PP No 109/2012 dan Fasisme Kesehatan

Senin, 15 Juni 2020 - 12:30 WIB
loading...
A A A
Data-data scientific pendukung ini sangat lemah, sangat terbatas, yang ada akhirnya mitos, yang ada generalisasi, yang kemudian menciptakan ketakutan massal yang tidak berdasar. Lalu ini dijadikan alasan untuk dijadikan aturan. Jadi kecemasan yang dibuat, kecemasan yang dikonstruksi sebenarnya, bukan kecemasan sungguhan.

Orang yang terkena serangan jantung karena rokok atau karena dia kurang olah raga, bagaimana membuktikannya? Seberapa besar kontribusi nikotin terhadap serangan jantung dibandingkan dengan makanan berlemak yang membuat sumbatan di pembuluh darah itu disebabkan oleh nikotinnya atau karena konsumsi lemaknya.

Tidak bisa orang membuat hukum berdasarkan kecemasan. Kecemasan ada sesuatu yang bakal terjadi. Misalnya aturan emisi, sudah ada data-data ilmiah, permukaan laut di kutub utara itu sudah hilang sekian persen, itu ada data-datanya ada bukti-buktinya, bukti ilmiah, ada ratusan jurnal yang menulis tentang hal itu

Suatu aturan bukan sekedar dibuat berdasarkan apa yang disangkakan menjadi risiko, tapi harus didasarkan pada resiko yang sungguh-sungguh riil. Risiko nyata tidak bisa dengan mengatakan bahwa ada 4000 zat adiktif, harus betul-betul dibuktikan satu per satu memiliki dampak terhadap kesehatan, dibuktikan betul secara rinci, secara detail, baru kemudian dijadikan PP. Kita tidak bisa membuat undang-undang berdasarkan resiko yang dicemaskan.

Secara sosiologi, PP No 109/2012 pada hakekatnya menggeser tatanan kehidupan tradisional ke modern dari kebudayaan masyarakat yang bersifat komunal (falsafah oriental) ke kehidupan masyarakat yang bersifat individual (falsafah oksidental).

Rokok tradisional dapat dikaji dari dua sudut pandang. Pertama, dari proses pembuatan rokok di dalam masyarakat baik dikerjakan secara individual maupun oleh pabrik, seluruh bahan bakunya bersifat alami. Artinya, rokok tidak dibuat dari satu bahan, tetapi dihasilkan/kombinasi dari beberapa bahan lain (klobot/daun jagung, cengkeh) yang masing-masing merupakan mata pencaharian dari masyarakat.

Penyatuan bahan-bahan itu menjadi rokok menggambarkan adanya suatu hubungan sosial yang saling melengkapi atau kehidupan yang saling berkontribusi yang disebut sebagai kehidupan komunal. Inilah cermin dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

Kedua, nilai guna rokok dalam kehidupan masyarakat. Di daerah pedalaman masyarakat menggunakan rokok sebagai alat sesaji (ritual). Rokok juga digunakan sebagai sarana keakraban dalam pergaulan. Rokok juga digunakan sebagai sarana penghangat tubuh, terutama bagi warga masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pegunungan.

Jadi, rokok tidak sekedar sebagai produk materi akan tetapi memiliki nilai sosial budaya yang khas bagi masyarakat Indonesia. Dari produk rokok tradisional yang berbahan baku tembakau dan cengkeh pada dasarnya merupakan produk kebudayaan komunal. Jika hasil budaya dari masyarakat Indonesia tersebut dihilangkan maka sama dengan menghilangkan budaya dasar bangsa Indonesia.

Secara normatif, PP No 109/2012 dalam hal pembuatanya dalam proses hukum hampir tidak memperhitungkan kondisi pranata sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Indonesia. Jika keluarnya PP tersebut selain untuk menegakkan UU Kesehatan No 36/2009 juga dimaksud untuk mengubah tata cara kehidupan masyarakat Indonesia dari tradisional ke modern, maka faktor penting yang perlu diperhitungkan lebih dahulu adalah masalah ideologi dan pendidikan bangsa Indonesia.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1573 seconds (0.1#10.140)