Hukum yang Bernurani
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran
MENGAPA masalah seluk beluk hukum perlu diketahui? Hal ini disebabkan masyarakat dapat dengan mudah melihat seluk beluk hukum dari cara kerja kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Tidak lebih dan tidak kurang, sehingga sikap dan perilaku polisi, jaksa dan hakim dalam praktik telah dijadikan parameter masyarakat, terutama awam, dalam memberikan penilaian bahwa hukum itu baik, tidak baik, buruk atau tidak. Semua tergantung dari sikap dan perilaku ketiga aparatur hukum tersebut.
Contoh sederhana, perlakuan polisi lalu lintas dalam tugas sehari-hari mengatur lalu lintas agar berjalan lancar, perlakuan petugas polisi di kantor pelayanan terpadu, sampai dengan proses penyidikan berlanjut ke penuntutan, turut dijadikan parameter yang tampak terang benderang di hadapan masyarakat pencari keadilan. Sikap dan perilaku aparatur hukum dalam melayani kepentingan masyarakat, apalagi dalam pemeriksaan pada tahap penyelidikan dan penyidikan, merupakan penilaian awal atau entry point memasuki sistem peradilan pidana.
Dalam hal pemanggilan seseorang yang terkait dengan dugaan suatu tindak pidana berdasarkan laporan pihak pelapor,sering ditemukan dalam surat tidak disebutkan status terpanggil. Tidak jelas status hukumnya, saksi atau tersangka. Jika terpanggil, dengan bahasa sehari-hari, sering ditulis undangan, akan tetapi dalam kenyataan dilakukan pemeriksaan bahkan dicantumkan sebagai berita acara pemeriksaan tanpa orang yang diundang mengetahuinya.
Begitu pula hal di kejaksaan setelah kasus dinyatakan P21, yaitu berkas penyidikan telah lengkap dan siap mengikuti tahap penuntutan, dalam kenyataannya sering terjadi sampai saat ini kembali dilakukan pemeriksaan, sekalipun dibolehkan dalam PP atas KUHAP. Akan tetapi, bagi tersangka itu dirasakan sebagai fase “penderitaan” kedua setelah tahap penyidikan, sekalipun pemeriksaan itu dengan alasan melengkapi berkas untuk penuntutan.
Kejadian ini terjadi setelah perkara bolak-balik dari kepolisian ke kejaksaan sampai dinyatakan P21 yang meminta waktu cukup lama dan melelahkan bagi terperiksa. Sampai saat ini masalah tersebut telah diupayakan pihak kejaksaan dan kepolisian untuk dipermudah melalui koordinasi yang baik, akan tetapi sehubungan dengan luasnya wilayah RI dan pengawasan yang tidak mudah untuk diterapkan sesuai peraturan yang berlaku; keadaan dan masalah tersebut dipastikan tidak lekang karena waktu.
Kelambatan proses yang terjadi di dalam proses peradilan pidana mendorong terjadi upaya untuk mempercepatnya dengan cara-cara tidak terpuji oleh pihak yang berkepentingan seperti suap atau berbagai cara yang tidak patut asalkan tujuan tercapai. Berangkat dari kejadian tersebut diketahui bahwa masalah pengawasan internal menjadi fokus perhatian masyarakat.
Di kepolisian telah dibentuk pengawasan internal (paminal) dan propam, baik di Mabes Polri maupun di tingkat polda-polda di provinsi. Tugasnya adalah mengawasi teknis pemeriksaan pada tahap penyidikan di mana disediakan suatu gelar perkara untuk menentukan kelanjutan perkara seperti perkara dihentikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atau dilanjutkan.
Di Kejaksaan pada tingkat pusat telah dibentuk Jaksa Agung Muda bidang Pegawasan (Jamwas) dan sampai pada tingkat Kejaksaan Tinggi. Dilihat dari sarana dan prasarana termasuk sumber daya manusia terdidik dan terlatih, didukung anggaran yang mencukupi, dapat dikatakan tidak akan ada sedikit pun celah untuk terjadinya mismanajemen dalam bidang penyidikan dan penuntutan.
Namun dalam konteks pengawasan terhadap seluruh elemen sistem peradilan pidana dapat dikatakan dari aspek keluasan wilayah dan sasaran jangkuannya mustahil dapat dipastikan tercapai keberhasilan yang memadai sekalipun telah dibentuk Komisi Kepolisian Nasional atau Komisi Kejaksaan.
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran
MENGAPA masalah seluk beluk hukum perlu diketahui? Hal ini disebabkan masyarakat dapat dengan mudah melihat seluk beluk hukum dari cara kerja kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Tidak lebih dan tidak kurang, sehingga sikap dan perilaku polisi, jaksa dan hakim dalam praktik telah dijadikan parameter masyarakat, terutama awam, dalam memberikan penilaian bahwa hukum itu baik, tidak baik, buruk atau tidak. Semua tergantung dari sikap dan perilaku ketiga aparatur hukum tersebut.
Contoh sederhana, perlakuan polisi lalu lintas dalam tugas sehari-hari mengatur lalu lintas agar berjalan lancar, perlakuan petugas polisi di kantor pelayanan terpadu, sampai dengan proses penyidikan berlanjut ke penuntutan, turut dijadikan parameter yang tampak terang benderang di hadapan masyarakat pencari keadilan. Sikap dan perilaku aparatur hukum dalam melayani kepentingan masyarakat, apalagi dalam pemeriksaan pada tahap penyelidikan dan penyidikan, merupakan penilaian awal atau entry point memasuki sistem peradilan pidana.
Dalam hal pemanggilan seseorang yang terkait dengan dugaan suatu tindak pidana berdasarkan laporan pihak pelapor,sering ditemukan dalam surat tidak disebutkan status terpanggil. Tidak jelas status hukumnya, saksi atau tersangka. Jika terpanggil, dengan bahasa sehari-hari, sering ditulis undangan, akan tetapi dalam kenyataan dilakukan pemeriksaan bahkan dicantumkan sebagai berita acara pemeriksaan tanpa orang yang diundang mengetahuinya.
Begitu pula hal di kejaksaan setelah kasus dinyatakan P21, yaitu berkas penyidikan telah lengkap dan siap mengikuti tahap penuntutan, dalam kenyataannya sering terjadi sampai saat ini kembali dilakukan pemeriksaan, sekalipun dibolehkan dalam PP atas KUHAP. Akan tetapi, bagi tersangka itu dirasakan sebagai fase “penderitaan” kedua setelah tahap penyidikan, sekalipun pemeriksaan itu dengan alasan melengkapi berkas untuk penuntutan.
Kejadian ini terjadi setelah perkara bolak-balik dari kepolisian ke kejaksaan sampai dinyatakan P21 yang meminta waktu cukup lama dan melelahkan bagi terperiksa. Sampai saat ini masalah tersebut telah diupayakan pihak kejaksaan dan kepolisian untuk dipermudah melalui koordinasi yang baik, akan tetapi sehubungan dengan luasnya wilayah RI dan pengawasan yang tidak mudah untuk diterapkan sesuai peraturan yang berlaku; keadaan dan masalah tersebut dipastikan tidak lekang karena waktu.
Kelambatan proses yang terjadi di dalam proses peradilan pidana mendorong terjadi upaya untuk mempercepatnya dengan cara-cara tidak terpuji oleh pihak yang berkepentingan seperti suap atau berbagai cara yang tidak patut asalkan tujuan tercapai. Berangkat dari kejadian tersebut diketahui bahwa masalah pengawasan internal menjadi fokus perhatian masyarakat.
Di kepolisian telah dibentuk pengawasan internal (paminal) dan propam, baik di Mabes Polri maupun di tingkat polda-polda di provinsi. Tugasnya adalah mengawasi teknis pemeriksaan pada tahap penyidikan di mana disediakan suatu gelar perkara untuk menentukan kelanjutan perkara seperti perkara dihentikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atau dilanjutkan.
Di Kejaksaan pada tingkat pusat telah dibentuk Jaksa Agung Muda bidang Pegawasan (Jamwas) dan sampai pada tingkat Kejaksaan Tinggi. Dilihat dari sarana dan prasarana termasuk sumber daya manusia terdidik dan terlatih, didukung anggaran yang mencukupi, dapat dikatakan tidak akan ada sedikit pun celah untuk terjadinya mismanajemen dalam bidang penyidikan dan penuntutan.
Namun dalam konteks pengawasan terhadap seluruh elemen sistem peradilan pidana dapat dikatakan dari aspek keluasan wilayah dan sasaran jangkuannya mustahil dapat dipastikan tercapai keberhasilan yang memadai sekalipun telah dibentuk Komisi Kepolisian Nasional atau Komisi Kejaksaan.