Jemput Paksa Jenazah Covid-19, Fenomena Jendela Pecah
loading...
A
A
A
Ferdinand T. Andi Lolo
Pengajar Departemen Kriminologi FISIP UI
Hari-hari ini ramai di media massa berita tentang sekelompok orang memasuki rumah sakit tanpa mengindahkan protokol kesehatan, tata krama, dan aturan-aturan yang berlaku, mengambil paksa jenazah berstatus pasien dalam pengawasan untuk dibawa pulang dan dimakamkan dengan cara mereka anggap pantas. Jemput paksa tersebut terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, di Surabaya, Jawa Timur, dan Bekasi, Jawa Barat.
Fenomena jemput paksa jenazah mengejutkkan, tapi tidak terlalu mengherankan. Hampir tak terhitung insiden yang menunjukkan perlawanan individu atau kelompok individu terhadap petugas yang menjalankan protokol kesehatan. Orang-orang tetap berkerumun di pasar, di jalan, dan di tempat ibadah. Imbauan pemerintah agar warga menjaga jarak, pakai masker, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir dianggap angin lalu. Pasien positif Covid-19 dibantu kerabat dan orang-orang di sekitarnya menolak dibawa ke rumah sakit, menolak isolasi mandiri, dan meninggalkan rumah sakit tanpa izin terkadang dengan alasan yang sepele seperti bosan.
Orang beramai-ramai menolak menjalankan tes massal karena yakin mereka sehat, sedangkan hasil penelitian World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa bahaya penyebaran terbesar berasal dari menjadi pembawa virus, tapi tidak menunjukkan gejala khas. (Baca: OTG Membaik, Angka Kesembuhan Covid-19 Terus Meningkat)
Ambulans pembawa jenazah dipaksa berbalik arah, lokasi pemakaman korban Covid-19 diblokir massa tanpa menunjukkan rasa empati sebagai manusia pada keluarga korban dan penghormatan terhadap jenazah. Virus ini tidak dianggap sebagai bahaya kesehatan namun dianggap sebagai fiksi. Orang-orang terus hidup dengan kemasabodohan mereka, tidak mau belajar tahu dan paham keganasan virus ini, padahal informasi ada di dalam genggaman tangan mereka, semuanya ada di telepon pintar. Mereka terus memaksakan cara hidup dan gaya hidup lama serta tidak mau ikut dalam tatanan normal baru.
Tidak ada sanksi hukum yang tegas kepada mereka terang-terangan melawan petugas dan melanggar aturan. Ketika resistensi terus terjadi, tindakan tegas terhadap pelanggar hanya sebatas retorika publik yang tidak benar-benar dijalankan.
Kompromi, pembiaran, dan tindakan permisif terus berjalan. Penegakan hukum ditawar oleh penegak hukum sendiri, aturan-aturan terkait pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dijalankan setengah hati oleh para pembuat dan pelaksanan aturan.
Dalam masa pandemi seperti ini, otoritas dari tingkat pusat hingga daerah seolah gamang dan bingung. Alasan pembenaran dan pemaaf yang selalu dijadikan dasar justifikasi ketidaktegasan penegakan aturan di masa pandemi ini, hampir semuanya berkisar pada hak-hak sipil, seperti kemanusiaan dan ekonomi.
Mereka yang melakukan pembangkangan sosial melanggar banyak sekali hukum negara mulai dari hukum khusus, seperti Undang-Undang Karantina Kesehatan, hukum pidana tentang kejahatan terhadap penguasa umum, merusak fasilitas umum, mengganggu ketertiban, membahayakan nyawa orang lain, dan lainnya.
Senjata aparat untuk menegakkan ketertiban, keamanan, keselamatan, dan kesehatan sesungguhnya lebih dari cukup. Tinggal saja masalahnya apakah mau ditegakkan atau tidak; ragu-ragu atau tidak. Situasi yang tidak biasa memerlukan tindakan luar biasa. Ada saat di mana hak-hak satu orang atau sekelompok harus dikurangi atau terpaksa dihilangkan oleh negara demi kemanfaatan lebih besar, yaitu kepentingan bangsa. Jika satu-dua orang atau sekelompok dibiarkan merusak sistem yang didukung oleh masyarakat sadar dan patuh pada protokol kesehatan, maka akan terjadi dua hal buruk. (Baca juga: Pasien Positif Covid-19 Meninggal Dunia di RS Dadi)
Pertama, ketidaktegasan otoritas memberikan pesan yang salah kepada publik. Ketika hukum tidak hadir, ketika aparat memilih untuk berkompromi, maka beberapa orang atau kelompok akan berpikir bahwa mereka bisa melanggar hukum dan melenggang pergi tanpa sanksi.
Kedua, ketika aparat terlihat canggung untuk bertindak tegas, maka terjadilah apa yang disebut justice delayed, justice denied. Kelambanan otoritas menindak mereka yang tidak taat aturan dan bertindak membahayakan kesehatan serta keselamatan umum, membuat masyarakat yang taat aturan menderita.
Keadilan tidak diberikan pada jutaan warga negara yang bekerja dan sekolah dari rumah, yang selalu menjaga kesehatan diri dan orang lain, yang tidak membuat rusuh di fasilitas kesehatan, bagaimanapun sulitnya situasi mereka hadapi serta tidak menambah beban aparat yang sudah berat dengan pekerjaan ekstra akibat pandemi ini.
Wilson dan Kelling pada 1982 menjabarkan teori jendela pecah (Broken Windows theory) yang intinya menerangkan bahwa jika tindakan antisosial atau pembangkangan sipil dibiarkan atau tidak ditangani akan mendorong terjadinya kejahatan lebih besar. Ilustrasinya adalah orang yang lewat di rumah kosong terbengkalai akan memiliki kecenderungan melakukan vandalisme/perusakan, seperti memecah kaca rumah. Kecenderungan itu akan lebih kecil kalau rumah terjaga dan rapi.
Dalam situasi pandemi seperti ini, maka tatanan sosial tentu saja harus berubah. Aspek keselamatan dan keamanan masyarakat harus mendapat prioritas jauh lebih tinggi daripada hak-hak individu. Ketika ada individu atau sekelompok individu melakukan tindakan yang bisa mengancam masyarakat, maka tindakan tegas tanpa kompromi perlu segera dilaksanakan untuk menjaga ketertiban dan keteraturan sosial dalam situasi normal baru. Apakah hal itu kemudian membuat negara menjadi tidak demokratis dan merampas hak sipil warga negaranya? Jawabannya mungkin ya (untuk sementara), tapi itu adalah hal yang benar harus dilakukan.
Selandia Baru adalah salah satu negara paling demokratis di dunia, namun ketika pandemi melanda negara itu, demokrasi dan hak sipil dikurangi drastis oleh pemerintah. Pemerintah memberikan petunjuk (bukan imbauan) yang jelas kepada masyarakat, bukan untuk ditawar tapi untuk dipatuhi. (Baca juga: Pemerintah Diingatkan Hati-Hati Membuka Sekolah di Zona Hijau)
Aparat menjalankan dengan tegas instruksi pemerintah dan tidak membuka ruang untuk kompromi atau debat. Ketika beberapa masyarakat merasa hak sipilnya dilanggar dengan aturan yang terlihat otoriter dengan melakukan perlawanan hukum, pengadilan segera menolak perlawanan itu dengan menegaskan bahwa tindakan pemerintah adalah benar. Semua menderita, tapi mereka bersama-sama menderita dengan sabar. Kurang dari dua bulan, tidak lagi ditemukan kasus aktif Covid-19.
Kita ada dalam situasi yang buruk. Kepatuhan sosial dengan cara disiplin, mengikuti arahan otoritas kesehatan dan keamanan, keikhlasan menerima hal-hal mengurangi hak kita demi kepentingan yang lebih luas adalah kunci untuk keluar dari masa sulit ini. Jika masih ada yang bertindak melawan otoritas dan melawan hukum, tindakan tegas perlu segera diambil. (Lihat Videonya: Wisata Kebun Teh Puncak Bogor, Mulai Dipenuhi Pengunjung)
Harus diingat, aparat penegak hukum berfungsi menjaga ketertiban sosial. Bukan porsi penegak hukum untuk menjadi pengamat sosial. Penegak hukum perlu bertindak jika ada ketidakpatuhan sosial, bukan sekadar mengeluarkan pernyataan menyayangkan atau mengimbau tanpa ada tindak lanjut yang efektif.
Jangan biarkan Indonesia seperti rumah terbengkalai tanpa penghuni. Jangan biarkan warga yang taat aturan menjadi apatis dan menjadi “Indonesia Terserah.” Mereka yang mulai merusak rumah harus segera dihentikan sebelum membuat kerusakan lebih besar.
Pengajar Departemen Kriminologi FISIP UI
Hari-hari ini ramai di media massa berita tentang sekelompok orang memasuki rumah sakit tanpa mengindahkan protokol kesehatan, tata krama, dan aturan-aturan yang berlaku, mengambil paksa jenazah berstatus pasien dalam pengawasan untuk dibawa pulang dan dimakamkan dengan cara mereka anggap pantas. Jemput paksa tersebut terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, di Surabaya, Jawa Timur, dan Bekasi, Jawa Barat.
Fenomena jemput paksa jenazah mengejutkkan, tapi tidak terlalu mengherankan. Hampir tak terhitung insiden yang menunjukkan perlawanan individu atau kelompok individu terhadap petugas yang menjalankan protokol kesehatan. Orang-orang tetap berkerumun di pasar, di jalan, dan di tempat ibadah. Imbauan pemerintah agar warga menjaga jarak, pakai masker, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir dianggap angin lalu. Pasien positif Covid-19 dibantu kerabat dan orang-orang di sekitarnya menolak dibawa ke rumah sakit, menolak isolasi mandiri, dan meninggalkan rumah sakit tanpa izin terkadang dengan alasan yang sepele seperti bosan.
Orang beramai-ramai menolak menjalankan tes massal karena yakin mereka sehat, sedangkan hasil penelitian World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa bahaya penyebaran terbesar berasal dari menjadi pembawa virus, tapi tidak menunjukkan gejala khas. (Baca: OTG Membaik, Angka Kesembuhan Covid-19 Terus Meningkat)
Ambulans pembawa jenazah dipaksa berbalik arah, lokasi pemakaman korban Covid-19 diblokir massa tanpa menunjukkan rasa empati sebagai manusia pada keluarga korban dan penghormatan terhadap jenazah. Virus ini tidak dianggap sebagai bahaya kesehatan namun dianggap sebagai fiksi. Orang-orang terus hidup dengan kemasabodohan mereka, tidak mau belajar tahu dan paham keganasan virus ini, padahal informasi ada di dalam genggaman tangan mereka, semuanya ada di telepon pintar. Mereka terus memaksakan cara hidup dan gaya hidup lama serta tidak mau ikut dalam tatanan normal baru.
Tidak ada sanksi hukum yang tegas kepada mereka terang-terangan melawan petugas dan melanggar aturan. Ketika resistensi terus terjadi, tindakan tegas terhadap pelanggar hanya sebatas retorika publik yang tidak benar-benar dijalankan.
Kompromi, pembiaran, dan tindakan permisif terus berjalan. Penegakan hukum ditawar oleh penegak hukum sendiri, aturan-aturan terkait pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dijalankan setengah hati oleh para pembuat dan pelaksanan aturan.
Dalam masa pandemi seperti ini, otoritas dari tingkat pusat hingga daerah seolah gamang dan bingung. Alasan pembenaran dan pemaaf yang selalu dijadikan dasar justifikasi ketidaktegasan penegakan aturan di masa pandemi ini, hampir semuanya berkisar pada hak-hak sipil, seperti kemanusiaan dan ekonomi.
Mereka yang melakukan pembangkangan sosial melanggar banyak sekali hukum negara mulai dari hukum khusus, seperti Undang-Undang Karantina Kesehatan, hukum pidana tentang kejahatan terhadap penguasa umum, merusak fasilitas umum, mengganggu ketertiban, membahayakan nyawa orang lain, dan lainnya.
Senjata aparat untuk menegakkan ketertiban, keamanan, keselamatan, dan kesehatan sesungguhnya lebih dari cukup. Tinggal saja masalahnya apakah mau ditegakkan atau tidak; ragu-ragu atau tidak. Situasi yang tidak biasa memerlukan tindakan luar biasa. Ada saat di mana hak-hak satu orang atau sekelompok harus dikurangi atau terpaksa dihilangkan oleh negara demi kemanfaatan lebih besar, yaitu kepentingan bangsa. Jika satu-dua orang atau sekelompok dibiarkan merusak sistem yang didukung oleh masyarakat sadar dan patuh pada protokol kesehatan, maka akan terjadi dua hal buruk. (Baca juga: Pasien Positif Covid-19 Meninggal Dunia di RS Dadi)
Pertama, ketidaktegasan otoritas memberikan pesan yang salah kepada publik. Ketika hukum tidak hadir, ketika aparat memilih untuk berkompromi, maka beberapa orang atau kelompok akan berpikir bahwa mereka bisa melanggar hukum dan melenggang pergi tanpa sanksi.
Kedua, ketika aparat terlihat canggung untuk bertindak tegas, maka terjadilah apa yang disebut justice delayed, justice denied. Kelambanan otoritas menindak mereka yang tidak taat aturan dan bertindak membahayakan kesehatan serta keselamatan umum, membuat masyarakat yang taat aturan menderita.
Keadilan tidak diberikan pada jutaan warga negara yang bekerja dan sekolah dari rumah, yang selalu menjaga kesehatan diri dan orang lain, yang tidak membuat rusuh di fasilitas kesehatan, bagaimanapun sulitnya situasi mereka hadapi serta tidak menambah beban aparat yang sudah berat dengan pekerjaan ekstra akibat pandemi ini.
Wilson dan Kelling pada 1982 menjabarkan teori jendela pecah (Broken Windows theory) yang intinya menerangkan bahwa jika tindakan antisosial atau pembangkangan sipil dibiarkan atau tidak ditangani akan mendorong terjadinya kejahatan lebih besar. Ilustrasinya adalah orang yang lewat di rumah kosong terbengkalai akan memiliki kecenderungan melakukan vandalisme/perusakan, seperti memecah kaca rumah. Kecenderungan itu akan lebih kecil kalau rumah terjaga dan rapi.
Dalam situasi pandemi seperti ini, maka tatanan sosial tentu saja harus berubah. Aspek keselamatan dan keamanan masyarakat harus mendapat prioritas jauh lebih tinggi daripada hak-hak individu. Ketika ada individu atau sekelompok individu melakukan tindakan yang bisa mengancam masyarakat, maka tindakan tegas tanpa kompromi perlu segera dilaksanakan untuk menjaga ketertiban dan keteraturan sosial dalam situasi normal baru. Apakah hal itu kemudian membuat negara menjadi tidak demokratis dan merampas hak sipil warga negaranya? Jawabannya mungkin ya (untuk sementara), tapi itu adalah hal yang benar harus dilakukan.
Selandia Baru adalah salah satu negara paling demokratis di dunia, namun ketika pandemi melanda negara itu, demokrasi dan hak sipil dikurangi drastis oleh pemerintah. Pemerintah memberikan petunjuk (bukan imbauan) yang jelas kepada masyarakat, bukan untuk ditawar tapi untuk dipatuhi. (Baca juga: Pemerintah Diingatkan Hati-Hati Membuka Sekolah di Zona Hijau)
Aparat menjalankan dengan tegas instruksi pemerintah dan tidak membuka ruang untuk kompromi atau debat. Ketika beberapa masyarakat merasa hak sipilnya dilanggar dengan aturan yang terlihat otoriter dengan melakukan perlawanan hukum, pengadilan segera menolak perlawanan itu dengan menegaskan bahwa tindakan pemerintah adalah benar. Semua menderita, tapi mereka bersama-sama menderita dengan sabar. Kurang dari dua bulan, tidak lagi ditemukan kasus aktif Covid-19.
Kita ada dalam situasi yang buruk. Kepatuhan sosial dengan cara disiplin, mengikuti arahan otoritas kesehatan dan keamanan, keikhlasan menerima hal-hal mengurangi hak kita demi kepentingan yang lebih luas adalah kunci untuk keluar dari masa sulit ini. Jika masih ada yang bertindak melawan otoritas dan melawan hukum, tindakan tegas perlu segera diambil. (Lihat Videonya: Wisata Kebun Teh Puncak Bogor, Mulai Dipenuhi Pengunjung)
Harus diingat, aparat penegak hukum berfungsi menjaga ketertiban sosial. Bukan porsi penegak hukum untuk menjadi pengamat sosial. Penegak hukum perlu bertindak jika ada ketidakpatuhan sosial, bukan sekadar mengeluarkan pernyataan menyayangkan atau mengimbau tanpa ada tindak lanjut yang efektif.
Jangan biarkan Indonesia seperti rumah terbengkalai tanpa penghuni. Jangan biarkan warga yang taat aturan menjadi apatis dan menjadi “Indonesia Terserah.” Mereka yang mulai merusak rumah harus segera dihentikan sebelum membuat kerusakan lebih besar.
(ysw)