Tombo Ati Membangun Komunikasi Beradab

Sabtu, 26 Februari 2022 - 11:50 WIB
loading...
A A A
Runutannya pun tertanam hingga—paling tidak berdasarkan temuan saat ini--kakawin Sutasoma yang digubah Mpu Tantular pertengahan abad ke-14. Kakawin itu jelas benih kesadaran akan perbedaan yang disemai di kawasan kepulauan Nusantara yang layaknya tumbuh subur di sanubari semua anak bangsa. Salah satu bait dalam epos Sutasoma yakni “Bhinneka Tunggal Ika”, yang kemudian menjadi semboyan, menjadi napas bangsa Indonesia. Tertera dalam pita yang digenggam “burung garuda” lambang negara Republik Indonesia.

Dengan runutan sejarah sejauh itu, secara politik perkembangan kesadaran akan perbedaan di negeri ini harusnya sudah khatam, sudah selesai, dikukuhkan kaum muda lewat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Tentu saja, ada turun-naik proses harmoni dan disharmoni yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Di masa Orde Baru, persoalan kebangsaan ini tak bisa dinafikan berjalan relatif lebih baik walaupun terdapat juga letupan-letupan. Sebagai warga negara, kita saat itu sadar akan pentingnya Wawasan Nusantara, yang tak hanya mengakomodasi pemikiran keberagaman, namun tegas memaknai Indonesia sebagai wujud Pluralisme.

Akan tetapi, kini situasinya sudah berubah. Atas nama kebebasan berpendapat, hal yang berbeda terjadi belakangan ini. Dunia maya menjadi ruang cukup telanjang yang seakan menafikan keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia.

Dalam sebulan terakhir ini saja kita bisa melihat betapa isu-isu sektarian begitu mudah menyengat kohesi sosial masyarakat. Mulai dari mempersoalkan berbahasa Sunda di rapat dewan yang terhormat, diksi Jin Buang Anak untuk menggambarkan pemindahan Ibu Kota Baru ke Kalimantan, persoalan toa mesjid, hingga masalah wayang.

Imbas dari itu semua, masyarakat kian mudah tersulut. Ada yang menggunakan jalur hukum atau melakukan perundungan di dunia maya. Sikap buruk yang tumbuh seperti itu sesungguhnya membahayakan kebersamaan sesama anak bangsa. Bukan mustahil ini kemudian akan mengubah kita menjadi predator keberagaman. Entah berbeda agama, suku, golongan, pilihan politik, dan sebagainya.

Seolah warisan budaya kita yang dikenal sebagai negara pemaaf sudah sirna. Kalaupun ada kata maaf sekarang ini maka akan selalu ada kalimat ”Soal maaf, kami bisa terima, tapi urusan hukum, jalan terus.”

Faktor Penyebab
Rusaknya kohesi sosial di Indonesia, tak lepas dari beberapa faktor yang memengaruhinya. Salah satunya adalah persoalan cara pandang terkait kebebasan berpendapat dan kegagapan kita dalam berinteraksi memanfaatkan teknologi komunikasi digital.

Kebebasan berpendapat seringkali dipahami sebagai cara terbaik dalam melempar pesan ataupun kekecewaan setiap orang terhadap sebuah isu tanpa memikirkan tanggungjawab dan dampak pesannya. Mengkritik dan dikritik dipahami dengan tidak bijak sehingga apapun yang dimunculkan oleh mulut ataupun jari di media sosial maupun mainstream seakan bebas disampaikan atas nama otokritik. Belum lagi kegagapan kita terhadap munculnya media digital yang seakan membebaskan banyak orang untuk mengakomodir pendapatnya secara bebas dan lepas tanpa mempertimbangkan akumulasi dampaknya.

Media sosial, blog, ataupun website seakan bebas dimiliki dan bebas menghadirkan pesan dengan pandangan telanjang yang kerap muncul kurang bijak menghadirkan “cuitan” tanpa data fakta yang benar. Padahal tanpa disadari celoteh maupun jarinya tersebut berdampak negatif pada kebersamaan dalam keberagaman dan memperburuk cermin diri dalam rekam jejak digital.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1525 seconds (0.1#10.140)