Melindungi Perempuan, Memberi Pendidikan

Jum'at, 22 April 2022 - 16:25 WIB
loading...
A A A
Satuan Pendidikan
Sekolah, pesantren, atau kampus merupakan tempat manusia dididik dan dilatih untuk menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berkarakter, cerdas, dan terampil sehingga menjadi manusia mandiri dan merdeka. Namun sayang, di satuan pendidikan justru perempuan menjadi korban pelecehan seksual. Ironis, satuan pendidikan tempat pengembangan karakter pelajar justru menjadi tempat yang rentan dan berbahaya bagi perempuan. Aneka kasus pelecehan seksual menunjukkan lemahnya posisi perempuan di hadapan laki-laki dewasa.

Komnas Perempuan mencatat bahwa selama periode 2017-2021 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi, yakni 35 kasus. Diikuti pesantren dengan 16 kasus, dan sekolah menengah atas (SMA) 15 kasus.

Di sisi lain, tidak mudah bagi perempuan berkeluarga untuk menyelesaikan studi sarjana atau pascasarjana mereka. Penyelesaian studi mereka kerap terhalang oleh tugas-tugas domestik seperti mengurus rumah, mengurus anak, melayani suami, atau bekerja. Beban mereka akan semakin berat jika menjadi tulang punggung keluarga.

Anang Susetya (2021: 37) dalam buku Kartini Citra Perempuan Indonesia Modern menulis, masih banyak kaum perempuan Indonesia yang merasa bahagia berada dalam posisi berkorban atau mempunyai peran ganda tanpa mempersoalkan apakah pengorbanannya memperlemah atau memperkuat ketidakadilan. Situasi semacam ini jelas mempersulit kaum perempuan menemukan jati dirinya dan sulit berkembang sebagai pribadi. Dengan demikian kaum perempuan Indonesia sulit mengembangkan produktivitas pribadinya.

Benteng Regulasi
Sebagai langkah pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan, DPR telah mengesahkan (12/04/2022) UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sebelumnya telah diterbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Perlu waktu untuk membuktikan apakah kedua peraturan ini mampu menurunkan tingkat kekerasan seksual terhadap perempuan.

Setiap lapisan masyarakat, khususnya orang tua dan warga satuan pendidikan harus memahami kedua aturan ini. Sosialisasi aturan ini harus masif melalui aneka saluran, termasuk media massa dan media sosial. Sebagai contoh dikutipkan beberapa pasal dan ayat yang bisa jadi tak dipahami mayoritas warga.

Dalam UU TPKS Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan tindakan nonfisik berupa isyarat, tulisan, dan/atau perkataan kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait dengan keinginan seksual, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik. Hukuman yang diberikan kepada pelaku yakni pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta.

Pada Pasal 4 ayat (1) UU TPKS, disebutkan ada sembilan tindak pidana kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kotrasepsi, dan pemaksaan sterilisasi. Selain itu juga pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik. Untuk kekerasan seksual berbasis elektronik ini termasuk revenge porn atau penyebaran konten pornografi dengan modus balas dendam kepada korban. Dengan adanya UU TPKS ini, korban revenge porn dilindungi oleh hukum.

Dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 diatur bahwa di antara tindakan yang masuk dalam kategori tindak kekerasan seksual bisa berupa: 1) menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban, 2) menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman, 3) mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang korban, 4) mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban, dan 5) mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi.

Pemahaman masyarakat atas sejumlah aturan ini bisa mencegah atau mengurangi tindakan kekerasan seksual kepada perempuan. Masyarakat akan berhati-hati dalam bertindak dan menggunakan media sosial. Hukuman pidana penjara dan/atau pidana denda bisa jadi membuat orang terhindar dari kejahatan terhadap perempuan.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2126 seconds (0.1#10.140)