Sengkarut Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah
loading...
A
A
A
Tidak hanya itu, bahkan hingga saat ini, peraturan pelaksanaan dalam rangka peralihan menuju pilkada serentak juga tidak dilakukan panyusunan, sehingga tidak ada aturan rinci yang mengatur penunjukan pelaksana tugas atau pelaksana harian agar aparatur sipil negara dengan jabatan pimpinan tinggi madya bisa fokus bekerja sebagai penjabat kepala daerah. Tidak jelas apa yang menjadi kriteria penjabat kepala daerah.
Selama ini, pemerintah sendiri tidak menjelaskan kepada publik dasar mengapa orang-orang tersebut yang terpilih. Publik sama sekali tidak dilibatkan, bahkan usulannya saja tidak didengar. Hal ini tentu berpotensi membuka ruang gelap dengan mempermudah masuknya politik transaksional dan menimbulkan tanda tanya publik.
Proses yang tidak demokratis ini telah jelas menutup keran masyarakat untuk menyampaikan masukan dan saran sehingga rentan penolakan dari masyarakat dan dapat berdampak buruk pada kemajuan daerah. Padahal, partisipasi publik menjadi jantungnya negara demokrasi.
Jika proses tranparansi ini tidak berjalan hingga 2023, maka jangan berharap terpilih penjabat kepala daerah yang kompeten, berkapasitas, berintegritas serta memahami kondisi geopolitik daerah. Apalagi, tantangan yang akan dihadapi penjabat kepala daerah tidaklah mudah. Dia akan menghadapi kompleksitas pemilu dan pemilihan serentak 2024.
Para penjabat kepala daerah harus benar-benar memprioritaskan pekerjaan di daerah. Mereka juga dituntut untuk dapat membangun komunikasi publik dengan baik dan mengendalikan netralitas ASN menjelang tahun politik.
Kental Kepentingan Politik
Begitu kentalnya kepentingan politik sehingga pengangkatan kepala daerah mengabaikan kepentingan publik. Alih-alih menghindari sikap sewenang-wenang terhadap konstitusi, yang terjadi seolah-olah pengangkatan penjabat kepala daerah menjadi urusan tersendiri pemerintah dan menabrak batas-batas hukum. Hal yang lebih ironi lagi, pemerintah menunjuk perwira TNI/Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah.
Penunjukan Kepala BIN Daerah Sulawesi Tengah, Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin oleh Mendagri sebagai penjabat bupati Seram Bagian Barat, Maluku menjadi salah satu potret nyata betapa sengkarutnya proses pengangkatan penjabat kepala daearah yang mencederai demokrasi karena menentang UU 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Kredibilitas, transparansi dan komitmen pemerintah dipertanyakan. Situasi ini seakan kembali menggaungkan adanya dwifungsi militer yang mencampuri urusan sipil yang sarat banyak kepentingan di dalam serta melahirkan kecurigaan.
Publik tentu tidak boleh tinggal diam tatkala proses pengangkatan penjabat kepala daerah jauh dari akuntabilitas dan meninggalkan kepentingan publik. Masyarakat sipil harus terus menyuarakan keadilan dan proses yang berintegritas. Jika pemerintah masih memiliki will untuk memperbaiki kondisi ini, tidak ada kata terlambat. Jangan pertaruhkan kepentingan rakyat di daerah hanya untuk kepentingan sesaat.
Selama ini, pemerintah sendiri tidak menjelaskan kepada publik dasar mengapa orang-orang tersebut yang terpilih. Publik sama sekali tidak dilibatkan, bahkan usulannya saja tidak didengar. Hal ini tentu berpotensi membuka ruang gelap dengan mempermudah masuknya politik transaksional dan menimbulkan tanda tanya publik.
Proses yang tidak demokratis ini telah jelas menutup keran masyarakat untuk menyampaikan masukan dan saran sehingga rentan penolakan dari masyarakat dan dapat berdampak buruk pada kemajuan daerah. Padahal, partisipasi publik menjadi jantungnya negara demokrasi.
Jika proses tranparansi ini tidak berjalan hingga 2023, maka jangan berharap terpilih penjabat kepala daerah yang kompeten, berkapasitas, berintegritas serta memahami kondisi geopolitik daerah. Apalagi, tantangan yang akan dihadapi penjabat kepala daerah tidaklah mudah. Dia akan menghadapi kompleksitas pemilu dan pemilihan serentak 2024.
Para penjabat kepala daerah harus benar-benar memprioritaskan pekerjaan di daerah. Mereka juga dituntut untuk dapat membangun komunikasi publik dengan baik dan mengendalikan netralitas ASN menjelang tahun politik.
Kental Kepentingan Politik
Begitu kentalnya kepentingan politik sehingga pengangkatan kepala daerah mengabaikan kepentingan publik. Alih-alih menghindari sikap sewenang-wenang terhadap konstitusi, yang terjadi seolah-olah pengangkatan penjabat kepala daerah menjadi urusan tersendiri pemerintah dan menabrak batas-batas hukum. Hal yang lebih ironi lagi, pemerintah menunjuk perwira TNI/Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah.
Penunjukan Kepala BIN Daerah Sulawesi Tengah, Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin oleh Mendagri sebagai penjabat bupati Seram Bagian Barat, Maluku menjadi salah satu potret nyata betapa sengkarutnya proses pengangkatan penjabat kepala daearah yang mencederai demokrasi karena menentang UU 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Kredibilitas, transparansi dan komitmen pemerintah dipertanyakan. Situasi ini seakan kembali menggaungkan adanya dwifungsi militer yang mencampuri urusan sipil yang sarat banyak kepentingan di dalam serta melahirkan kecurigaan.
Publik tentu tidak boleh tinggal diam tatkala proses pengangkatan penjabat kepala daerah jauh dari akuntabilitas dan meninggalkan kepentingan publik. Masyarakat sipil harus terus menyuarakan keadilan dan proses yang berintegritas. Jika pemerintah masih memiliki will untuk memperbaiki kondisi ini, tidak ada kata terlambat. Jangan pertaruhkan kepentingan rakyat di daerah hanya untuk kepentingan sesaat.
(bmm)