Kausa Kejahatan dan Viktimisasi
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
KAUSA kejahatan terdapat dalam literatur kriminologi, ilmu pengetahuan yang membahas tentang kejahatan dan mengapa seseorang menjadi penjahat, mulai dari teori mengenai asal usul kejahatan, sejak dilahirkan sebagai penjahat (C.Lombroso), sampai kepada kejahatan berasal/bersumber karena faktor lingkungan masyarakat (Lacassagne), sampai pada teori sebab kejahatan karena faktor politik/kekuasaan atau aliran radikal kriminologi (radical criminology) atau kriminologi kritis (critical criminology).
Di sisi lain, selain kausa kejahatan, di dalam literatur kriminologi ditemukan tentang masalah korban kejahatan atau victim of crime, dikenal dengan ilmu pengetahuan tentang korban (victimology). Antara dua pengertian di atas- kausa kejahatan dan korban kejahatan berhubungan erat dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Contoh, seorang perempuan berjalan dengan pakaian seksi di tengah malam sendirian, dipastikan 99% terjadi pelecehan seksual atau bahkan perkosaan. Pertanyaannya, siapa pelaku dan siapa korban dalam peristiwa tersebut? Di dalam literatur kriminologi, pelaku adalah seorang pria yang melakukan pelecehan atau melakukan pemerkosaan. Di literatur viktimologi, si korban/perempuan tersebut korban dan sekaligus juga pelaku dengan alasan karena berpakaian seksi itulah menarik pria untuk menyentuh dan memperkosa dirinya.
Dua literatur ilmu pengetahuan yang unik namun berkaitan erat dengan ilmu hukum pidana, telah terjadi dalam praktik peradilan pidana sejak penyidikan sampai pemeriksaan sidang pengadilan. Dalam hal ini seharusnya, praktisi hukum selain memahami hukum pidana dengan segala kerumitannya juga memahami ilmu kriminologi dan viktimologi, akan semakin lengkap kiranya jika praktisi hukum pidana juga memahami sepintas ilmu psikologi terutama bagi penyidik dan hakim pidana.
Jika praktisi hukum mulai penyidik, penuntut dan hakim memahami kelindan antara aspek-aspek hukum dan non-hukum diuraikan di atas, dipastikan kasus Sengkon dan Karta, Nenek Misnah, dan kasus lainnya tidak akan merupakan masa kegelapan hukum di Indonesia. Disebabkan ketidakpahaman mengenai keterkaitan disiplin ilmu dimaksud, maka subjek hukum pidana yang disebut setiap orang atau manusia telanjur terbiasa dipandang sebagai benda mati, bukan makhluk hidup yang punya akal dan nurani.
Begitu pula pandangan masyarakat sejak lama terhadap seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka. Bak pepatah, sekali lancung ke ujian seumur hidup tak dipercaya. Jika ahli hukum Belanda sering menyatakan bahwa hukum pidana itu layaknya pisau bermata dua, di dalam pandangan nyata masyarakat kita hukum pidan itu seharusnya menjadi golok bermata seribu, libas kanan-kiri, ke atas ke bawah tergantung dari subjektivitas pemiliknya.
Contoh konkret penerapan hukum pidana khususnya UU Tipikor Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Tipikor Tahun 2001 khusus Pasal 2 dan Pasal 3, frasa setiap orang dalam praktik ditafsirkan siapa saja yang memenuhi unsur-unsur tipikor tanpa mempertimbangkan secara teliti status hukum seseorang, sebagai penyelenggara negara atau bukan penyelenggara negara, yang penting telah menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Pandangan praktisi hukum sedemikian bukan hanya monopoli penyidik dan penuntut, akan tetapi juga hakim/majelis hakim, tidak bergeming dari penafsiran penyidik/penuntut, yang seharusnya lebih teliti dalam memberikan penilaian atas suatu perkara pidana dengan menggali nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman Tahun 2009). Ketentuan pasal aquo sesungguhnya menginsyaratkan hakim/majelis hakim agar sangat berhati-hati membaca/menafsirkan ketentuan suatu UU dengan fakta yang telah diperoleh penyidik/penuntut, sehingga diharapkan tujuan kepastian, keadilan, dan bahkan kemanfaatan dapat dicapai dan fungsi hukum yang menciptakan kerukunan dan kedamaian khusus para pihak berperkara dapat tercapai tanpa ada kesan pembalasan dendam apalagi demi kepentingan politik.
Kriminalisasi dan viktimisasi struktural telah tampak terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia, baik dalam perkara tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus terutama tipikor. Kriminalisasi dan viktimisasi struktural hanya dapat dilakukan dan terjadi dari pemegang kekuasaan (the powerfulll people) terhadap mereka yang bukan pemegang kekuasaan alias rakyat jelata (the powerless people). Sesungguhnya, doktrin hukum pidana telah lama mengenal/mengakui asas persamaan perlakuan di muka hukum bahkan di dalam UUD 1945, Konstitusi RI, telah dicantumkan secara eksplisit di dalam ketentuen UUD Pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan bahwa, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum.
KAUSA kejahatan terdapat dalam literatur kriminologi, ilmu pengetahuan yang membahas tentang kejahatan dan mengapa seseorang menjadi penjahat, mulai dari teori mengenai asal usul kejahatan, sejak dilahirkan sebagai penjahat (C.Lombroso), sampai kepada kejahatan berasal/bersumber karena faktor lingkungan masyarakat (Lacassagne), sampai pada teori sebab kejahatan karena faktor politik/kekuasaan atau aliran radikal kriminologi (radical criminology) atau kriminologi kritis (critical criminology).
Di sisi lain, selain kausa kejahatan, di dalam literatur kriminologi ditemukan tentang masalah korban kejahatan atau victim of crime, dikenal dengan ilmu pengetahuan tentang korban (victimology). Antara dua pengertian di atas- kausa kejahatan dan korban kejahatan berhubungan erat dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Contoh, seorang perempuan berjalan dengan pakaian seksi di tengah malam sendirian, dipastikan 99% terjadi pelecehan seksual atau bahkan perkosaan. Pertanyaannya, siapa pelaku dan siapa korban dalam peristiwa tersebut? Di dalam literatur kriminologi, pelaku adalah seorang pria yang melakukan pelecehan atau melakukan pemerkosaan. Di literatur viktimologi, si korban/perempuan tersebut korban dan sekaligus juga pelaku dengan alasan karena berpakaian seksi itulah menarik pria untuk menyentuh dan memperkosa dirinya.
Dua literatur ilmu pengetahuan yang unik namun berkaitan erat dengan ilmu hukum pidana, telah terjadi dalam praktik peradilan pidana sejak penyidikan sampai pemeriksaan sidang pengadilan. Dalam hal ini seharusnya, praktisi hukum selain memahami hukum pidana dengan segala kerumitannya juga memahami ilmu kriminologi dan viktimologi, akan semakin lengkap kiranya jika praktisi hukum pidana juga memahami sepintas ilmu psikologi terutama bagi penyidik dan hakim pidana.
Jika praktisi hukum mulai penyidik, penuntut dan hakim memahami kelindan antara aspek-aspek hukum dan non-hukum diuraikan di atas, dipastikan kasus Sengkon dan Karta, Nenek Misnah, dan kasus lainnya tidak akan merupakan masa kegelapan hukum di Indonesia. Disebabkan ketidakpahaman mengenai keterkaitan disiplin ilmu dimaksud, maka subjek hukum pidana yang disebut setiap orang atau manusia telanjur terbiasa dipandang sebagai benda mati, bukan makhluk hidup yang punya akal dan nurani.
Begitu pula pandangan masyarakat sejak lama terhadap seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka. Bak pepatah, sekali lancung ke ujian seumur hidup tak dipercaya. Jika ahli hukum Belanda sering menyatakan bahwa hukum pidana itu layaknya pisau bermata dua, di dalam pandangan nyata masyarakat kita hukum pidan itu seharusnya menjadi golok bermata seribu, libas kanan-kiri, ke atas ke bawah tergantung dari subjektivitas pemiliknya.
Contoh konkret penerapan hukum pidana khususnya UU Tipikor Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Tipikor Tahun 2001 khusus Pasal 2 dan Pasal 3, frasa setiap orang dalam praktik ditafsirkan siapa saja yang memenuhi unsur-unsur tipikor tanpa mempertimbangkan secara teliti status hukum seseorang, sebagai penyelenggara negara atau bukan penyelenggara negara, yang penting telah menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Pandangan praktisi hukum sedemikian bukan hanya monopoli penyidik dan penuntut, akan tetapi juga hakim/majelis hakim, tidak bergeming dari penafsiran penyidik/penuntut, yang seharusnya lebih teliti dalam memberikan penilaian atas suatu perkara pidana dengan menggali nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman Tahun 2009). Ketentuan pasal aquo sesungguhnya menginsyaratkan hakim/majelis hakim agar sangat berhati-hati membaca/menafsirkan ketentuan suatu UU dengan fakta yang telah diperoleh penyidik/penuntut, sehingga diharapkan tujuan kepastian, keadilan, dan bahkan kemanfaatan dapat dicapai dan fungsi hukum yang menciptakan kerukunan dan kedamaian khusus para pihak berperkara dapat tercapai tanpa ada kesan pembalasan dendam apalagi demi kepentingan politik.
Kriminalisasi dan viktimisasi struktural telah tampak terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia, baik dalam perkara tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus terutama tipikor. Kriminalisasi dan viktimisasi struktural hanya dapat dilakukan dan terjadi dari pemegang kekuasaan (the powerfulll people) terhadap mereka yang bukan pemegang kekuasaan alias rakyat jelata (the powerless people). Sesungguhnya, doktrin hukum pidana telah lama mengenal/mengakui asas persamaan perlakuan di muka hukum bahkan di dalam UUD 1945, Konstitusi RI, telah dicantumkan secara eksplisit di dalam ketentuen UUD Pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan bahwa, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum.