Sengkarut Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah
loading...
A
A
A
Neni Nur Hayati
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia
MENGACU pada regulasi yang tidak berubah, hasil rapat kerja dan dengar pendapat antara pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) serentak nasional akan digelar pada 27 November 2024. Sementara itu, terdapat 271 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2022 dan 2023.
Sebagai jalan keluarnya, Pasal 201 ayat 9 UU Nomor 10 Tahun 2016 mengamanatkan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2022 dan 2023, diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, penjabat wali kota sampai dengan terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui pilkada nasional 2024. Masa jabatan penjabat kepala daerah adalah 1 tahun dan dapat diperpanjang 1 tahun berikutnya dengan orang yang sama ataupun berbeda. Ini artinya, durasi yang cukup lama penjabat memegang jabatan kekosongan kepala daerah. Bahkan bisa lebih dari dua tahun.
Tidak pernah terjadi sepanjang sejarah dalam pemerintahan Indonesia, seorang penjabat kepala daearah memiliki masa tugas yang durasinya sangat panjang. Hal ini tentu menjadi anomali dalam demokrasi, sebab kepala daerah harus dipilih secara demokratis sebagaimana dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa gubernur, bupati dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Diskursus pengangkatan penjabat kepala daerah ini menuai polemik di kalangan masyarakat, meskipun para penjabat tersebut memiliki wewenang yang hampir sama dengan kepala daerah definitif tetapi terbatas dan tidak mendapatkan legitimasi rakyat sehingga dikhawatirkan akan menganggu sirkulasi pemerintahan daerah dan penyelenggaraan pemerintah yang otonom.
Dalam PP Nomor 49/2008 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, kewenangan penjabat tidak dapat melakukan mutasi pegawai, membuat kebijakan pemekaran daerah , membatalkan perizinan yang sebelumnya telah dikeluarkan sampai dengan membuat kebijakan yang bertentangan dengan penyelenggaraan pemerintahan, dan program pembangunan pemerintah sebelumnya.kewenangan penjabat.
Merujuk UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada, penjabat kepala daerah diangkat dari aparatur sipil negara (ASN) yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya untuk pejabat gubernur dan JPT pratama mengisi kekosongan bupati/wali kota. Untuk periode pertama, total terdapat 48 kepala daerah akan meletakkan jabatannya. Lima penjabat gubernur telah dilantik oleh Menteri Dalam Negeri pada Kamis (12/5/2022) karena masa jabatan kepala daerahnya habis. Provinsi tersebut adalah Banten, Kepulauan Bangka Belitung, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Papua Barat. Menyusul 43 bupati atau wali kota.
Dua bulan setelahnya pada Juli 2022 ada 10 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya. Selanjutnya, terjadi pada Oktober 2022 untuk Provinsi DKI Jakarta. Di bulan yang sama, 10 kepala daerah tingkat dua mengakhiri masa baktinya. Memasuki November, tiga kepala daerah tingkat dua dan 13 kepala daerah pada Desember yang selesai periodisasi masa jabatan kepemimpinannya.
Minim Partisipasi Publik
Sayangnya, pengangkatan penjabat kepala daerah tersebut menuai polemik karena dinilai tidak transparan, akuntabel dan minimnya partisipasi publik. Amanat Mahkamah Konstutusi dalam putusannya No.67/PUU/XIX/2021, No.15/PUU-XX/2022, No. 18/PUU-XX/2022 menyatakan bahwa proses pengisian jabatan itu harus masih dipilih secara demokratis, transparan, dan akuntabel.
Tetapi faktanya, masukan MK tersebut diabaikan. Sangat disayangkan tatkala pemerintah tidak menghormati konstitusi yang telah ditetapkan. Ini tentu menjadi sebuah pengkhianatan terhadap demokrasi.
Tidak hanya itu, bahkan hingga saat ini, peraturan pelaksanaan dalam rangka peralihan menuju pilkada serentak juga tidak dilakukan panyusunan, sehingga tidak ada aturan rinci yang mengatur penunjukan pelaksana tugas atau pelaksana harian agar aparatur sipil negara dengan jabatan pimpinan tinggi madya bisa fokus bekerja sebagai penjabat kepala daerah. Tidak jelas apa yang menjadi kriteria penjabat kepala daerah.
Selama ini, pemerintah sendiri tidak menjelaskan kepada publik dasar mengapa orang-orang tersebut yang terpilih. Publik sama sekali tidak dilibatkan, bahkan usulannya saja tidak didengar. Hal ini tentu berpotensi membuka ruang gelap dengan mempermudah masuknya politik transaksional dan menimbulkan tanda tanya publik.
Proses yang tidak demokratis ini telah jelas menutup keran masyarakat untuk menyampaikan masukan dan saran sehingga rentan penolakan dari masyarakat dan dapat berdampak buruk pada kemajuan daerah. Padahal, partisipasi publik menjadi jantungnya negara demokrasi.
Jika proses tranparansi ini tidak berjalan hingga 2023, maka jangan berharap terpilih penjabat kepala daerah yang kompeten, berkapasitas, berintegritas serta memahami kondisi geopolitik daerah. Apalagi, tantangan yang akan dihadapi penjabat kepala daerah tidaklah mudah. Dia akan menghadapi kompleksitas pemilu dan pemilihan serentak 2024.
Para penjabat kepala daerah harus benar-benar memprioritaskan pekerjaan di daerah. Mereka juga dituntut untuk dapat membangun komunikasi publik dengan baik dan mengendalikan netralitas ASN menjelang tahun politik.
Kental Kepentingan Politik
Begitu kentalnya kepentingan politik sehingga pengangkatan kepala daerah mengabaikan kepentingan publik. Alih-alih menghindari sikap sewenang-wenang terhadap konstitusi, yang terjadi seolah-olah pengangkatan penjabat kepala daerah menjadi urusan tersendiri pemerintah dan menabrak batas-batas hukum. Hal yang lebih ironi lagi, pemerintah menunjuk perwira TNI/Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah.
Penunjukan Kepala BIN Daerah Sulawesi Tengah, Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin oleh Mendagri sebagai penjabat bupati Seram Bagian Barat, Maluku menjadi salah satu potret nyata betapa sengkarutnya proses pengangkatan penjabat kepala daearah yang mencederai demokrasi karena menentang UU 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Kredibilitas, transparansi dan komitmen pemerintah dipertanyakan. Situasi ini seakan kembali menggaungkan adanya dwifungsi militer yang mencampuri urusan sipil yang sarat banyak kepentingan di dalam serta melahirkan kecurigaan.
Publik tentu tidak boleh tinggal diam tatkala proses pengangkatan penjabat kepala daerah jauh dari akuntabilitas dan meninggalkan kepentingan publik. Masyarakat sipil harus terus menyuarakan keadilan dan proses yang berintegritas. Jika pemerintah masih memiliki will untuk memperbaiki kondisi ini, tidak ada kata terlambat. Jangan pertaruhkan kepentingan rakyat di daerah hanya untuk kepentingan sesaat.
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia
MENGACU pada regulasi yang tidak berubah, hasil rapat kerja dan dengar pendapat antara pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) serentak nasional akan digelar pada 27 November 2024. Sementara itu, terdapat 271 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2022 dan 2023.
Sebagai jalan keluarnya, Pasal 201 ayat 9 UU Nomor 10 Tahun 2016 mengamanatkan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2022 dan 2023, diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, penjabat wali kota sampai dengan terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui pilkada nasional 2024. Masa jabatan penjabat kepala daerah adalah 1 tahun dan dapat diperpanjang 1 tahun berikutnya dengan orang yang sama ataupun berbeda. Ini artinya, durasi yang cukup lama penjabat memegang jabatan kekosongan kepala daerah. Bahkan bisa lebih dari dua tahun.
Tidak pernah terjadi sepanjang sejarah dalam pemerintahan Indonesia, seorang penjabat kepala daearah memiliki masa tugas yang durasinya sangat panjang. Hal ini tentu menjadi anomali dalam demokrasi, sebab kepala daerah harus dipilih secara demokratis sebagaimana dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa gubernur, bupati dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Diskursus pengangkatan penjabat kepala daerah ini menuai polemik di kalangan masyarakat, meskipun para penjabat tersebut memiliki wewenang yang hampir sama dengan kepala daerah definitif tetapi terbatas dan tidak mendapatkan legitimasi rakyat sehingga dikhawatirkan akan menganggu sirkulasi pemerintahan daerah dan penyelenggaraan pemerintah yang otonom.
Dalam PP Nomor 49/2008 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, kewenangan penjabat tidak dapat melakukan mutasi pegawai, membuat kebijakan pemekaran daerah , membatalkan perizinan yang sebelumnya telah dikeluarkan sampai dengan membuat kebijakan yang bertentangan dengan penyelenggaraan pemerintahan, dan program pembangunan pemerintah sebelumnya.kewenangan penjabat.
Merujuk UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada, penjabat kepala daerah diangkat dari aparatur sipil negara (ASN) yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya untuk pejabat gubernur dan JPT pratama mengisi kekosongan bupati/wali kota. Untuk periode pertama, total terdapat 48 kepala daerah akan meletakkan jabatannya. Lima penjabat gubernur telah dilantik oleh Menteri Dalam Negeri pada Kamis (12/5/2022) karena masa jabatan kepala daerahnya habis. Provinsi tersebut adalah Banten, Kepulauan Bangka Belitung, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Papua Barat. Menyusul 43 bupati atau wali kota.
Dua bulan setelahnya pada Juli 2022 ada 10 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya. Selanjutnya, terjadi pada Oktober 2022 untuk Provinsi DKI Jakarta. Di bulan yang sama, 10 kepala daerah tingkat dua mengakhiri masa baktinya. Memasuki November, tiga kepala daerah tingkat dua dan 13 kepala daerah pada Desember yang selesai periodisasi masa jabatan kepemimpinannya.
Minim Partisipasi Publik
Sayangnya, pengangkatan penjabat kepala daerah tersebut menuai polemik karena dinilai tidak transparan, akuntabel dan minimnya partisipasi publik. Amanat Mahkamah Konstutusi dalam putusannya No.67/PUU/XIX/2021, No.15/PUU-XX/2022, No. 18/PUU-XX/2022 menyatakan bahwa proses pengisian jabatan itu harus masih dipilih secara demokratis, transparan, dan akuntabel.
Tetapi faktanya, masukan MK tersebut diabaikan. Sangat disayangkan tatkala pemerintah tidak menghormati konstitusi yang telah ditetapkan. Ini tentu menjadi sebuah pengkhianatan terhadap demokrasi.
Tidak hanya itu, bahkan hingga saat ini, peraturan pelaksanaan dalam rangka peralihan menuju pilkada serentak juga tidak dilakukan panyusunan, sehingga tidak ada aturan rinci yang mengatur penunjukan pelaksana tugas atau pelaksana harian agar aparatur sipil negara dengan jabatan pimpinan tinggi madya bisa fokus bekerja sebagai penjabat kepala daerah. Tidak jelas apa yang menjadi kriteria penjabat kepala daerah.
Selama ini, pemerintah sendiri tidak menjelaskan kepada publik dasar mengapa orang-orang tersebut yang terpilih. Publik sama sekali tidak dilibatkan, bahkan usulannya saja tidak didengar. Hal ini tentu berpotensi membuka ruang gelap dengan mempermudah masuknya politik transaksional dan menimbulkan tanda tanya publik.
Proses yang tidak demokratis ini telah jelas menutup keran masyarakat untuk menyampaikan masukan dan saran sehingga rentan penolakan dari masyarakat dan dapat berdampak buruk pada kemajuan daerah. Padahal, partisipasi publik menjadi jantungnya negara demokrasi.
Jika proses tranparansi ini tidak berjalan hingga 2023, maka jangan berharap terpilih penjabat kepala daerah yang kompeten, berkapasitas, berintegritas serta memahami kondisi geopolitik daerah. Apalagi, tantangan yang akan dihadapi penjabat kepala daerah tidaklah mudah. Dia akan menghadapi kompleksitas pemilu dan pemilihan serentak 2024.
Para penjabat kepala daerah harus benar-benar memprioritaskan pekerjaan di daerah. Mereka juga dituntut untuk dapat membangun komunikasi publik dengan baik dan mengendalikan netralitas ASN menjelang tahun politik.
Kental Kepentingan Politik
Begitu kentalnya kepentingan politik sehingga pengangkatan kepala daerah mengabaikan kepentingan publik. Alih-alih menghindari sikap sewenang-wenang terhadap konstitusi, yang terjadi seolah-olah pengangkatan penjabat kepala daerah menjadi urusan tersendiri pemerintah dan menabrak batas-batas hukum. Hal yang lebih ironi lagi, pemerintah menunjuk perwira TNI/Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah.
Penunjukan Kepala BIN Daerah Sulawesi Tengah, Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin oleh Mendagri sebagai penjabat bupati Seram Bagian Barat, Maluku menjadi salah satu potret nyata betapa sengkarutnya proses pengangkatan penjabat kepala daearah yang mencederai demokrasi karena menentang UU 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Kredibilitas, transparansi dan komitmen pemerintah dipertanyakan. Situasi ini seakan kembali menggaungkan adanya dwifungsi militer yang mencampuri urusan sipil yang sarat banyak kepentingan di dalam serta melahirkan kecurigaan.
Publik tentu tidak boleh tinggal diam tatkala proses pengangkatan penjabat kepala daerah jauh dari akuntabilitas dan meninggalkan kepentingan publik. Masyarakat sipil harus terus menyuarakan keadilan dan proses yang berintegritas. Jika pemerintah masih memiliki will untuk memperbaiki kondisi ini, tidak ada kata terlambat. Jangan pertaruhkan kepentingan rakyat di daerah hanya untuk kepentingan sesaat.
(bmm)