihak, terutama dari berbagai organisasi buruh, akademisi, pelaku usaha, dan tentunya komunitas masyarakat. Proses menjaring aspirasi ini tidak akan mungkin maksimal di tengah pandemi Covid-19 yang sangat membatasi ruang gerak masyarakat,” tutur anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris, di Jakarta, Sabtu (25/04/2020).

Dia mengungkapkan pembahasan RUU yang dianggap kontroversi itu harus membuka ruang seluas-luasnya bagi publik untuk berpartipasi. Mereka perlu diajak berdiskusi dan mengikuti proses penyusunan dan pembahasan secara transparan.

“Saya rasa strategi ini harus ditembuh pemerintah dan DPR. Keputusan menunda klaster ketenagakerjaan adalah langkah yang tepat dan bijak,” tutur putri politikus senior Partai Golkar Fahmi Idris itu.

Banyak pihak menuntut pemerintah dan DPR agar fokus dulu pada pencegahan dan penanganan Pandemi Covid-19. Segala sumber daya dan elemen masyarakat mesti dikerahkan untuk memutus mata rantai penyebaran virus Sars Cov-II.(Baca juga: Presiden-DPR Tunda Pembahasan Klaster Ketenagakerjaan, Demo Buruh Batal)

Dengan penundaan ini, menurut Fahira, beban pikiran buruh dan aparat pekerja berkurang. Mereka saat ini menghadapi dampak sosial dan ekonomi yang cukup berat. Bahkan, pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perumahan pekerja telah terjadi di industri. Jumlah diperkirakan sudah lebih dari 2 juta orang.

“Masyarakat bisa lebih fokus menjalankan protokol kesehatan Covid-19 tanpa khawatir pasal-pasal klaster ketenagakerjaan yang merugikan dibahas bahkan disahkan,” tuturnya.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2354 seconds (0.1#10.140)