Jemput Paksa Jenazah Covid-19, Fenomena Jendela Pecah

Senin, 15 Juni 2020 - 09:55 WIB
loading...
Jemput Paksa Jenazah...
Ilustrasi petugas medis sedang membawa pasien covid-19. Foto: dok/SINDOphoto
A A A
Ferdinand T. Andi Lolo
Pengajar Departemen Kriminologi FISIP UI

Hari-hari ini ramai di media massa berita tentang sekelompok orang memasuki rumah sakit tanpa mengindahkan protokol kesehatan, tata krama, dan aturan-aturan yang berlaku, mengambil paksa jenazah berstatus pasien dalam pengawasan untuk dibawa pulang dan dimakamkan dengan cara mereka anggap pantas. Jemput paksa tersebut terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, di Surabaya, Jawa Timur, dan Bekasi, Jawa Barat.

Fenomena jemput paksa jenazah mengejutkkan, tapi tidak terlalu mengherankan. Hampir tak terhitung insiden yang menunjukkan perlawanan individu atau kelompok individu terhadap petugas yang menjalankan protokol kesehatan. Orang-orang tetap berkerumun di pasar, di jalan, dan di tempat ibadah. Imbauan pemerintah agar warga menjaga jarak, pakai masker, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir dianggap angin lalu. Pasien positif Covid-19 dibantu kerabat dan orang-orang di sekitarnya menolak dibawa ke rumah sakit, menolak isolasi mandiri, dan meninggalkan rumah sakit tanpa izin terkadang dengan alasan yang sepele seperti bosan.

Orang beramai-ramai menolak menjalankan tes massal karena yakin mereka sehat, sedangkan hasil penelitian World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa bahaya penyebaran terbesar berasal dari menjadi pembawa virus, tapi tidak menunjukkan gejala khas. (Baca: OTG Membaik, Angka Kesembuhan Covid-19 Terus Meningkat)

Ambulans pembawa jenazah dipaksa berbalik arah, lokasi pemakaman korban Covid-19 diblokir massa tanpa menunjukkan rasa empati sebagai manusia pada keluarga korban dan penghormatan terhadap jenazah. Virus ini tidak dianggap sebagai bahaya kesehatan namun dianggap sebagai fiksi. Orang-orang terus hidup dengan kemasabodohan mereka, tidak mau belajar tahu dan paham keganasan virus ini, padahal informasi ada di dalam genggaman tangan mereka, semuanya ada di telepon pintar. Mereka terus memaksakan cara hidup dan gaya hidup lama serta tidak mau ikut dalam tatanan normal baru.

Tidak ada sanksi hukum yang tegas kepada mereka terang-terangan melawan petugas dan melanggar aturan. Ketika resistensi terus terjadi, tindakan tegas terhadap pelanggar hanya sebatas retorika publik yang tidak benar-benar dijalankan.

Kompromi, pembiaran, dan tindakan permisif terus berjalan. Penegakan hukum ditawar oleh penegak hukum sendiri, aturan-aturan terkait pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dijalankan setengah hati oleh para pembuat dan pelaksanan aturan.

Dalam masa pandemi seperti ini, otoritas dari tingkat pusat hingga daerah seolah gamang dan bingung. Alasan pembenaran dan pemaaf yang selalu dijadikan dasar justifikasi ketidaktegasan penegakan aturan di masa pandemi ini, hampir semuanya berkisar pada hak-hak sipil, seperti kemanusiaan dan ekonomi.

Mereka yang melakukan pembangkangan sosial melanggar banyak sekali hukum negara mulai dari hukum khusus, seperti Undang-Undang Karantina Kesehatan, hukum pidana tentang kejahatan terhadap penguasa umum, merusak fasilitas umum, mengganggu ketertiban, membahayakan nyawa orang lain, dan lainnya.

Senjata aparat untuk menegakkan ketertiban, keamanan, keselamatan, dan kesehatan sesungguhnya lebih dari cukup. Tinggal saja masalahnya apakah mau ditegakkan atau tidak; ragu-ragu atau tidak. Situasi yang tidak biasa memerlukan tindakan luar biasa. Ada saat di mana hak-hak satu orang atau sekelompok harus dikurangi atau terpaksa dihilangkan oleh negara demi kemanfaatan lebih besar, yaitu kepentingan bangsa. Jika satu-dua orang atau sekelompok dibiarkan merusak sistem yang didukung oleh masyarakat sadar dan patuh pada protokol kesehatan, maka akan terjadi dua hal buruk. (Baca juga: Pasien Positif Covid-19 Meninggal Dunia di RS Dadi)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Lanjut Baca Berita Terkait Lainnya
Berita Terkait
Peneliti Maarif Institute...
Peneliti Maarif Institute Jadi Doktor Administrasi Publik Pertama di UMJ
Positif Covid-19, Atalia...
Positif Covid-19, Atalia Minta Doa Supaya Ridwan Kamil Tak Tertular
Teliti Peran DPR di...
Teliti Peran DPR di Masa Pandemi, Misbakhun Raih Gelar Doktor Ekonomi
Waspadai Lagi Covid-19,...
Waspadai Lagi Covid-19, Kemenkes Imbau Tetap Prokes dan Hidup Sehat
Lewat Disertasi, Kombes...
Lewat Disertasi, Kombes Yade Setiawan Ungkap Keberhasilan Polri Tangani Covid-19
Setelah Pandemi, Pemerintah...
Setelah Pandemi, Pemerintah Diminta Tak Gegabah Keluarkan Kebijakan
Deretan Brevet dan Tanda...
Deretan Brevet dan Tanda Jasa Komjen Dharma Pongrekun, Sosok yang Sebut Covid-19 Konspirasi
Usai Pandemi Covid-19,...
Usai Pandemi Covid-19, Dinilai Ada Sejumlah Potensi dan Tantangan UMKM
Libur Nataru, Masyarakat...
Libur Nataru, Masyarakat Diminta Waspada Peningkatan Covid-19
Rekomendasi
Promotor Tinju Bantah...
Promotor Tinju Bantah Eubank Jr Alami Patah Rahang
Korsel Bakal Ubah Semua...
Korsel Bakal Ubah Semua Motor Bensin Jadi Listrik
Kronologi Yuke Dewa...
Kronologi Yuke Dewa 19 Diduga Tabrak Anak Kecil di Tasikmalaya, Beri Bantuan Rp10 Juta
Berita Terkini
Siapa Letjen TNI Kunto...
Siapa Letjen TNI Kunto Arief Wibowo? Sosok Jenderal Bintang 3 Anak Try Sutrisno
3 jam yang lalu
Kejagung Geledah dan...
Kejagung Geledah dan Blokir Aset Tersangka TPPU Zarof Ricar
5 jam yang lalu
Jelang Pemungutan Suara...
Jelang Pemungutan Suara Ulang di Boven Digoel, Michael Sianipar: Perindo Hadir Total
5 jam yang lalu
Partai Perindo Mulai...
Partai Perindo Mulai Fokus Kembangkan Kekuatan di Wilayah Urban
6 jam yang lalu
AFI Minta Pemerintah...
AFI Minta Pemerintah Perkuat Produk Lokal dan Pengawasan Barang Impor
7 jam yang lalu
Dosen dan Mahasiswa...
Dosen dan Mahasiswa Minta Revisi UU Penyiaran Segera Dilakukan
7 jam yang lalu
Infografis
Prancis Khawatir Perang...
Prancis Khawatir Perang Dunia III Pecah antara Rusia dengan NATO
Copyright ©2025 SINDOnews.com All Rights Reserved