Tabularasa Pancasila
loading...
A
A
A
Tabularasa di sini juga dapat dimaknai sebagai upaya mengosongkan diri dalam mencari keotentikan dan obyektivitas dari situasi pertentangan pandangan yang seringkali gampang terjadi jika berkaitan dengan pembahasan mengenai Pancasila di negara kita saat sekarang ini.
Mengapa Bung Karno? Hal ini tentu karena faktanya ia adalah orang yang pertama kali mempidatokan Pancasila sebagaimana yang kemudian hari telah menjadi dasar negara Indonesia. Hal lainnya adalah Proklamator Indonesia hanya Sukarno dan Hatta yang menjadi atas nama dari Bangsa Indonesia dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Sebab lainnya tentu membahas Pancasila tidak mungkin dapat dipisah dari keberadaan Proklamasi kemerdekaan. Jelas, Pancasila dipidatokan pertama kali oleh Bung Karno dalam rangka mencari jawaban atas pertanyaan apa dasarnya jika Indonesia merdeka.
Adapun Bung Hatta sebagai proklamator dalam memoarnya berwasiat kepada Guntur Sukarno Putra menyampaikan perihal di antaranya berkaitan Pancasila Dasar Negara dan Bung Karno. “Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bangun itu, apa dasarnya?” Hatta menyampaikan bahwa kebanyakan anggota tidak mau menjawab pertanyaan itu, karena takut pertanyaan itu akan menimbulkan persoalan filosofi yang akan berpanjang-panjang.
Mereka langsung membicarakan soal Undang-Undang Dasar. Salah seorang dari anggota panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia yang menjawab pertanyaan itu adalah Bung Karno yang mengucapkan pidatonya pada 1 Juni 1945. Yang berjudul Pancasila, lima sila, yang lamanya kira-kira satu jam.
Mengapa dalam upaya memahami Pancasila penting sekali bagi kita kembali menjadi semacam kertas kosong? Tentu ini untuk memurnikan pemahaman menuju kepada keotentikan dan kejujuran. Pasalnya, sudah barang tentu sulit menjadi jujur tanpa mengosongkan diri.
Sungguh beruntung sekali sesungguhnya kita Bangsa Indonesia karena Bung Karno sejak awal mula mengosongkan diri dalam artian menjauhkan diri dari klaim pribadi dan merasa memiliki ide Pancasila itu sebagai anggitannya atau pikirannya. Bung Karno lebih menyebutnya sebagai ilham yang diturunkan oleh Tuhan. Dalam konteks ini Bung Karno sendiri menempatkan dirinya seakan sebagai kertas kosong yang sekadar menyampaikan ilham dari Tuhan.
Berkaitan dengan itu, menjadi menarik jika kita simak perkataan Sukarno yang begitu puitik ditulis dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams berikut:
“Di malam sebelum aku akan berbicara di Badan Penyelidik, aku pergi ke luar pekarangan rumahku. Seorang diri. Dan aku memandang bintang-bintang di langit. Dan aku kagum pada ciptaan yang sempurna itu. Dan aku meratap pelan-pelan. Kusampaikan kepada Tuhan, aku menangis karena besok aku akan menghadapi saat bersejarah dalam hidupku. Dan aku memerlukan bantuan-Mu. Aku tahu, pemikiran yang akan kusampaikan bukanlah milikku. Engkaulah yang membukakannya kepadaku. Hanya engkaulah yang Maha Pencipta. Engkaulah yang selalu memberi petunjuk pada setiap nafas hidupku. Ya Allah, berikan kembali petunjuk serta ilham-Mu kepadaku”.
Menilik pada kutipan perkataan Bung Karno tersebut dapatlah kita dipahamkan dan mahfum mengapa Sukarno tidak mengklaim pidatonya tentang Pancasila sebagai pemikirannya. Sukarno telah menjadikan dirinya kertas kosong (tabularasa) sejak permulaanya. Sebuah jalan dan hikmah yang bisa kita petik untuk juga bertabularasa Pancasila mulai saat ini dan seterusnya. Dengan begitu diharapkan Pancasila benar-benar terang sebagai bintang penuntun manusia Indonesia, bangsa dan negara Indonesia bahkan dunia untuk beradaptasi sekaligus tetap setia kepada tujuan etisnya.
Mengapa Bung Karno? Hal ini tentu karena faktanya ia adalah orang yang pertama kali mempidatokan Pancasila sebagaimana yang kemudian hari telah menjadi dasar negara Indonesia. Hal lainnya adalah Proklamator Indonesia hanya Sukarno dan Hatta yang menjadi atas nama dari Bangsa Indonesia dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Sebab lainnya tentu membahas Pancasila tidak mungkin dapat dipisah dari keberadaan Proklamasi kemerdekaan. Jelas, Pancasila dipidatokan pertama kali oleh Bung Karno dalam rangka mencari jawaban atas pertanyaan apa dasarnya jika Indonesia merdeka.
Adapun Bung Hatta sebagai proklamator dalam memoarnya berwasiat kepada Guntur Sukarno Putra menyampaikan perihal di antaranya berkaitan Pancasila Dasar Negara dan Bung Karno. “Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bangun itu, apa dasarnya?” Hatta menyampaikan bahwa kebanyakan anggota tidak mau menjawab pertanyaan itu, karena takut pertanyaan itu akan menimbulkan persoalan filosofi yang akan berpanjang-panjang.
Mereka langsung membicarakan soal Undang-Undang Dasar. Salah seorang dari anggota panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia yang menjawab pertanyaan itu adalah Bung Karno yang mengucapkan pidatonya pada 1 Juni 1945. Yang berjudul Pancasila, lima sila, yang lamanya kira-kira satu jam.
Mengapa dalam upaya memahami Pancasila penting sekali bagi kita kembali menjadi semacam kertas kosong? Tentu ini untuk memurnikan pemahaman menuju kepada keotentikan dan kejujuran. Pasalnya, sudah barang tentu sulit menjadi jujur tanpa mengosongkan diri.
Sungguh beruntung sekali sesungguhnya kita Bangsa Indonesia karena Bung Karno sejak awal mula mengosongkan diri dalam artian menjauhkan diri dari klaim pribadi dan merasa memiliki ide Pancasila itu sebagai anggitannya atau pikirannya. Bung Karno lebih menyebutnya sebagai ilham yang diturunkan oleh Tuhan. Dalam konteks ini Bung Karno sendiri menempatkan dirinya seakan sebagai kertas kosong yang sekadar menyampaikan ilham dari Tuhan.
Berkaitan dengan itu, menjadi menarik jika kita simak perkataan Sukarno yang begitu puitik ditulis dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams berikut:
“Di malam sebelum aku akan berbicara di Badan Penyelidik, aku pergi ke luar pekarangan rumahku. Seorang diri. Dan aku memandang bintang-bintang di langit. Dan aku kagum pada ciptaan yang sempurna itu. Dan aku meratap pelan-pelan. Kusampaikan kepada Tuhan, aku menangis karena besok aku akan menghadapi saat bersejarah dalam hidupku. Dan aku memerlukan bantuan-Mu. Aku tahu, pemikiran yang akan kusampaikan bukanlah milikku. Engkaulah yang membukakannya kepadaku. Hanya engkaulah yang Maha Pencipta. Engkaulah yang selalu memberi petunjuk pada setiap nafas hidupku. Ya Allah, berikan kembali petunjuk serta ilham-Mu kepadaku”.
Menilik pada kutipan perkataan Bung Karno tersebut dapatlah kita dipahamkan dan mahfum mengapa Sukarno tidak mengklaim pidatonya tentang Pancasila sebagai pemikirannya. Sukarno telah menjadikan dirinya kertas kosong (tabularasa) sejak permulaanya. Sebuah jalan dan hikmah yang bisa kita petik untuk juga bertabularasa Pancasila mulai saat ini dan seterusnya. Dengan begitu diharapkan Pancasila benar-benar terang sebagai bintang penuntun manusia Indonesia, bangsa dan negara Indonesia bahkan dunia untuk beradaptasi sekaligus tetap setia kepada tujuan etisnya.