Antagonisme dalam Antikorupsi

Selasa, 08 Maret 2022 - 10:45 WIB
loading...
Antagonisme dalam Antikorupsi
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita. Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Romli Atmasasmita
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran

PADA salah satu koran nasional diberitakan tentang konferensi Anti Corruption Working Group di Bali. Sambutan pejabat Indonesia yang tampil pada acara itu mengamini hasil survei Transparansi Internasional (TI) mengenai indeks persepsi korupsi (IPK) negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Dalam berita tersebut dinyatakan, Indonesia telah memperoleh kenaikan peringkat IPK sebagai salah satu negara G20 namun korupsinya cukup parah.

Ini suatu pernyataan yang menafikan upaya keras pemerintah Indonesia melalui kejaksaan dan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) dalam mencegah dan mengatasi korupsi di negeri ini. Kebanggaan bahwa Indonesia sebagai negara antikorupsi hampir sirna. Namun, kemudian itu dapat diatasi oleh sambutan pimpinan KPK yang menegaskan bahwa kini Indonesia telah memiliki strategi pencegahan dan penindakan korupsi yang sistematis dan terstruktur serta telah berhasil memenjarakan koruptor dari pejabat rendah sampai pejabat tinggi di tingkat daerah dan pusat.

Namun demikian, yang dijadikan tolok ukur adalah tetap IPK. Sampai saat ini, KPK tidak memiliki IPK hasil survei sendiri yang lebih cocok dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia. Berbeda dengan IPK buatan TI yang hanya didasarkan pada hasil survei mengenai kepuasan para pelaku usaha besar terhadap pelayanan publik di suatu negara. Tolok ukur penggunaan teknologi sistem pelayanan publik yang telah maju atau online single system (OSS) negara maju yang dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk Indonesia, jelas akan menghasilkan survei yang berbeda pula dengan negara-negara berkembang pada umumnya, yang mana penggunaan OSS dalam pelayanan publiknya belum luas dan merata. Apalagi dasar survei TI mengenai IPK adalah jelas sangat lemah, tidak cocok dengan karakter sosial budaya dan kondisi ekonomi kehidupan kita.

Hasil survei TI atau IPK tersebut lebih banyak mewakili kepentingan pelaku usaha negara-negara maju dan tidak melihat perkembangan penegakan hukum terhadap korupsi yang terjadi di negara-negara objek survei. Kita tidak pernah mendengar di Negara seperti Singapura, Hongkong, Korea dan Belanda atau anggota Uni Eropa lain yang berhasil menjebloskan pelaku korupsi, mulai pejabat paling rendah (kepala desa) sampai menteri atau pejabat setingkat menteri. Penilaian sebelah mata atas capaian Indonesia memberantas korupsi merupakan pelecehan atas harkat dan martabat Indonesia sebagai suatu bangsa merdeka saat ini. Memang tidak dapat dinafikan bahwa, budaya, “jika bisa dipersulit jangan dipermudah”, khusus dalam bidang perizinan sampai saat ini belum sirna di kalangan birokrasi, terutama setelah perubahan UU Tipikor tahun 1999.

Sekalipun KPK dan Kejaksaan telah berhasil menjebloskan pelaku korupsi ke dalam penjara dan mengembalikan kerugian keuangan negara yang signifikan terutama sejak tiga atau empat tahun yang lampau, namun kuruptor tiada jera (kapok) dan tobat. Seakan telah terjadi vicious circle dalam pemberantasan korupsi. Korupsi dan suap yang sangat memprihatinkan dan terpaksa membuat kita mengelus dada adalah yang terjadi di kalangan penegak hukum baik itu dalam proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di sidang pengadilan. Sekalipun hal ini sudah sampai di telinga Menko Polhukam, dan tengah dibentuk satgas-satgas antipungli, tetap saja belum ada perubahan budaya dan sikap aparatur hukum yang nyata untuk mencegah apalagi menghukum pelakunya.

Dari kajian penulis, bahkan embrio suap di dalam penegakan hukum yang sering terjadi adalah disebabkan karena terdapat inkonsistensi antara ketentuan normatif dalam KUHAP yang membuka peluang untuk terjadi KKN. Contoh, ketentuan bahwa putusan bebas dapat dikasasi; perkara yang sudah memperoleh putusan berkekuatan hukum tetapi dihidupkan kembali dengan proses penyelidikan baru tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini nyata pelanggaran atas prinsip ne bis in idem; penyalahgunaan wewenang penyelidikan dan penyidikan dalam kasus perdata yang kemudian dipidanakan tanpa alasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

Alhasil, praktik hukum tersebut mencerminkan tidak adanya jaminan kepastian hukum yang adil sejalan dengan amanat UUD 45. Dalam keadaan chaos penegakan hukum terbalut suap dan KKN tampak bahwa di negeri ini tengah terjadi “hukum rimba”; siapa yang kuat dia yang menang atau dimenangkan. Uang dan kekuasaan berkelindan untuk menciptakan ketidakpastian hukum, keadilan, dan apalagi kemanfaatan. Kebiasaan “trade-off” yang biasa dalam transaksi bisnis telah menyusup ke dalam proses penegakan hukum, telah terjadi tanpa pencegahan dan penegakan hukum serta disiplin aparatur sipil negara (ASN).

Kesadaran sebagai suatu bangsa merdeka yang memilki cita-cita dan bebas dari kemiskinan dan ketidakberdayaan secara sosial, mental dan ekonomi tampak semakin memudar seiring dengan hiruk pikuknya elite politik dengan urusan pemilu dan penundaan pemilu. Itulah kondisi negeri penuh janji akan tetapi tidak berhasil memiliki solusi, selalu dengan masalah saja sehingga membuat masyarakat jenuh. Sistem manajemen administrasi pemerintahan yang belum efisien dan efektif, sekalipun dasar UU-nya telah tersedia, namun diubah berkali-kali termasuk UU Anti Korupsi dengan penguatan pembentukan KPK.

Sambutan Ketua KPK yang menyatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya memiliki strategi membangun sistem pencegahan sejak daerah sampai ke pusat pemerintahan baru sebatas obat penglipur lara karena sampai saat ini belum ada tanda-tanda keberhasilan yang bersifat massif. Begitu pula antinomi yang terjadi di dalam penegakan hukumnya di mana telah terjadi overkapasitas hunian lapas sebagai dampak nyata dan signifikan dari keberhasilan dalam penindakan selama ini. Kejujuran (fairness) dalam praktik hukum sudah lama dilupakan praktisi hukum pada umumnya, sekalipun hal tersebut marupakan embrio dari fair trial dan sikap/perilaku in good faith (iktikad baik) atau sebalknya (akan) terjadi miscarriage of justice.

Kondisi kepastian hukum apalagi kemanfaatan dan keadilan yang dicita-citakan oleh hukum hampir mustahil terjadi karena di satu sisi kepastian hukum selalu dipertentangkan dengan keadilan dan keduanya dengan kemanfaatan. Tidak pernah ada yang lengkap paripurna yang dapat menjanjikan bagi para pencari keadilan kecuali kesengsaraan lahir batin. Ketentuan KUHAP yang merupakan “karya agung” pada 1981 pun telah disimpangi sejak 1983 dengan Keputusan Menteri Kehakiman Ismail Saleh yang menyatakan antara lain bahwa, putusan bebas dapat diajukan kasasi dengan alasan situasi dan kondisi negara. Ini suatu bentuk intervensi kekuasaan eksekutif ke dalam yudukatif dan mencerminkan sistem pemerintahan otoritarian yang seharusnya telah tidak berlaku di era Orde Reformasi, namun dibiarkan sampai saat ini tanpa ada protes sekalipun dari organisasi advokat.

Selain kesesatan hukum tersebut, contoh kekeliruan hukum yang merupakan cacat formil dan materil adalah ketentuan KUHAP yang ditafsirkan bahwa putusan bebas bagi seorang terdakwa masih dapat dikasasi (praktik berdasar Kepmen Kehakiman) dan pemeriksaan kembali untuk perkara yang telah berkekuatan hukum tetap tanpa alasan hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan (pelanggaran asas ne bis in idem). Selain itu kasus unfair trial di mana kepentingan hukum bagi terdakwa tidak diberikan secara maksimal dengan seizin majelis hakim sehingga tidak ada keseimbangan kepentingan hukum antara jaksa/penuntut umum dan terdakwa di muka hukum, merupakan contoh praktik yang sangat memprihatinkan.

Pemikiran sesat hukum yang terjadi itu cermin dari sikap pemerintah kolonial dulu terhadap warganya, yang seharusnya saat ini ditiadakan karena bertolak belakang dengan maksud dan tujuan pembentukan KUHAP. Terlebih bertentangan secara diametral dengan ketentuan mengenai jaminan, perlindungan akan kepastian hukum yang adil dan persamaan di muka hukum Pasal 28 D ayat (1) UUD 45. Juga Pasal 28G ayat (1) bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga dan kehormatan, martabat dan harta benda di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi serta bebas dari perlakuan yang merendahkan derajat manusia.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1639 seconds (0.1#10.140)