PP No 109/2012 dan Fasisme Kesehatan

Senin, 15 Juni 2020 - 12:30 WIB
loading...
PP No 109/2012 dan Fasisme Kesehatan
Agus Surono, Direktur Eksekutif Re-Ide Indonesia. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Agus Surono
Direktur Eksekutif Re-Ide Indonesia, Jakarta

KEMENTERIAN Kesehatan (Kemenkes) saat ini tengah merevisi Peraturan Pemerintah No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. PP No 109/2012 yang prosesnya menuai kontroversi itu ditengarai cacat hukum.

Apa pasal? PP No 109/2012 sebagai produk hukum adalah gegabah, karena hanya melihat produk tembakau dalam kaitannya dengan dimensi kesehatan saja. Padahal dalam dimensi kesehatan pun masih debatable tentang manfaat dan kerugiannya.

PP No 109/2012 yang isinya mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ini, diduga kuat ingin mematikan keberlangsungan industri kretek nasional. Berbagai strategi dilakukan oleh kaum antirokok untuk mengampanyekan bahaya rokok bagi kesehatan.

Gerakan mereka tidak bedanya dengan sebentuk fasisme kesehatan. Dalihnya jelas, karena argumentasi yang dibangun melulu bahaya rokok atas kesehatan dengan mengesampingkan argumentasi bahwa sebenarnya tembakau juga memberikan manfaat bagi kesehatan.

Merujuk pandangan seorang profesor di Manchester Polytechnic (Inggris), Stephen Davies, fasisme kesehatan (health fascism) adalah pandangan paternalistik tentang pentingnya kesehatan yang harus diwujudkan melalui kekuasaan Negara. Ditargetkan secara sepihak kepada kelompok sasaran tertentu, dengan menyebarkan diskursus kepanikan moral tentang konsekuensi ketidaksehatan yang dapat terjadi.

Kampanye yang digaungkan pelbagai lembaga antirokok oleh sebagian orang atau kelompok telah dianggap sebagai teror yang menakutkan sekaligus menyebarkan aroma kematian. Nikotin dan tar sebagai toksin yang terdapat di dalam rokok ditengarai ikut membesarkan potensi seseorang untuk terkena komplikasi pelbagai penyakit kronis.

PP No 109/2012 tidak melihat kaitan struktural tentang produk tembakau yang tidak saja berdimensi kesehatan. Melainkan juga dimensi soial, ekonomi, politik bahkan juga dimensi peradaban dan kebudayaan nusantara.

Ditinjau dari Teori Risiko (Risk Theory), merokok berisiko terhadap kesehatan masih dalam bentuk persepsi, belum risiko nyata. Berbeda dengan jika rokok memang sudah membunuh sekian juta orang. Jadi, risiko rokok terhadap kesehatan masih dikategorikan risiko yang dipersepsikan (perceived risk), belum riil. Dengan demikian pengaturan rokok berdasarkan PP ini tidak tepat, kecuali risiko ini sudah manifes, risiko ini betul-betul sudah secara akademik terbuktikan, yang dalam kenyataan sangat sulit.

Jurnal-jurnal kesehatan belum terlalu banyak mengupas hal ini. Harus ada pertanggungjawaban akademik ilmiah yang memadai, sebelum diundangkan. Bukan yang meyakinkan masyarakat ini sungguh berisiko, bukan akan menjadi.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1048 seconds (0.1#10.140)