Trilogi Pandemi dan Solusinya yang Mendasar
loading...
A
A
A
Kembali pada persoalan kita semula tentang trilogi stay at home - joblessness - income drop dan solusinya yang mendasar, terutama berkaitan dengan syarat ketiga CDC, yaitu testing. Program testing kita dengan sekitar belasan ribuan testing sehari jelaslah tidak memadai bagi negara dengan 270 juta penduduk. Bandingkan dengan negara-negara besar seperti AS yang melakukan testing hampir 500.000 sehari, Rusia sekitar 300.000 sehari, Turki sekitar 40.000 sehari, Korea Selatan sekitar 15.000 sehari. Sementara itu Malaysia dan Singapura yang melakukan testing boleh dikata setara dengan kita walaupun penduduk mereka jauh lebih kecil.
Jika saja kita bisa memperbesar kapasitas testing kita layaknya kebutuhan negara yang besar, kita bisa melakukan testing-tracing-isolation yang bersifat individual, dan bukannya isolasi yang bersifat kewilayahan. Bedanya jelas, pada isolasi berbasis wilayah, semua orang, sakit atau tidak, dibatasi ruang geraknya di luar rumah, termasuk untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan. Work from home (WFH) hanya cocok dan bisa dilakukan oleh orang dan tipe pekerjaan tertentu. Di lain pihak isolasi berbasis individu hanya berfokus pada individu yang bergejala dan atau testingnya positif. Warga masyarakat lain dapat beraktivitas di luar rumah, tentu saja tetap dengan mengindahkan protokol Covid-19 seperti social distancing , memakai masker, dan mencuci tangan, serta protokol lain yang berkaitan dengan tempat-tempat umum seperti sekolah, pasar, restoran, rumah ibadah dan sebagainya.
Solusi ini yang seharusnya menjadi fokus jangka pendek dan menengah pemerintah dalam menanggulangi pandemi ini. Solusi jangka panjang tentu adalah ditemukannya vaksin yang efektif. Sementara itu melonggarkan PSBB tanpa memenuhi syarat-syarat CDC tersebut sama saja dengan pemerintah menyerah dan mengambil kebijakan herd immunity . Kebijakan yang terakhir ini sama juga mempersilakan berlakunya the survival of the fittest : yang kuat imunitasnya, yang gizinya bagus, yang mampu memperoleh fasilitas kesehatan terbaik. Dengan kata lain yang kaya akan selamat. Sementara itu, yang lemah imunitasnya, yang gizinya buruk, dengan kata lain, yang miskin, dan yang tua, akan musnah. Padahal, tugas utama negara adalah melindungi, melayani, dan meningkatkan taraf hidup rakyatnya, terutama yang lemah, yang miskin, dan yang telantar. (*)
Jika saja kita bisa memperbesar kapasitas testing kita layaknya kebutuhan negara yang besar, kita bisa melakukan testing-tracing-isolation yang bersifat individual, dan bukannya isolasi yang bersifat kewilayahan. Bedanya jelas, pada isolasi berbasis wilayah, semua orang, sakit atau tidak, dibatasi ruang geraknya di luar rumah, termasuk untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan. Work from home (WFH) hanya cocok dan bisa dilakukan oleh orang dan tipe pekerjaan tertentu. Di lain pihak isolasi berbasis individu hanya berfokus pada individu yang bergejala dan atau testingnya positif. Warga masyarakat lain dapat beraktivitas di luar rumah, tentu saja tetap dengan mengindahkan protokol Covid-19 seperti social distancing , memakai masker, dan mencuci tangan, serta protokol lain yang berkaitan dengan tempat-tempat umum seperti sekolah, pasar, restoran, rumah ibadah dan sebagainya.
Solusi ini yang seharusnya menjadi fokus jangka pendek dan menengah pemerintah dalam menanggulangi pandemi ini. Solusi jangka panjang tentu adalah ditemukannya vaksin yang efektif. Sementara itu melonggarkan PSBB tanpa memenuhi syarat-syarat CDC tersebut sama saja dengan pemerintah menyerah dan mengambil kebijakan herd immunity . Kebijakan yang terakhir ini sama juga mempersilakan berlakunya the survival of the fittest : yang kuat imunitasnya, yang gizinya bagus, yang mampu memperoleh fasilitas kesehatan terbaik. Dengan kata lain yang kaya akan selamat. Sementara itu, yang lemah imunitasnya, yang gizinya buruk, dengan kata lain, yang miskin, dan yang tua, akan musnah. Padahal, tugas utama negara adalah melindungi, melayani, dan meningkatkan taraf hidup rakyatnya, terutama yang lemah, yang miskin, dan yang telantar. (*)
(muh)