Melindungi Perempuan, Memberi Pendidikan

Jum'at, 22 April 2022 - 16:25 WIB
loading...
Melindungi Perempuan, Memberi Pendidikan
Jejen Musfah (Foto: Ist)
A A A
Jejen Musfah
Dosen Kebijakan Pendidikan Magister UIN Syahid Jakarta, Wakil Sekjen PB PGRI

INDONESIA akan mengalami bonus demografi pada 2045. Hal ini bisa menjadi berkah bagi bangsa jika sumber daya manusianya berkualitas. Sebaliknya, ia akan menjadi bencana jika sumber daya manusianya tidak berkualitas. Di antara faktor penentu kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa ini adalah kualitas perempuan di masa kini dan mendatang.

Peningkatan kualitas perempuan harus menjadi perhatian pemerintah dan swasta. Kualitas perempuan diperlukan untuk peningkatan kualitas hidupnya, juga untuk melahirkan generasi berkualitas melalui perannya sebagai ibu yang cerdas dan berkarakter. Pendidikan merupakan jalan peningkatan mutu perempuan.

Masalahnya, upaya peningkatan kualitas perempuan masih mengalami banyak kendala serius. Dibutuhkan langkah dan upaya bersama untuk mengatasi masalah-masalah perempuan, baik di rumah, di sekolah, maupun di kampus. Tanpa agenda dan perjuangan bersama, perempuan akan selalu terpinggirkan dan tidak punya daya saing untuk hidup layak.

Keluarga
Keluarga adalah tempat pertama perempuan meniti kualitas dirinya sekaligus tempat yang bisa memadamkan cahaya terang masa depannya. Dari rumah diputuskan apakah ia berhak mendapatkan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, sama dengan anak laki-laki, atau sebaliknya mendapatkan perlakuan yang tidak adil bahkan kejam.

Faktanya banyak perempuan yang tidak berpendidikan, entah karena kemauan orang tua, kemiskinan, atau pernikahan dini. Perempuan hanya menjadi pekerja kasar yang digaji secukupnya karena pendidikan yang rendah. Padahal pendidikan adalah hak mereka agar kelak mandiri dan kompeten menjalankan perannya sebagai ibu, istri, atau pekerja.

Anak perempuan juga kerap menjadi korban kekerasan seksual ayah, ayah tiri, paman, atau orang-orang terdekatnya. Alih-alih mendapatkan perlindungan dan bimbingan, anak perempuan malah menjadi korban laki-laki dewasa. Peristiwa ini tidak saja menghancurkan masa depan mereka tetapi meninggalkan trauma mental yang membutuhkan penanganan serius.

Menurut data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2021, sepanjang 2020 tercatat kekerasan terhadap perempuan sebanyak 299.911 kasus. Dari jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat di Komnas HAM tersebut, sebanyak 291.677 kasus bersumber dari pengadilan agama, lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus, dan unit pelayanan dan rujukan sebanyak 2.389 kasus.

Kasus kekerasan seksual merupakan kasus tertinggi dalam kekerasan terhadap perempuan, yakni sebanyak 962 kasus yang terdiri dari 166 kasus pencabulan, 299 kasus permerkosaan, 181 kasus pelecehan seksul, dan sebanyak 5 kasus persetubuhan. Tidak hanya terjadi di ranah komunitas/publik, kasus kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di lingkungan rumah tangga. Sebanyak 6.480 kasus terjadi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.

Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), sepanjang 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan di mana 15,2% adalah kekerasan seksual. Kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan fenomena puncak gunung es. Fakta yang terjadi di lapangan bisa jauh lebih besar dan lebih mengerikan.

Satuan Pendidikan
Sekolah, pesantren, atau kampus merupakan tempat manusia dididik dan dilatih untuk menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berkarakter, cerdas, dan terampil sehingga menjadi manusia mandiri dan merdeka. Namun sayang, di satuan pendidikan justru perempuan menjadi korban pelecehan seksual. Ironis, satuan pendidikan tempat pengembangan karakter pelajar justru menjadi tempat yang rentan dan berbahaya bagi perempuan. Aneka kasus pelecehan seksual menunjukkan lemahnya posisi perempuan di hadapan laki-laki dewasa.

Komnas Perempuan mencatat bahwa selama periode 2017-2021 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi, yakni 35 kasus. Diikuti pesantren dengan 16 kasus, dan sekolah menengah atas (SMA) 15 kasus.

Di sisi lain, tidak mudah bagi perempuan berkeluarga untuk menyelesaikan studi sarjana atau pascasarjana mereka. Penyelesaian studi mereka kerap terhalang oleh tugas-tugas domestik seperti mengurus rumah, mengurus anak, melayani suami, atau bekerja. Beban mereka akan semakin berat jika menjadi tulang punggung keluarga.

Anang Susetya (2021: 37) dalam buku Kartini Citra Perempuan Indonesia Modern menulis, masih banyak kaum perempuan Indonesia yang merasa bahagia berada dalam posisi berkorban atau mempunyai peran ganda tanpa mempersoalkan apakah pengorbanannya memperlemah atau memperkuat ketidakadilan. Situasi semacam ini jelas mempersulit kaum perempuan menemukan jati dirinya dan sulit berkembang sebagai pribadi. Dengan demikian kaum perempuan Indonesia sulit mengembangkan produktivitas pribadinya.

Benteng Regulasi
Sebagai langkah pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan, DPR telah mengesahkan (12/04/2022) UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sebelumnya telah diterbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Perlu waktu untuk membuktikan apakah kedua peraturan ini mampu menurunkan tingkat kekerasan seksual terhadap perempuan.

Setiap lapisan masyarakat, khususnya orang tua dan warga satuan pendidikan harus memahami kedua aturan ini. Sosialisasi aturan ini harus masif melalui aneka saluran, termasuk media massa dan media sosial. Sebagai contoh dikutipkan beberapa pasal dan ayat yang bisa jadi tak dipahami mayoritas warga.

Dalam UU TPKS Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan tindakan nonfisik berupa isyarat, tulisan, dan/atau perkataan kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait dengan keinginan seksual, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik. Hukuman yang diberikan kepada pelaku yakni pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta.

Pada Pasal 4 ayat (1) UU TPKS, disebutkan ada sembilan tindak pidana kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kotrasepsi, dan pemaksaan sterilisasi. Selain itu juga pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik. Untuk kekerasan seksual berbasis elektronik ini termasuk revenge porn atau penyebaran konten pornografi dengan modus balas dendam kepada korban. Dengan adanya UU TPKS ini, korban revenge porn dilindungi oleh hukum.

Dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 diatur bahwa di antara tindakan yang masuk dalam kategori tindak kekerasan seksual bisa berupa: 1) menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban, 2) menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman, 3) mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang korban, 4) mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban, dan 5) mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi.

Pemahaman masyarakat atas sejumlah aturan ini bisa mencegah atau mengurangi tindakan kekerasan seksual kepada perempuan. Masyarakat akan berhati-hati dalam bertindak dan menggunakan media sosial. Hukuman pidana penjara dan/atau pidana denda bisa jadi membuat orang terhindar dari kejahatan terhadap perempuan.

Kunci Pendidikan
Menjawab masalah di atas tidak cukup dengan melahirkan regulasi perlindungan perempuan tetapi bagaimana komitmen pencegahan dan pelaksanaan regulasi oleh pihak-pihak yang berwenang, mulai dari sosialisasi, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi.

Perlindungan perempuan harus menjadi agenda bersama sehingga mereka dapat menyelesaikan pendidikan setinggi-tingginya dengan baik. Perempuan dengan pendidikan yang baik akan bisa menjalankan perannya dengan baik, apakah sebagai individu, pekerja, ibu, istri, atau pemimpin.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat penyelesaian pendidikan perempuan pada 2021 adalah sebagai berikut: SD/sederajat 97,76%, SMP/sederajat 90,78%, dan SMA/sederajat 67,46%. Data ini menunjukkan bahwa perempuan Indonesia tidak sedang baik-baik saja.

Sejarah membuktikan perempuan-perempuan Indonesia mampu berdaya dan berkontribusi bagi pendidikan bangsa ini, seperti RA Kartini, Rahmah El Yunusiyyah, Nyai Rohmah Noor Syifa, Nur Chodijah, Nisya Saadah Wargadipura, Najmatul Millah, Syarifah Sadiyah Al Jufri, Halimah Syukur, Yenny Wahid, Siti Fadilah, dan Dewi Fortuna Anwar.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1857 seconds (0.1#10.140)