Tombo Ati Membangun Komunikasi Beradab
loading...
A
A
A
Belum lagi persoalan komunikasi kebijakan publik yang terkadang diterjemahkan secara sumir sehingga menimbulkan kegaduhan publik. Alhasil kebijakan muncul di publik seperti layaknya wacana yang terus menimbulkan perdebatan panjang tanpa kejelasan, bahkan mungkin terkadang dipahami sebagian orang sebagai bentuk persoalan yang menggangu rasa keadilan sosialnya.
Selain itu, menguatnya pragmatisme akan kekuasaan dan naiknya pamor ikatan-ikatan primordial juga menghasilkan pandangan skeptis publik. Semua orang ingin mencapai keinginan dengan cara instan, termasuk keinginan untuk dikenal publik. Akhirnya tujuan itu menghalalkan cara, termasuk membuang jauh-jauh rasa malu sebagai “provokator”, “tukang nyinyir”, ataupun ‘Si Tukang Lapor’, yang bisa jadi berhati ulat bulu.
Fenomena pasca-reformasi juga menjadi hal yang melatarbelakanginya. Setelah reformasi itu Indonesia mengalami surplus kebebasan, tetapi sayangnya defisit obyektivitas. Alih-alih terjadi peleburan sosial, segregasi sosial yang dulu diciptakan penjajah, kini—berbilang dekade kemudian--justru mengeras. Saking kerasnya, tersentil sedikit saja rasa primordialnya, ia bangun dan langsung marah!
Sedikitnya ada tiga hal yang bisa dikedepankan sebagai solusi. Pertama, mendorong dan menguatkan upaya masyarakat untuk secara bersama mengintensifkan kembali relasi sosial yang inklusif. Becermin dari pepatah lama “Tak kenal maka tak sayang”, saling kenal, saling tahu, dan akhirnya saling mengerti karakter masing-masing unsur warga bangsa, membuat over-sensitivitas yang kini berkembang, bisa diturunkan. Harapannya, seluruh warga negara Indonesia dari beragam suku bangsa dan pemeluk agama, bisa jauh lebih ‘woles’ menilai apa yang dilakukan saudaranya yang lain.
Tentu saja, ruang komunikasi harus dibuka lebar-lebar. Catatan penting, komunikasi dilakukan secara beradab dan bertanggungjawab. Apa itu? Katakanlah sebuah komunikasi yang konstruktif dan dialogis, yang memperlakukan komunikan (khalayak) sebagai mitra yang setara, bukan objek untuk dimanipulasi. Hubungan satu dengan lain adalah hubungan “Aku-Anda” (I-Thou relationships), bukan hubungan “Aku-Objek” (I-It relationships).
Pada hubungan yang pertama, kita mengakui jati diri orang lain, kita menghargai apa yang mereka hargai. Kita berempati dan berusaha memahami realitas dari perspektif mereka. Pengetahuan kita tentang ‘khalayak’ tidak dimaksudkan untuk ‘menipu’ mereka, melainkan memahami, bernegosiasi, dan bersama-sama memuliakan kemanusiaan, melalui komunikasi yang beradab sebagai obat hati (tombo ati) keberagaman.
Selain itu, menguatnya pragmatisme akan kekuasaan dan naiknya pamor ikatan-ikatan primordial juga menghasilkan pandangan skeptis publik. Semua orang ingin mencapai keinginan dengan cara instan, termasuk keinginan untuk dikenal publik. Akhirnya tujuan itu menghalalkan cara, termasuk membuang jauh-jauh rasa malu sebagai “provokator”, “tukang nyinyir”, ataupun ‘Si Tukang Lapor’, yang bisa jadi berhati ulat bulu.
Fenomena pasca-reformasi juga menjadi hal yang melatarbelakanginya. Setelah reformasi itu Indonesia mengalami surplus kebebasan, tetapi sayangnya defisit obyektivitas. Alih-alih terjadi peleburan sosial, segregasi sosial yang dulu diciptakan penjajah, kini—berbilang dekade kemudian--justru mengeras. Saking kerasnya, tersentil sedikit saja rasa primordialnya, ia bangun dan langsung marah!
Sedikitnya ada tiga hal yang bisa dikedepankan sebagai solusi. Pertama, mendorong dan menguatkan upaya masyarakat untuk secara bersama mengintensifkan kembali relasi sosial yang inklusif. Becermin dari pepatah lama “Tak kenal maka tak sayang”, saling kenal, saling tahu, dan akhirnya saling mengerti karakter masing-masing unsur warga bangsa, membuat over-sensitivitas yang kini berkembang, bisa diturunkan. Harapannya, seluruh warga negara Indonesia dari beragam suku bangsa dan pemeluk agama, bisa jauh lebih ‘woles’ menilai apa yang dilakukan saudaranya yang lain.
Tentu saja, ruang komunikasi harus dibuka lebar-lebar. Catatan penting, komunikasi dilakukan secara beradab dan bertanggungjawab. Apa itu? Katakanlah sebuah komunikasi yang konstruktif dan dialogis, yang memperlakukan komunikan (khalayak) sebagai mitra yang setara, bukan objek untuk dimanipulasi. Hubungan satu dengan lain adalah hubungan “Aku-Anda” (I-Thou relationships), bukan hubungan “Aku-Objek” (I-It relationships).
Pada hubungan yang pertama, kita mengakui jati diri orang lain, kita menghargai apa yang mereka hargai. Kita berempati dan berusaha memahami realitas dari perspektif mereka. Pengetahuan kita tentang ‘khalayak’ tidak dimaksudkan untuk ‘menipu’ mereka, melainkan memahami, bernegosiasi, dan bersama-sama memuliakan kemanusiaan, melalui komunikasi yang beradab sebagai obat hati (tombo ati) keberagaman.
(ynt)