Dua Tahun Pandemi dan Proyeksi Endemi
loading...
A
A
A
Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI; Guru Besar FKUI; Mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes
PADA 2 Maret 2020 Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia. Jadi pada 2 Maret 2022 ini tepat dua tahun kita menjalani masa pandemi Covid-19 dengan segala dinamikanya dan dampaknya pada berbagai sendi kehidupan bangsa. Sejauh ini kita setidaknya pernah mengalami tiga gelombang peningkatan kasus, pertama mulai dari Desember 2020 dengan puncak kasus sebanyak 14.518 pada 30 Januari 2021. Gelombang kedua yang amat dahsyat akibat varian Delta, dengan puncak kasus sehari lebih dari 56.000 orang pada 15 Juni 2021, dan kematian bahkan sampai lebih dari 2.000 orang sehari pada 27 Juli 2021. Sekarang kita sedang menjalani gelombang ketiga yang utamanya karena varian Omicron. Sejauh ini kasus harian tertinggi adalah 63.956 orang pada 17 Februari. Sesudah itu ada kecenderungan kasus menurun, walaupun terus terang saja kita belum tahu pasti apakah memang penurunan ini akan terus berjalan atau mungkin ada gejolak lain lagi.
Pandemi Dunia
Sehubungan dengan penurunan kasus maka sudah banyak dibicarakan tentang kemungkin pandemi berubah menjadi endemi. Untuk ini ada lima hal yang perlu jadi perhatian. Pertama, pandemi adalah keadaan wabah penyakit di banyak negara, bahkan “pan” dapat juga diartikan sebagai “semua”. Karena pandemi terjadi di banyak negara di berbagai benua maka yang menyatakan pandemi adalah badan dunia, dalam hal ini World Health Organization (WHO). Dalam kaidah aturan internasional pengendalian penyakit maka seluruh anggota WHO sudah menandatangani International Health Regulation (IHR) pada 2005, yang setelah masa transisi dua tahun maka mulai diberlakukan pada 2007. Sejak IHR diberlakukan di dunia sudah ada dua kali pandemi. Pertama adalah Pandemi H1N1 (2009) yang dinyatakan bermula pada 11 Juni 2009 oleh Direktur Jenderal WHO waktu itu, Dr Maragaret Chan. Kemudian, dalam 1 tahun 2 bulan kemudian, pada 10 Agustus 2010 DirJen WHO lalu menyatakan dunia sudah memasuki masa pascapandemi H1N1 (2009) ini. Pandemi ketika itu resmi selesai.
Pandemi Covid-19 sekarang bermula pada 11 Maret 2020 dengan pernyataan resmi oleh Direktur Jenderal WHO Dr Tedros, dan sampai sekarang masih berjalan. Artinya, kalau nanti pandemi Covid-19 akan berakhir maka akan ada lagi pernyataan resmi dari Direktur Jenderal WHO sesuai keadaan dunia ketika itu, yang kita belum tahu kapan akan terjadi.
Kedua, masing-masing negara dapat saja membuat pernyataan bahwa mereka sudah dapat mengendalikan wabah Covid-19, boleh juga menyebutkan bahwa negaranya sudah masuk dalam fase endemi. Tetapi, pernyataan satu dua atau bahkan beberapa negara bahwa negara mereka sudah endemi sama sekali tidak berarti pandemi sudah selesai. Dunia ini terdiri dari sekitar 200 negara, dan dalam dunia modern ini maka transportasi antarnegara dan bahkan antarbenua amat mudah terjadi. Maksudnya, kalau ada negara yang sudah dapat mengendalikan Covid-19 tetapi negara-negara lain belum maka masih tetap ada ancaman penyakit ini terus merebak di dunia.
Angka Kepositifan dan Reproduksi
Hal ketiga, kalau toh ingin mengatakan bahwa situasi Covid-19 sudah terkendali maka ada semacam kriteria yang banyak dianut, salah satunya adalah angka kepositifan (positivity rate) di bawah 5%. Kita tentu amat bersyukur bahwa jumlah kasus harian di negara kita dalam beberapa hari ini ada kecenderungan menurun, dan diikuti juga dengan penurunan angka kepositifan. Tetapi, dari data yang ada maka angka kepositifan pada 25 Februari 2022 adalah 17,93%, dan walaupun pada 26 Februari angkanya sudah menurun tapi masih cukup tinggi, yaitu 15,91%, cukup jauh di atas batas 5% yang kita kehendaki bersama.
Hal keempat, indikator lain yang menjadi patokan bahwa situasi epidemiologi Covid-19 sudah terkendali adalah angka reproduksi efektif (effective reproduction number-Rt) di bawah 1, artinya tidak terjadi penularan berkepanjangan di masyarakat. Walaupun tidak ada data resmi yang diumumkan tetapi beberapa pihak menyebutkan angka reproduksi di hari-hari ini masih diatas 1, ada yang melaporkan sebagai 1.161. Mudah-mudahan angka ini dapat terus menurun dalam hari-hari mendatang.
Tentang hal ketiga dan keempat ini, kita tentu ingat bahwa sesudah berhasil menangani varian Delta maka angka kepositifan kita sempat cukup lama di bawah 5%. Angka reproduksi juga pernah dibawah 1, dilaporkan pernah angkanya 0,98. Tetapi, dengan serangan Omicron maka angka kepositifan dan angka reproduksi naik lagi seperti sekarang ini. Artinya, kalau nanti gelombang akibat Omicron ini dapat diatasi, kasus turun, angka-angka lain juga turun, maka kita perlu tetap waspada dan melakukan upaya maksimal agar angkanya jangan naik lagi. Tentu saja angka jumlah pasien dan kematian juga harus ditekan rendah, serta pelayanan kesehatan akan selalu siaga menghadapi kemungkinan kenaikan kasus.
Hal kelima yang perlu jadi perhatian kita bersama ,dan bahkan di dunia, adalah ada tidaknya kemungkinan varian baru Covid-19, sesuatu yang tidak terlalu mudah memprediksinya. Yang jelas kita tahu bahwa kalau penularan di masyarakat tinggi maka virus akan banyak bereplikasi, hal ini memungkinkan saja terjadinya mutasi baru. Kalau mutasinya cukup beragam maka dapat saja terjadi varian baru. Dalam hal ini perlu kita ketahui bahwa sebagian besar varian baru suatu virus itu tidaklah berbahaya bagi manusia, hanya sebagian kecil yang mungkin berbahaya. Tetapi, walaupun persentasenya kecil, kalau terjadi varian yang berdampak luas maka dunia akan terkena gelombang baru lagi, seperti selama ini sudah terjadi.
Tiga Penanggulangan
Dengan kelima penjelasan di atas maka yang dapat kita lakukan adalah tiga poin yang sudah dikenal luas, tapi perlu terus disampaikan agar dilaksanakan di lapangan. Pertama adalah pembatasan sosial. Untuk pemerintah adalah menetapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sesuai levelnya, mengubah pembelajaran tatap muka (PTM) menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ) di sekolah serta aturan lainnya. Untuk masyarakat adalah tetap melalukan 3M/5M, sebenarnya bukan hanya tetap melakukan tetapi harusnya memperketat implementasinyanya karena kita tahu bahwa varian Omicron lebih mudah menular. Karena itu saya mengusulkan kebisaan new normal baiknya kita ubah menjadi now normal saja. Semuanya tentu harus diimplementasikan secara nyata di lapangan. Berita macet amat panjang berjam-jam di puncak pada akhir pekan yang lalu merupakan salah satu contoh bagaimana kita perlu mengambil keputusan yang lebih bijak dalam mengendalikan Covid-19 ini.
Poin kedua adalah terus meningkatkan tes dan telusur. Di atas disebutkan tentang angka kepositifan yang harusnya di bawah 5%. Untuk menilai angka ini maka jumlah tes yang dilakukan haruslah memadai, bukan hanya secara nasional tetapi juga di setiap kabupaten/kota. Jangan sampai karena sebagian provinsi angka tesnya tinggi sekali lalu angka nasional pun naik, padalah cukup banyak kabupaten/kota yang jumlah tesnya masih di bawah standar WHO. Tentang telusur juga harus diupayakan maksimal, karena kalau masih ada sumber penular yang tidak ditemukan maka dia akan terus menularkan ke sekitarnya, persoalan tidak kunjung selesai.
Poin ketiga adalah vaksinasi, baik vaksinasi primer maupun booster yang memang dibutuhkan untuk mengatasi varian Omicron ini. Data sampai 28 Februari 2022 menunjukkan penerima vaksin booster baru 4,71%, jelas masih perlu kerja keras untuk meningkatkannya.
Data kasus harian 28 Februari 2022 menunjukkan jumlah kasus baru 25.054, sudah terus menurun dari angka lebih dari 60.000 beberapa hari yang lalu. Kita tentu berharap angka ini akan terus menurun di hari-hari kerja mendatang, bukan hanya angka di hari-hari libur. Kita juga berharap agar angka kepositifan dan angka reproduksi efektif juga terus menurun sehingga proyeksi ke arah endemi akan dapat diwujudkan.
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI; Guru Besar FKUI; Mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes
PADA 2 Maret 2020 Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia. Jadi pada 2 Maret 2022 ini tepat dua tahun kita menjalani masa pandemi Covid-19 dengan segala dinamikanya dan dampaknya pada berbagai sendi kehidupan bangsa. Sejauh ini kita setidaknya pernah mengalami tiga gelombang peningkatan kasus, pertama mulai dari Desember 2020 dengan puncak kasus sebanyak 14.518 pada 30 Januari 2021. Gelombang kedua yang amat dahsyat akibat varian Delta, dengan puncak kasus sehari lebih dari 56.000 orang pada 15 Juni 2021, dan kematian bahkan sampai lebih dari 2.000 orang sehari pada 27 Juli 2021. Sekarang kita sedang menjalani gelombang ketiga yang utamanya karena varian Omicron. Sejauh ini kasus harian tertinggi adalah 63.956 orang pada 17 Februari. Sesudah itu ada kecenderungan kasus menurun, walaupun terus terang saja kita belum tahu pasti apakah memang penurunan ini akan terus berjalan atau mungkin ada gejolak lain lagi.
Pandemi Dunia
Sehubungan dengan penurunan kasus maka sudah banyak dibicarakan tentang kemungkin pandemi berubah menjadi endemi. Untuk ini ada lima hal yang perlu jadi perhatian. Pertama, pandemi adalah keadaan wabah penyakit di banyak negara, bahkan “pan” dapat juga diartikan sebagai “semua”. Karena pandemi terjadi di banyak negara di berbagai benua maka yang menyatakan pandemi adalah badan dunia, dalam hal ini World Health Organization (WHO). Dalam kaidah aturan internasional pengendalian penyakit maka seluruh anggota WHO sudah menandatangani International Health Regulation (IHR) pada 2005, yang setelah masa transisi dua tahun maka mulai diberlakukan pada 2007. Sejak IHR diberlakukan di dunia sudah ada dua kali pandemi. Pertama adalah Pandemi H1N1 (2009) yang dinyatakan bermula pada 11 Juni 2009 oleh Direktur Jenderal WHO waktu itu, Dr Maragaret Chan. Kemudian, dalam 1 tahun 2 bulan kemudian, pada 10 Agustus 2010 DirJen WHO lalu menyatakan dunia sudah memasuki masa pascapandemi H1N1 (2009) ini. Pandemi ketika itu resmi selesai.
Pandemi Covid-19 sekarang bermula pada 11 Maret 2020 dengan pernyataan resmi oleh Direktur Jenderal WHO Dr Tedros, dan sampai sekarang masih berjalan. Artinya, kalau nanti pandemi Covid-19 akan berakhir maka akan ada lagi pernyataan resmi dari Direktur Jenderal WHO sesuai keadaan dunia ketika itu, yang kita belum tahu kapan akan terjadi.
Kedua, masing-masing negara dapat saja membuat pernyataan bahwa mereka sudah dapat mengendalikan wabah Covid-19, boleh juga menyebutkan bahwa negaranya sudah masuk dalam fase endemi. Tetapi, pernyataan satu dua atau bahkan beberapa negara bahwa negara mereka sudah endemi sama sekali tidak berarti pandemi sudah selesai. Dunia ini terdiri dari sekitar 200 negara, dan dalam dunia modern ini maka transportasi antarnegara dan bahkan antarbenua amat mudah terjadi. Maksudnya, kalau ada negara yang sudah dapat mengendalikan Covid-19 tetapi negara-negara lain belum maka masih tetap ada ancaman penyakit ini terus merebak di dunia.
Angka Kepositifan dan Reproduksi
Hal ketiga, kalau toh ingin mengatakan bahwa situasi Covid-19 sudah terkendali maka ada semacam kriteria yang banyak dianut, salah satunya adalah angka kepositifan (positivity rate) di bawah 5%. Kita tentu amat bersyukur bahwa jumlah kasus harian di negara kita dalam beberapa hari ini ada kecenderungan menurun, dan diikuti juga dengan penurunan angka kepositifan. Tetapi, dari data yang ada maka angka kepositifan pada 25 Februari 2022 adalah 17,93%, dan walaupun pada 26 Februari angkanya sudah menurun tapi masih cukup tinggi, yaitu 15,91%, cukup jauh di atas batas 5% yang kita kehendaki bersama.
Hal keempat, indikator lain yang menjadi patokan bahwa situasi epidemiologi Covid-19 sudah terkendali adalah angka reproduksi efektif (effective reproduction number-Rt) di bawah 1, artinya tidak terjadi penularan berkepanjangan di masyarakat. Walaupun tidak ada data resmi yang diumumkan tetapi beberapa pihak menyebutkan angka reproduksi di hari-hari ini masih diatas 1, ada yang melaporkan sebagai 1.161. Mudah-mudahan angka ini dapat terus menurun dalam hari-hari mendatang.
Tentang hal ketiga dan keempat ini, kita tentu ingat bahwa sesudah berhasil menangani varian Delta maka angka kepositifan kita sempat cukup lama di bawah 5%. Angka reproduksi juga pernah dibawah 1, dilaporkan pernah angkanya 0,98. Tetapi, dengan serangan Omicron maka angka kepositifan dan angka reproduksi naik lagi seperti sekarang ini. Artinya, kalau nanti gelombang akibat Omicron ini dapat diatasi, kasus turun, angka-angka lain juga turun, maka kita perlu tetap waspada dan melakukan upaya maksimal agar angkanya jangan naik lagi. Tentu saja angka jumlah pasien dan kematian juga harus ditekan rendah, serta pelayanan kesehatan akan selalu siaga menghadapi kemungkinan kenaikan kasus.
Hal kelima yang perlu jadi perhatian kita bersama ,dan bahkan di dunia, adalah ada tidaknya kemungkinan varian baru Covid-19, sesuatu yang tidak terlalu mudah memprediksinya. Yang jelas kita tahu bahwa kalau penularan di masyarakat tinggi maka virus akan banyak bereplikasi, hal ini memungkinkan saja terjadinya mutasi baru. Kalau mutasinya cukup beragam maka dapat saja terjadi varian baru. Dalam hal ini perlu kita ketahui bahwa sebagian besar varian baru suatu virus itu tidaklah berbahaya bagi manusia, hanya sebagian kecil yang mungkin berbahaya. Tetapi, walaupun persentasenya kecil, kalau terjadi varian yang berdampak luas maka dunia akan terkena gelombang baru lagi, seperti selama ini sudah terjadi.
Tiga Penanggulangan
Dengan kelima penjelasan di atas maka yang dapat kita lakukan adalah tiga poin yang sudah dikenal luas, tapi perlu terus disampaikan agar dilaksanakan di lapangan. Pertama adalah pembatasan sosial. Untuk pemerintah adalah menetapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sesuai levelnya, mengubah pembelajaran tatap muka (PTM) menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ) di sekolah serta aturan lainnya. Untuk masyarakat adalah tetap melalukan 3M/5M, sebenarnya bukan hanya tetap melakukan tetapi harusnya memperketat implementasinyanya karena kita tahu bahwa varian Omicron lebih mudah menular. Karena itu saya mengusulkan kebisaan new normal baiknya kita ubah menjadi now normal saja. Semuanya tentu harus diimplementasikan secara nyata di lapangan. Berita macet amat panjang berjam-jam di puncak pada akhir pekan yang lalu merupakan salah satu contoh bagaimana kita perlu mengambil keputusan yang lebih bijak dalam mengendalikan Covid-19 ini.
Poin kedua adalah terus meningkatkan tes dan telusur. Di atas disebutkan tentang angka kepositifan yang harusnya di bawah 5%. Untuk menilai angka ini maka jumlah tes yang dilakukan haruslah memadai, bukan hanya secara nasional tetapi juga di setiap kabupaten/kota. Jangan sampai karena sebagian provinsi angka tesnya tinggi sekali lalu angka nasional pun naik, padalah cukup banyak kabupaten/kota yang jumlah tesnya masih di bawah standar WHO. Tentang telusur juga harus diupayakan maksimal, karena kalau masih ada sumber penular yang tidak ditemukan maka dia akan terus menularkan ke sekitarnya, persoalan tidak kunjung selesai.
Poin ketiga adalah vaksinasi, baik vaksinasi primer maupun booster yang memang dibutuhkan untuk mengatasi varian Omicron ini. Data sampai 28 Februari 2022 menunjukkan penerima vaksin booster baru 4,71%, jelas masih perlu kerja keras untuk meningkatkannya.
Data kasus harian 28 Februari 2022 menunjukkan jumlah kasus baru 25.054, sudah terus menurun dari angka lebih dari 60.000 beberapa hari yang lalu. Kita tentu berharap angka ini akan terus menurun di hari-hari kerja mendatang, bukan hanya angka di hari-hari libur. Kita juga berharap agar angka kepositifan dan angka reproduksi efektif juga terus menurun sehingga proyeksi ke arah endemi akan dapat diwujudkan.
(bmm)