Tombo Ati Membangun Komunikasi Beradab
loading...
A
A
A
Nugroho Agung Prasetyo
Praktisi Komunikasi
Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Pusat
Bila kita mengamati dengan cermat denyut kehidupan berkebangsaan dalam realitas sehari-hari masyarakat saat ini, sangat wajar manakala yang datang menghampiri wacana adalah rasa risau dan khawatir. Utamanya, yang paling mengemuka dalam kekhawatiran itu adalah semakin lemahnya kohesi sosial kita dalam berbangsa.
Dalam pelajaran ilmu Fisika, kohesi didefinisikan sebagai ikatan antara molekul dalam satu unsur. Dalam kehidupan bermasyarakat, kohesi sosial diartikan sebagai pertautan dan ikatan bersama masyarakat dalam satu bangsa, dalam hal ini Bangsa Indonesia.
Persoalan kohesi sosial terus mengemuka karena perubahannya dalam masyarakat terlihat cukup telanjang dan kasat mata. Sejak hampir satu dekade lalu—banyak kalangan menandainya dengan tahun 2014—sulit untuk menafikan bahwa bangsa ini terasa mulai mengalami fragmentasi karena larut dalam keberpihakan.
Penekanan pada 2014 tidak semata berkaitan dengan urusan Pemilihan Presiden yang sistemnya memang meniscayakan terjadinya keberpihakan kelompok berbeda pilihan. Namun yang sama sekali tidak bisa diabaikan, saat itu menandainya kian masuknya bangsa Indonesia ke dalam kebiasaan bebas merdeka berpendapat di media sosial, dengan serenceng ekses negatifnya.
Lewat medsos semuanya seakan bisa mengakomodasi berbagai komentar, dukungan, pujian atau kekesalan secara instan tanpa banyak dipikirkan lebih dulu. Selanjutnya, mendatangkan kebiasaan yang awalnya terasa ganjil di masyarakat, yakni orang tidak lagi malu untuk menyatakan berbeda 180 derajat dengan tetangganya. Perilaku pun berubah. Banyaknya “like” dan dukungan dunia maya telah membuat sebagian orang tak lagi mempersoalkan apakah posting dan komennya mencederai perasaan orang lain.
Semua kemudian terasa semakin rumit dan kompleks, manakala “Like” pun terbukti mendatangkan candunya sendiri. Orang pada akhirnya tak lagi peduli apakah posting dan respons atau komentarnya masuk akal, tidak mencederai perasaan, dan bahkan masih tergolong ‘beradab’ atau tidak.
Perilaku seperti ini jelas sebagai sebuah sikap selfish yang tidak bertanggung jawab. Mengapa? Karena berbeda dengan—katakanlah--Inggris, Belanda, atau yang dekat Malaysia atau Brunei Darussalam, sejarah terbangunnya Indonesia berbeda diametral dengan negara-negara tadi. Banyak negara-negara tersebut tumbuh relatif homogen (kalaupun terjadi migrasi, pendatang menyesuaikan dengan adat budaya negara tersebut), sebagai satu bangsa.
Indonesia justru terbangun dari keanekaragaman dan terajut dalam kemajemukan. Proses merajut kemajemukan juga berlangsung cukup lama sehingga terbentuk nilai-nilai seperi yang saat ini eksis. Dengan latar belakang seperi itu, seharusnya kita bisa lebih saling menghargai dan tidak begitu mudah mengorek-orek perbedaan berpoten menimbulkan gesekan sosial.
Nilai yang dipeluk erat bersama-sama itu tidak hanya dimulai dari 1905 yang ditandai dengan lahirnya Syarekat Dagang Islam sebagai organisasi pertama bumiputera, Sumpah Pemuda 1928, atau proklamasi 1945 hingga sekarang.
Praktisi Komunikasi
Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Pusat
Bila kita mengamati dengan cermat denyut kehidupan berkebangsaan dalam realitas sehari-hari masyarakat saat ini, sangat wajar manakala yang datang menghampiri wacana adalah rasa risau dan khawatir. Utamanya, yang paling mengemuka dalam kekhawatiran itu adalah semakin lemahnya kohesi sosial kita dalam berbangsa.
Dalam pelajaran ilmu Fisika, kohesi didefinisikan sebagai ikatan antara molekul dalam satu unsur. Dalam kehidupan bermasyarakat, kohesi sosial diartikan sebagai pertautan dan ikatan bersama masyarakat dalam satu bangsa, dalam hal ini Bangsa Indonesia.
Persoalan kohesi sosial terus mengemuka karena perubahannya dalam masyarakat terlihat cukup telanjang dan kasat mata. Sejak hampir satu dekade lalu—banyak kalangan menandainya dengan tahun 2014—sulit untuk menafikan bahwa bangsa ini terasa mulai mengalami fragmentasi karena larut dalam keberpihakan.
Penekanan pada 2014 tidak semata berkaitan dengan urusan Pemilihan Presiden yang sistemnya memang meniscayakan terjadinya keberpihakan kelompok berbeda pilihan. Namun yang sama sekali tidak bisa diabaikan, saat itu menandainya kian masuknya bangsa Indonesia ke dalam kebiasaan bebas merdeka berpendapat di media sosial, dengan serenceng ekses negatifnya.
Lewat medsos semuanya seakan bisa mengakomodasi berbagai komentar, dukungan, pujian atau kekesalan secara instan tanpa banyak dipikirkan lebih dulu. Selanjutnya, mendatangkan kebiasaan yang awalnya terasa ganjil di masyarakat, yakni orang tidak lagi malu untuk menyatakan berbeda 180 derajat dengan tetangganya. Perilaku pun berubah. Banyaknya “like” dan dukungan dunia maya telah membuat sebagian orang tak lagi mempersoalkan apakah posting dan komennya mencederai perasaan orang lain.
Semua kemudian terasa semakin rumit dan kompleks, manakala “Like” pun terbukti mendatangkan candunya sendiri. Orang pada akhirnya tak lagi peduli apakah posting dan respons atau komentarnya masuk akal, tidak mencederai perasaan, dan bahkan masih tergolong ‘beradab’ atau tidak.
Perilaku seperti ini jelas sebagai sebuah sikap selfish yang tidak bertanggung jawab. Mengapa? Karena berbeda dengan—katakanlah--Inggris, Belanda, atau yang dekat Malaysia atau Brunei Darussalam, sejarah terbangunnya Indonesia berbeda diametral dengan negara-negara tadi. Banyak negara-negara tersebut tumbuh relatif homogen (kalaupun terjadi migrasi, pendatang menyesuaikan dengan adat budaya negara tersebut), sebagai satu bangsa.
Indonesia justru terbangun dari keanekaragaman dan terajut dalam kemajemukan. Proses merajut kemajemukan juga berlangsung cukup lama sehingga terbentuk nilai-nilai seperi yang saat ini eksis. Dengan latar belakang seperi itu, seharusnya kita bisa lebih saling menghargai dan tidak begitu mudah mengorek-orek perbedaan berpoten menimbulkan gesekan sosial.
Nilai yang dipeluk erat bersama-sama itu tidak hanya dimulai dari 1905 yang ditandai dengan lahirnya Syarekat Dagang Islam sebagai organisasi pertama bumiputera, Sumpah Pemuda 1928, atau proklamasi 1945 hingga sekarang.